Blog "Manajemen Dakwah" ini memuat kajian tentang manajemen dakwah dan manajemen organisasi Islam beserta perangkat pendukungnya, seperti komunikasi, antropologi, sosiologi, ekonomi, hukum, dan sebagainya. Kesemuanya menjadi kajian di Fakultas Dakwah khususnya dan IAIN Sumtera Utara umumnya.
Senin, 17 September 2012
هداية المرشدين BAHAN UJIAN SEMESTER I
STUDI NASKAH
هداية المرشدين
تاءليف
الشيخ على محفوظ
المباحث الفصل الثانى
السنن العامة في دعوة الرسول الى الدين
هدى سيدنا محمد صلوات الله وسلامه فى نشرالدعوة
- الاصل الاول الحجج البالغة
- الثانى الاساليب الحكيمة
- الثالث الأداب السامية
- الرابع السياسة الحكيمة
Oleh :
Hasnun Jauhari Ritonga
Pembimbing:
Prof. Dr. H. Asmuni, M.Ag.
PROGRAM DOKTOR KOMUNIKASI ISLAM
PASCASARJANA IAIN-SU
MEDAN
2012
تاءليف
الشيخ على محفوظ
المباحث الفصل الثانى
السنن العامة في دعوة الرسول الى الدين
Karakteristik Umum Dakwah Para Rasul Kepada Agama
Melalui kisah yang disampaikan Allah Swt. di dalam Al-Qur’an kepada Rasulullah Saw. digambarkan bahwa para Nabi dan Rasul semuanya sangat memperhatikan dakwahnya kepada kaumnya, terutama dalam kaitannya dengan:
1) Nilai-nilai ketauhidan (yaitu tauhid uluhiyah, yakni keyakinan bahwa Allah sajalah Tuhan yang berhak disembah; dan tauhid rububiyah, yakni keyakinan bahwa Allah-lah sebagai pemelihara alam yang mengatur segala urusan).
2) Ibadah (dengan perhatian pada soal keikhlasan dan ketawadhu’an).
3) Keimanan kepada Hari Akhirat (dengan segala hal yang terjadi di sana), baik tentang Hari Berbangkit maupun adanya pembalasan terhadap amal perbuatan.
4) Keimanan kepada para rasul dengan tanpa mempertentangkan antara satu rasul dengan rasul yang berikutnya.
5) At-Tarhib atau pemberian kabar gembira/baik bagi orang yang taat kepada Allah.
6) At-Targhib atau kabar takut bagi orang yang berbuat kesalahan dan kemaksiatan, memberikan motivasi agar memiliki akhlak yang baik.
7) Melarang/mencegah dari akhlak yang buruk.
Semua Rasul yang diutus Allah juga memperhatikan penyakit-penyakit masyarakat (pekat) yang terjadi di kalangan umatnya. Nabi Nuh, Hud, Shaleh, dan Ibrahim, ‘alaihimussalam, misalnya, sangat memperhatikan aspek ketauhidan dan menebas habis kemusyrikan, sebab bagi mereka kemusyrikan (menduakan Tuhan) sangat bertentangan dengan akal, dan adapun Nabi Luth a.s. menekankan pada pentingnya menebas habis “al-fahisyah” (pada masa ini berkembang ‘LIWATH’=homoseksual), Nabi Syu’aib a.s. selain mendakwahkan ketauhidan, juga memberantas para pedagang yang monopoli dan mengurangi timbangan, sedangkan Nabi Musa a.s. diutus dan berdakwah kepada bangsanya, Israel yang di dalamnya ada Fir’aun dan keluarganya yang thaghut dan zalim. Tugas risalah, sebagaimana di atas, dijalani para Rasul dengan penuh kesabaran dan tabah menghadapi segala macam cobaan. Yang menjadi tujuan utama mereka adalah berkurangnya (terobatinya) segala keburukan, dan yang merusak sendi-sendi kehidupan kaumnya, demikian juga dimulai dari pengurangan bahaya dan kemudratannya yang besar.
Demikianlah karakteristik umum dakwah para Rasul, semoga dakwah mereka menjadi petunjuk, dan secara terperinci dapat dirujuk ke dalam buku Dakwah Para Rasul karangan Syaikh Muhammad al-‘Adawi.
***
هدى سيدنا محمد صلوات الله وسلامه عليه فى نشرالدعوة
- الاصل الاول الحجج البالغة
Petunjuk Nabi Saw Dalam Penyebaran Dakwah
* Dasar yang Pertama: Hujjah yang Jelas/Efektif
Adalah dakwah Nabi Saw. ditegakkan pada ayat yang jelas dan hujjah/argumentasi yang bijaksana, oleh karena itulah maka dakwah tersebut tersebar dan diterima oleh akal sehat dan menyentuh perasaan, menggetarkan hati nurani, dan bukan saja berhenti pada intuisi, tetapi memang atas dasar kebenarannya yang tak terbantahkan, dengan demikian (dakwah) tersebut bukanlah sebagai ilusi saja, melainkan dakwah tersebut diarahkan kepada kepada hal-hal yang benar yang diterima oleh pemikiran yag sehat dan pemikiran tentang alam dan hal-hal yang gejala dan fakta alamiah.
Berdasarkan hal tersebut, berarti ada (Pencipta) yang tiada sekutu bagi-Nya, Yang Maha Ada dengan keberadaan-Nya yang sempurna, oleh karena itulah para da’i terpanggil untuk mengajak mereka (umat manusia) untuk memikirkan/meneliti alam melalui metode pemikiran yang benar, penelitian yang tepat, dan pencarian alasan yang logis bahwa Pencipta alamlah yang membuatnya teratur/sistematis dan nyata, mengaturnya pada sistem yang indah, maka sudah pastilah ada yang Maha Kuat, Maha Kuasa, Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana (yang menjadikannya), demikian juga tidak ada yang bisa mengalahkan, dan tidak ada yang bisa mengimbangi ilmunya bahkan setitikpun baik di langit maupun di bumi ...............
***
- الثانى الاساليب الحكيمة
* Yang Kedua: Penggunaan Metode yang Cermat/Bijaksana
Sesungguhnya pada sebuah kebenaran dan keutamaan itu terdapat cahaya dan pesona yang luar biasa, dimana setiap diri merasa tertarik kepadanya sebab hal itu merupakan “fithrah” dasar manusia. Dan bahkan setiap orang yang berupaya merusak fithrah yang sehat itu berarti memiliki tujuan untuk merusak keturunan, atau merusak pendidikan dengan hukum yang diwariskan oleh “zaman hukum rimba”, maka orang-orang seperti itu berarti tidak memperhatikan cahaya kebenaran, dan bahkan sepertinya tidak tampak bagi mereka indahnya keutamaan karena kebenaran yang jelas yang menjadi ikutan mereka hanyalah kosong lagi sia-sia (bukan kebenaran yang hakiki) ......
Di antara metode-metode yang cermat/bijaksana dalam dakwah adalah 1) apabila ditanya tentang sesuatu yang khusus, maka dijawab dengan tepat dan meluas selagi berkaitan dengan pertanyaan, sehingga jawaban tersebut terselesai menurut penanya dan orang lain; 2) kemudahan apabila menyelesaikan sesuatu hal, sebagaimana di kantor-kantor kenegaraan atau pemerintahan; 3) menyelesaikan permasalahan dengan memberikan gambaran terhadap apa yang dituntut kepadanya, seperti yang disebutkan Nabi Saw.: “Barang siapa yang menunjukkan atas kebaikan, maka baginya ganjaran seperti orang yang mengerjakannya tersebut” (HR. Muslim); 4) dan membuat contoh-contoh dan melahirkan perumpamaan yang menunjukkan kepada kebenaran (hakikat)-nya.
***
- الثالث الأداب السامية
* Yang Ketiga: Beretika Tinggi
Sesungguhnya dakwah yang kuat itu haruslah memiliki hujjah dan metodologi yang tepat/cermat/bijaksana. Di antara contoh-contoh etika yang sempurna itu adalah:
1. Seorang juru dakwah adalah yang penyayang, lembut, tetap pendirian, dan sabar;
2. Seorang juru dakwah harus totalitas memberikan ungkapan (bahasa) yang lemah lembut dan memiliki perilaku yang bagus; dan
3. Seorang juru dakwah tidak semata-mata memandang satu orang saja untuk mengajarinya adab atau membimbingnya padahal ia berada di lingkungan pengajaran yang umum.
***
- الرابع السياسة الحكيمة
* Yang Keempat: Perumusan Strategi yang Tepat/Bijaksana
Sesungguhnya strategi yang bijak sangat besar pengaruhnya dalam keberhasilan dakwah, pembangunan negara, menguatkan pemerintahan, dan tingginya kedudukan. Ada 8 (delapan) hal sebagai strategi yang bijak dalam berdakwah, yaitu:
1. Memberikan semangat dengan bimbingan tentang kebutuhan terhadap waktu, peluang, dan aktif mendengarkan pengajaran, sehingga tidak menjadikan pengajaran terhadap manusia itu sebagai mainan atau cemoohan, yang membuat mereka payah mendengarkannya, banyak meninggalkan ajaran-ajaran yang bermanfaat itu, dan nasehat-nasehat yang berharga.
2. Memberikan pemahaman bahwa melakukan sesuatu pekerjaan itu haruslah dengan sepenuh hati jika ingin mendapatkan kemudahan dan hasil yang sempurna, bukannya melakukan sesuatu pekerjaan dengan setengah hati.
3. Menyampaikan bahwa orang-orang yang meninggalkan anjuran/suruhan tanpa sesuatu sebab (darurah) hanyalah akan menimbulkan fitnah di belakang hari. Sebab hal itu berarti lari dari suatu masalah tanpa berusaha mencari solusinya. Yang demikian itu tidak dianjurkan, bahkan dilarang.
4. Menyampaikan bahwa kecenderungan hati terhadap harta akan menjauhkan seseorang dari hidayah. Tetapi ketika harta itu ada maka haruslah dimanfaatkan untuk kebaikan umat manusia, tidak melalaikan sedekah, apalagi zakat.
5. Memberikan gambaran bahwa kecenderungan terhadap tujuan dan kelembutan perkataan adalah sesuatu yang sudah seharusnya dimiliki. Hal itu telah dipraktekkan oleh kamu Anshar di Madinah terhadap orang-orang yang hijrah (Muhajirin) dan kaum Quraisy di masanya.
6. Memiliki kecenderungan untuk memaafkan, dan berlaku ihsan dimana sajapun, sebab keduanya sebagai akhlak yang baik dan pokok utama kemaslahatan.
7. Memiliki kecenderungan sikap santun (lemah lembut) dan bukannya kasar/keras. Hal tersebut tentu berguna agar orang tidak lari dari sisi seorang muslim. Yang demikian ini sesuai dengan misi dakwah yang diamanahkan kepada Rasulullah Saw.
8. Memiliki kesabaran dalam menghadapi segala macam cobaan/tantangan. Sebab hal itu sebagai suatu kebaikan yang bermanfaat bagi dirinya dan orang lain. Bahkan dengan kesabaran akan mendewasakan setiap orang yang pada akhirnya selalu berbaik sangka kepada Sang Pemberi Cobaan.
***
Wallahu a’lam .............
Kamis, 09 Februari 2012
UJIAN KEIMANAN
MODEL-MODEL UJIAN KEIMANAN DAN PARA NABI PEMERAN UTAMANYA
Oleh: Hasnun Jauhari Ritonga, MA
Adalah sesuatu yang lumrah bila seseorang menginginkan hal yang besar, maka ia harus berjuang dan bekerja keras untuk mendapatkannya. Sudah memang kodratnya jika seseorang menginginkan kematangan dan kemantapan dalam kehidupannya, maka ia harus melalui serangkaian problem. Problem yang dihadapi semestinya dikelola secara baik sehingga menjadi bermanfaat baginya sebagai titik awal untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Problem-problem yang dialami adalah ujian. Ujian yang muncul harus dikelola secara arif, bukannya berusaha menghindarinya. Dalam kajian manajemen, justru pengelolaan problem atau yang sering disebut sebagai “problem solving” itulah yang menjadikan seseorang atau sekelompok orang menjadi teruji, mantap dan matang.
Demikian jugalah halnya dengan ujian keimanan bagi seseorang. Semakin kuat iman seseorang, maka ujian yang dihadapinya juga semakin berat. Orang yang mampu melaluinya akan menjadi orang yang taat di sisi Allah. Namun bukan berarti tidak banyak yang tidak mampu menghadapi ujian yang melanda, sehingga ia terperosok ke lembah yang nista, bahkan semakin jauh dari kodratnya sebagai manusia (asfala safilin).
Firman Allah dalam surat Al-‘Ankabut (29) ayat 2 dan 3:
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.
Ayat ini menjelaskan bahwa salah satu konsekuensi pernyataan iman seseorang, adalah harus siap menghadapi ujian yang diberikan Allah Swt. kepadanya. Hal ini dimaksudkan untuk membuktikan sejauh mana kebenaran dan kesungguhan seseorang dalam menyatakan imannya, apakah imannya itu betul-betul bersumber dari keyakinan dan kemantapan hati, atau sekedar ikut-ikutan serta tidak tahu arah dan tujuan, atau pernyataan iman seseorang hanya didorong oleh kepentingan sesaat, ingin mendapatkan kemenangan dan tidak mau menghadapi kesulitan.
Terkait dengan hal di atas Allah Swt. menjelaskan dalam surat Al-Ankabut (29) ayat 10:
Dan di antara manusia ada orang yang berkata: “Kami beriman kepada Allah”, maka apabila ia disakiti (karena ia beriman) kepada Allah, ia menganggap fitnah manusia itu sebagai azab Allah. Dan sungguh jika datang pertolongan dari Tuhanmu, mereka pasti akan berkata: “Sesungguh-nya kami adalah besertamu.” Bukankah Allah lebih mengetahui apa yang ada dalam dada semua manusia”?
Ujian yang diberikan oleh Allah kepada manusia adalah berbeda-beda. Dan ujian dari Allah bermacam-macam bentuknya. Menelusuri model-model yang digambarkan Allah Swt. di dalam Al-Qur’an, setidaknya ada empat macam ujian yang diberikan, berikut nabi-nabi-Nya sebagai pemeran utamanya::
Pertama: Ujian yang berbentuk perintah untuk dilaksanakan, seperti perintah Allah kepada Nabi Ibrahim a.s. untuk menyembelih putranya yang sangat ia cintai. Ini adalah satu perintah yang betul-betul berat dan mungkin tidak masuk akal, bagaimana seorang bapak harus menyembelih anaknya yang sangat dicintai, padahal anaknya itu tidak melakukan kesalahan apapun. Sungguh ini ujian yang sangat berat sehingga Allah sendiri mengatakan:
Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. (Ash-Shaffat/37: 106).
Dan di sini kita melihat bagaimana kualitas iman Nabi Ibrahim a.s. yang benar-benar sudah tahan uji, sehingga dengan segala ketabahan dan kesabarannya perintah yang sangat berat itupun dijalankan.
Apa yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim dan puteranya adalah pelajaran yang sangat berharga bagi kita, dan sangat perlu kita tauladani, karena sebagaimana kita rasakan dalam kehidupan kita, banyak sekali perintah Allah yang dianggap berat bagi kita, dan dengan berbagai alasan kita berusaha untuk tidak melaksanakannya. Sebagai contoh, Allah telah memerintahkan kepada para wanita Muslimah untuk mengenakan jilbab (pakaian yang menutup seluruh aurat) secara tegas untuk membedakan antara wanita Muslimah dan wanita musyrikah sebagaimana firmanNya:
Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang Mumin” “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Ahzab/33: 59).
Kedua: Ujian yang berbentuk larangan untuk ditinggalkan seperti halnya yang terjadi pada Nabi Yusuf a.s. yang diuji dengan seorang perempuan cantik, istri seorang pembesar di Mesir yang mengajaknya berzina, dan kesempatan itu sudah sangat terbuka, ketika keduanya sudah tinggal berdua di rumah dan si perempuan itu telah mengunci seluruh pintu rumah. Namun Nabi Yusuf Alaihissalam membuktikan kualitas imannya, ia berhasil meloloskan diri dari godaan perempuan itu, padahal sebagaimana pemuda umumnya ia mempunyai hasrat kepada wanita. Ini artinya ia telah lulus dari ujian atas imannya.
Sikap Nabi Yusuf a.s. ini perlu kita ikuti, terutama oleh para pemuda Muslim di zaman sekarang, di saat pintu-pintu kemaksiatan terbuka lebar, pelacuran merebak di mana-mana, minuman keras dan obat-obat terlarang sudah merambah berbagai lapisan masyarakat, sampai-sampai anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar pun sudah ada yang kecanduan. Perzinahan sudah seakan menjadi barang biasa bagi para pemuda, sehingga tak heran bila menurut sebuah penelitian, bahwa di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya enam dari sepuluh remaja putri sudah tidak perawan lagi. Di antara akibatnya setiap tahun sekitar dua juta bayi dibunuh dengan cara aborsi, atau dibunuh beberapa saat setelah si bayi lahir. Keadaan seperti itu diperparah dengan semakin banyaknya media cetak yang berlomba-lomba memamerkan aurat wanita, juga media elektronik dengan acara-acara yang sengaja dirancang untuk membangkitkan gairah seksual para remaja. Pada saat seperti inilah sikap Nabi Yusuf a.s. perlu ditanamkan dalam dada para pemuda Muslim. Para pemuda Muslim harus selalu siap siaga menghadapi godaan demi godaan yang akan menjerumuskan dirinya ke jurang kemaksiatan. Rasulullah Saw. telah menjanjikan kepada siapa saja yang menolak ajakan untuk berbuat maksiat, ia akan diberi perlindungan di hari Kiamat nanti sebagaimana sabdanya:
سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ فِيْ ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ ... وَرَجُلٌ طَلَبَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ إِنِّيْ أَخَافُ اللهَ ... متفق عليه.
“Tujuh (orang yang akan dilindungi Allah dalam lindungan-Nya pada hari tidak ada perlindungan selain perlindunganNya, .. dan seorang laki-laki yang diajak oleh seorang perempuan terhormat dan cantik, lalu ia berkata aku takut kepada Allah…” (HR. Al-Bukhari Muslim).
Ketiga: Ujian yang berbentuk musibah seperti terkena penyakit, ditinggalkan orang yang dicintai dan sebagainya. Sebagai contoh, Nabi Ayyub a.s. yang diuji oleh Allah dengan penyakit yang sangat buruk sehingga tidak ada sebesar lubang jarum pun dalam badannya yang selamat dari penyakit itu selain hatinya, seluruh hartanya telah habis tidak tersisa sedikitpun untuk biaya pengobatan penyakitnya dan untuk nafkah dirinya, seluruh kerabatnya meninggalkannya, tinggal ia dan isterinya yang setia menemaninya dan mencarikan nafkah untuknya. Di dalam Tafsir Ibn Katsir dijelaskan bahwa musibah yang dialami Nabi Ayyub a.s. berjalan selama delapan belas tahun, sampai pada saat yang sangat sulit sekali baginya ia memelas sambil berdo’a kepada Allah:
“Dan ingatlah akan hamba Kami Ayuub ketika ia menyeru Tuhan-nya;” Sesungguhnya aku diganggu syaitan dengan kepayahan dan siksaan”.
Dan ketika itu Allah memerintahkan Nabi Ayyub a.s. untuk menghantamkan kakinya ke tanah, kemudian keluarlah mata air dan Allah menyuruhnya untuk meminum dari air itu, maka hilanglah seluruh penyakit yang ada di bagian dalam dan luar tubuhnya. Begitulah ujian Allah kepada Nabi-Nya, masa delapan belas tahun ditinggalkan oleh sanak saudara merupakan perjalanan hidup yang sangat berat, namun di sini Nabi Ayub a.s. membuktikan ketangguhan imannya, tidak sedikitpun ia merasa menderita dan tidak terbetik pada dirinya untuk menanggalkan imannya. Iman seperti ini jelas tidak dimiliki oleh banyak saudara kita yang tega menjual iman dan menukar aqidahnya dengan sekantong beras dan sebungkus sarimi, karena tidak tahan menghadapi kesulitan hidup yang mungkin tidak seberapa bila dibandingkan dengan apa yang dialami oleh Nabi a.s.
Keempat: Ujian lewat tangan orang-orang kafir dan orang-orang yang tidak menyenangi Islam. Apa yang dialami oleh Nabi Muhammad Saw. dan para sahabatnya terutama ketika masih berada di Mekkah kiranya cukup menjadi pelajaran bagi kita, betapa keimanan itu diuji dengan berbagai cobaan berat yang menuntut pengorbanan harta benda bahkan nyawa.
Disebutkan oleh Dr. Akram Dhiya Al-‘Umari dalam kitabnya As-Sirah An-Nabawiyyah Ash-Shahihah bahwa apa yang dialami oleh Rasulullah Saw. di akhir tahun ketujuh kenabian, ketika orang-orang Quraisy bersepakat untuk memutuskan hubungan apapun dengan Rasulullah Saw. beserta Bani Abdul Muthalib dan Bani Hasyim yang melindunginya, kecuali jika kedua suku itu bersedia menyerahkan Rasulullah Saw. untuk dibunuh. Rasulullah Saw. bersama orang-orang yang membelanya terkurung selama tiga tahun, mereka mengalami kelaparan dan penderitaan yang hebat.
Juga apa yang dialami oleh para sahabat tidak kalah beratnya, seperti apa yang dialami oleh Yasir dan istrinya Sumayyah dua orang pertama yang meninggal di jalan dakwah selama periode Mekkah. Juga Bilal Ibnu Rabah yang dipaksa memakai baju besi kemudian dijemur di padang pasir di bawah sengatan matahari, kemudian diarak oleh anak-anak kecil mengelilingi kota Mekkah dan Bilal hanya mengucapkan “Ahad, Ahad” (Allah yang Esa).
Dan masih banyak kisah-kisah lain yang menunjukkan betapa pengorbanan dan penderitaan mereka dalam perjuangan mempertahankan iman mereka. Namun penderitaan itu tidak sedikit pun mengendorkan semangat Rasulullah dan para sahabatnya untuk terus berdakwah dan menyebarkan Islam.
Rasulullah Saw. mengisahkan betapa beratnya perjuangan orang-orang dulu dalam perjuangan mereka mempertahankan iman mereka, sebagaimana dalam sabdanya:
لَقَدْ كَانَ مَنْ قَبْلَكُمْ لَيُمْشَطُ بِمِشَاطِ الْحَدِيْدِ مَا دُوْنَ عِظَامِهِ مِنْ لَحْمٍ أَوْ عَصَبٍ مَا يَصْرِفُهُ ذَلِكَ عَنْ دِيْنِهِ وَيُوْضَعُ الْمِنْشَارُ عَلَى مِفْرَقِ رَأْسِهِ فَيَشُقُّ بِاثْنَيْنِ مَا يَصْرِفُهُ ذَلِكَ عَنْ دِيْنِهِ. رواه البخاري.
... Sungguh telah terjadi kepada orang-orang sebelum kalian, ada yang di sisir dengan sisir besi (sehingga) terkelupas daging dari tulang-tulangnya, akan tetapi itu tidak memalingkannya dari agamanya, dan ada pula yang diletakkan di atas kepalanya gergaji sampai terbelah dua, namun itu tidak memalingkannya dari agamanya... (HR. Al-Bukhari).
Bila seseorang sudah menyatakan iman dan mengharapkan manisnya buah iman yang dimilikinya yaitu Surga, maka bersiap-siaplah untuk menghadapi ujian, sebagaimana yang dijanjikan oleh Allah Swt.:
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih, bagi mereka adalah Surga Firdaus menjadi tempat tinggal. (Al-Kahfi/18: 107).
Oleh: Hasnun Jauhari Ritonga, MA
Adalah sesuatu yang lumrah bila seseorang menginginkan hal yang besar, maka ia harus berjuang dan bekerja keras untuk mendapatkannya. Sudah memang kodratnya jika seseorang menginginkan kematangan dan kemantapan dalam kehidupannya, maka ia harus melalui serangkaian problem. Problem yang dihadapi semestinya dikelola secara baik sehingga menjadi bermanfaat baginya sebagai titik awal untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Problem-problem yang dialami adalah ujian. Ujian yang muncul harus dikelola secara arif, bukannya berusaha menghindarinya. Dalam kajian manajemen, justru pengelolaan problem atau yang sering disebut sebagai “problem solving” itulah yang menjadikan seseorang atau sekelompok orang menjadi teruji, mantap dan matang.
Demikian jugalah halnya dengan ujian keimanan bagi seseorang. Semakin kuat iman seseorang, maka ujian yang dihadapinya juga semakin berat. Orang yang mampu melaluinya akan menjadi orang yang taat di sisi Allah. Namun bukan berarti tidak banyak yang tidak mampu menghadapi ujian yang melanda, sehingga ia terperosok ke lembah yang nista, bahkan semakin jauh dari kodratnya sebagai manusia (asfala safilin).
Firman Allah dalam surat Al-‘Ankabut (29) ayat 2 dan 3:
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.
Ayat ini menjelaskan bahwa salah satu konsekuensi pernyataan iman seseorang, adalah harus siap menghadapi ujian yang diberikan Allah Swt. kepadanya. Hal ini dimaksudkan untuk membuktikan sejauh mana kebenaran dan kesungguhan seseorang dalam menyatakan imannya, apakah imannya itu betul-betul bersumber dari keyakinan dan kemantapan hati, atau sekedar ikut-ikutan serta tidak tahu arah dan tujuan, atau pernyataan iman seseorang hanya didorong oleh kepentingan sesaat, ingin mendapatkan kemenangan dan tidak mau menghadapi kesulitan.
Terkait dengan hal di atas Allah Swt. menjelaskan dalam surat Al-Ankabut (29) ayat 10:
Dan di antara manusia ada orang yang berkata: “Kami beriman kepada Allah”, maka apabila ia disakiti (karena ia beriman) kepada Allah, ia menganggap fitnah manusia itu sebagai azab Allah. Dan sungguh jika datang pertolongan dari Tuhanmu, mereka pasti akan berkata: “Sesungguh-nya kami adalah besertamu.” Bukankah Allah lebih mengetahui apa yang ada dalam dada semua manusia”?
Ujian yang diberikan oleh Allah kepada manusia adalah berbeda-beda. Dan ujian dari Allah bermacam-macam bentuknya. Menelusuri model-model yang digambarkan Allah Swt. di dalam Al-Qur’an, setidaknya ada empat macam ujian yang diberikan, berikut nabi-nabi-Nya sebagai pemeran utamanya::
Pertama: Ujian yang berbentuk perintah untuk dilaksanakan, seperti perintah Allah kepada Nabi Ibrahim a.s. untuk menyembelih putranya yang sangat ia cintai. Ini adalah satu perintah yang betul-betul berat dan mungkin tidak masuk akal, bagaimana seorang bapak harus menyembelih anaknya yang sangat dicintai, padahal anaknya itu tidak melakukan kesalahan apapun. Sungguh ini ujian yang sangat berat sehingga Allah sendiri mengatakan:
Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. (Ash-Shaffat/37: 106).
Dan di sini kita melihat bagaimana kualitas iman Nabi Ibrahim a.s. yang benar-benar sudah tahan uji, sehingga dengan segala ketabahan dan kesabarannya perintah yang sangat berat itupun dijalankan.
Apa yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim dan puteranya adalah pelajaran yang sangat berharga bagi kita, dan sangat perlu kita tauladani, karena sebagaimana kita rasakan dalam kehidupan kita, banyak sekali perintah Allah yang dianggap berat bagi kita, dan dengan berbagai alasan kita berusaha untuk tidak melaksanakannya. Sebagai contoh, Allah telah memerintahkan kepada para wanita Muslimah untuk mengenakan jilbab (pakaian yang menutup seluruh aurat) secara tegas untuk membedakan antara wanita Muslimah dan wanita musyrikah sebagaimana firmanNya:
Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang Mumin” “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Ahzab/33: 59).
Kedua: Ujian yang berbentuk larangan untuk ditinggalkan seperti halnya yang terjadi pada Nabi Yusuf a.s. yang diuji dengan seorang perempuan cantik, istri seorang pembesar di Mesir yang mengajaknya berzina, dan kesempatan itu sudah sangat terbuka, ketika keduanya sudah tinggal berdua di rumah dan si perempuan itu telah mengunci seluruh pintu rumah. Namun Nabi Yusuf Alaihissalam membuktikan kualitas imannya, ia berhasil meloloskan diri dari godaan perempuan itu, padahal sebagaimana pemuda umumnya ia mempunyai hasrat kepada wanita. Ini artinya ia telah lulus dari ujian atas imannya.
Sikap Nabi Yusuf a.s. ini perlu kita ikuti, terutama oleh para pemuda Muslim di zaman sekarang, di saat pintu-pintu kemaksiatan terbuka lebar, pelacuran merebak di mana-mana, minuman keras dan obat-obat terlarang sudah merambah berbagai lapisan masyarakat, sampai-sampai anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar pun sudah ada yang kecanduan. Perzinahan sudah seakan menjadi barang biasa bagi para pemuda, sehingga tak heran bila menurut sebuah penelitian, bahwa di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya enam dari sepuluh remaja putri sudah tidak perawan lagi. Di antara akibatnya setiap tahun sekitar dua juta bayi dibunuh dengan cara aborsi, atau dibunuh beberapa saat setelah si bayi lahir. Keadaan seperti itu diperparah dengan semakin banyaknya media cetak yang berlomba-lomba memamerkan aurat wanita, juga media elektronik dengan acara-acara yang sengaja dirancang untuk membangkitkan gairah seksual para remaja. Pada saat seperti inilah sikap Nabi Yusuf a.s. perlu ditanamkan dalam dada para pemuda Muslim. Para pemuda Muslim harus selalu siap siaga menghadapi godaan demi godaan yang akan menjerumuskan dirinya ke jurang kemaksiatan. Rasulullah Saw. telah menjanjikan kepada siapa saja yang menolak ajakan untuk berbuat maksiat, ia akan diberi perlindungan di hari Kiamat nanti sebagaimana sabdanya:
سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ فِيْ ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ ... وَرَجُلٌ طَلَبَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ إِنِّيْ أَخَافُ اللهَ ... متفق عليه.
“Tujuh (orang yang akan dilindungi Allah dalam lindungan-Nya pada hari tidak ada perlindungan selain perlindunganNya, .. dan seorang laki-laki yang diajak oleh seorang perempuan terhormat dan cantik, lalu ia berkata aku takut kepada Allah…” (HR. Al-Bukhari Muslim).
Ketiga: Ujian yang berbentuk musibah seperti terkena penyakit, ditinggalkan orang yang dicintai dan sebagainya. Sebagai contoh, Nabi Ayyub a.s. yang diuji oleh Allah dengan penyakit yang sangat buruk sehingga tidak ada sebesar lubang jarum pun dalam badannya yang selamat dari penyakit itu selain hatinya, seluruh hartanya telah habis tidak tersisa sedikitpun untuk biaya pengobatan penyakitnya dan untuk nafkah dirinya, seluruh kerabatnya meninggalkannya, tinggal ia dan isterinya yang setia menemaninya dan mencarikan nafkah untuknya. Di dalam Tafsir Ibn Katsir dijelaskan bahwa musibah yang dialami Nabi Ayyub a.s. berjalan selama delapan belas tahun, sampai pada saat yang sangat sulit sekali baginya ia memelas sambil berdo’a kepada Allah:
“Dan ingatlah akan hamba Kami Ayuub ketika ia menyeru Tuhan-nya;” Sesungguhnya aku diganggu syaitan dengan kepayahan dan siksaan”.
Dan ketika itu Allah memerintahkan Nabi Ayyub a.s. untuk menghantamkan kakinya ke tanah, kemudian keluarlah mata air dan Allah menyuruhnya untuk meminum dari air itu, maka hilanglah seluruh penyakit yang ada di bagian dalam dan luar tubuhnya. Begitulah ujian Allah kepada Nabi-Nya, masa delapan belas tahun ditinggalkan oleh sanak saudara merupakan perjalanan hidup yang sangat berat, namun di sini Nabi Ayub a.s. membuktikan ketangguhan imannya, tidak sedikitpun ia merasa menderita dan tidak terbetik pada dirinya untuk menanggalkan imannya. Iman seperti ini jelas tidak dimiliki oleh banyak saudara kita yang tega menjual iman dan menukar aqidahnya dengan sekantong beras dan sebungkus sarimi, karena tidak tahan menghadapi kesulitan hidup yang mungkin tidak seberapa bila dibandingkan dengan apa yang dialami oleh Nabi a.s.
Keempat: Ujian lewat tangan orang-orang kafir dan orang-orang yang tidak menyenangi Islam. Apa yang dialami oleh Nabi Muhammad Saw. dan para sahabatnya terutama ketika masih berada di Mekkah kiranya cukup menjadi pelajaran bagi kita, betapa keimanan itu diuji dengan berbagai cobaan berat yang menuntut pengorbanan harta benda bahkan nyawa.
Disebutkan oleh Dr. Akram Dhiya Al-‘Umari dalam kitabnya As-Sirah An-Nabawiyyah Ash-Shahihah bahwa apa yang dialami oleh Rasulullah Saw. di akhir tahun ketujuh kenabian, ketika orang-orang Quraisy bersepakat untuk memutuskan hubungan apapun dengan Rasulullah Saw. beserta Bani Abdul Muthalib dan Bani Hasyim yang melindunginya, kecuali jika kedua suku itu bersedia menyerahkan Rasulullah Saw. untuk dibunuh. Rasulullah Saw. bersama orang-orang yang membelanya terkurung selama tiga tahun, mereka mengalami kelaparan dan penderitaan yang hebat.
Juga apa yang dialami oleh para sahabat tidak kalah beratnya, seperti apa yang dialami oleh Yasir dan istrinya Sumayyah dua orang pertama yang meninggal di jalan dakwah selama periode Mekkah. Juga Bilal Ibnu Rabah yang dipaksa memakai baju besi kemudian dijemur di padang pasir di bawah sengatan matahari, kemudian diarak oleh anak-anak kecil mengelilingi kota Mekkah dan Bilal hanya mengucapkan “Ahad, Ahad” (Allah yang Esa).
Dan masih banyak kisah-kisah lain yang menunjukkan betapa pengorbanan dan penderitaan mereka dalam perjuangan mempertahankan iman mereka. Namun penderitaan itu tidak sedikit pun mengendorkan semangat Rasulullah dan para sahabatnya untuk terus berdakwah dan menyebarkan Islam.
Rasulullah Saw. mengisahkan betapa beratnya perjuangan orang-orang dulu dalam perjuangan mereka mempertahankan iman mereka, sebagaimana dalam sabdanya:
لَقَدْ كَانَ مَنْ قَبْلَكُمْ لَيُمْشَطُ بِمِشَاطِ الْحَدِيْدِ مَا دُوْنَ عِظَامِهِ مِنْ لَحْمٍ أَوْ عَصَبٍ مَا يَصْرِفُهُ ذَلِكَ عَنْ دِيْنِهِ وَيُوْضَعُ الْمِنْشَارُ عَلَى مِفْرَقِ رَأْسِهِ فَيَشُقُّ بِاثْنَيْنِ مَا يَصْرِفُهُ ذَلِكَ عَنْ دِيْنِهِ. رواه البخاري.
... Sungguh telah terjadi kepada orang-orang sebelum kalian, ada yang di sisir dengan sisir besi (sehingga) terkelupas daging dari tulang-tulangnya, akan tetapi itu tidak memalingkannya dari agamanya, dan ada pula yang diletakkan di atas kepalanya gergaji sampai terbelah dua, namun itu tidak memalingkannya dari agamanya... (HR. Al-Bukhari).
Bila seseorang sudah menyatakan iman dan mengharapkan manisnya buah iman yang dimilikinya yaitu Surga, maka bersiap-siaplah untuk menghadapi ujian, sebagaimana yang dijanjikan oleh Allah Swt.:
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih, bagi mereka adalah Surga Firdaus menjadi tempat tinggal. (Al-Kahfi/18: 107).
Sabtu, 07 Januari 2012
Soal Budaya Organisasi 2011/2012
KEMENTERIAN AGAMA RI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SUMATERA UTARA
FAKULTAS DAKWAH
Jalan Williem Iskandar Pasar V Telp. 661568-662925 Fax. 6615683 Medan Estate 20371
UJIAN SEMESTER GANJIL
TAHUN AKADEMIK 2011/2012
HARI/TANGGAL : JUM’AT / 06 JANUARI 2012 MATA KULIAH : BUDAYA ORGANISASI
PUKUL : 09.15 – 10..15 WIB (60 MENIT) DOSEN : HASNUN JAUHARI RITONGA, MA
Petunjuk:
a. Tulis identitas Anda pada kolom yang tersedia di lembar jawaban!
b. Bacalah pengantar soal dengan seksama!
c. Pergunakan waktu sebaik-baiknya dan kerjakan terlebih dahulu soal yang Anda anggap lebih mudah!
d. Masing-masing soal dengan jawaban yang benar diberikan nilai/skor 8 (delapan).
e. Selamat Ujian, Semoga Sukses, Amin !!!
1. Jelaskan pengertian dan pentingnya budaya organisasi!
2. Salah satu problem serius organisasi Islam dewasa ini adalah persoalan budaya organisasi. Jelaskan pendapat Anda tentang contoh budaya yang dianggap paling serius yang menjadi persoalan di dalam organisasi Islam!
3. Jelaskan bagaimana proses membentuk dan mempertahankan budaya organisasi!
4. Tuliskan salah satu ayat dan terjemahnya yang terkait dengan budaya organisasi, kemudian jelaskan bagaimana hubungan ayat tersebut dalam prakteknya di dalam organisasi-organisasi Islam di Indonesia!
5. Buat dalam bentuk minimal tabel 5 (lima) contoh-contoh nama-nama organisasi sesuai dengan kategori berikut:
a. Organisasi Sosial Keagamaan;
b. Organisasi Bisnis;
c. Organisasi Politik; dan
d. Organisasi Kepemudaan.
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SUMATERA UTARA
FAKULTAS DAKWAH
Jalan Williem Iskandar Pasar V Telp. 661568-662925 Fax. 6615683 Medan Estate 20371
UJIAN SEMESTER GANJIL
TAHUN AKADEMIK 2011/2012
HARI/TANGGAL : JUM’AT / 06 JANUARI 2012 MATA KULIAH : BUDAYA ORGANISASI
PUKUL : 09.15 – 10..15 WIB (60 MENIT) DOSEN : HASNUN JAUHARI RITONGA, MA
Petunjuk:
a. Tulis identitas Anda pada kolom yang tersedia di lembar jawaban!
b. Bacalah pengantar soal dengan seksama!
c. Pergunakan waktu sebaik-baiknya dan kerjakan terlebih dahulu soal yang Anda anggap lebih mudah!
d. Masing-masing soal dengan jawaban yang benar diberikan nilai/skor 8 (delapan).
e. Selamat Ujian, Semoga Sukses, Amin !!!
1. Jelaskan pengertian dan pentingnya budaya organisasi!
2. Salah satu problem serius organisasi Islam dewasa ini adalah persoalan budaya organisasi. Jelaskan pendapat Anda tentang contoh budaya yang dianggap paling serius yang menjadi persoalan di dalam organisasi Islam!
3. Jelaskan bagaimana proses membentuk dan mempertahankan budaya organisasi!
4. Tuliskan salah satu ayat dan terjemahnya yang terkait dengan budaya organisasi, kemudian jelaskan bagaimana hubungan ayat tersebut dalam prakteknya di dalam organisasi-organisasi Islam di Indonesia!
5. Buat dalam bentuk minimal tabel 5 (lima) contoh-contoh nama-nama organisasi sesuai dengan kategori berikut:
a. Organisasi Sosial Keagamaan;
b. Organisasi Bisnis;
c. Organisasi Politik; dan
d. Organisasi Kepemudaan.
Kisi-Kisi Soal Ujian SIMDAK 2011/2012
KISI-KISI SOAL UJIAN SIMDAK 2011/2012:
1. Pengertian tentang: data, database, sistem, informasi, sistem informasi, sistem informasi manajemen, dan sistem informasi manajemen dakwah.
2. Pentingnya informasi bagi seorang da’i dan lembaga dakwah.
3. Pentingnya SIMDAK dalam: perencanaan dakwah, pengambilan keputusan dakwah, dan pengendalian dakwah.
4. Pengertian dan pentingnya pengambilan keputusan serta langkah-langkah dalam pengambilan keputusan.
5. Model-model pengambilan keputusan (decision making): behavioral model, information model, normative model, dan participative model.
6. Proses cara kerja dalam SIMDAK, terutama tentang: bagaimana proses in put informasi, bagaimana proses sesudah info didapatkan, kemudian bagaimana out-put (terutama tentang: sasaran dan tujuannya).
7. Ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan selektivitas informasi.
8. Pemahaman tentang Q.s. An-Nur/24, ayat 11 dan kaitannya dengan sistem informasi.
9. Pengertian dan kegunaan: website, blog dan facebook.
1. Pengertian tentang: data, database, sistem, informasi, sistem informasi, sistem informasi manajemen, dan sistem informasi manajemen dakwah.
2. Pentingnya informasi bagi seorang da’i dan lembaga dakwah.
3. Pentingnya SIMDAK dalam: perencanaan dakwah, pengambilan keputusan dakwah, dan pengendalian dakwah.
4. Pengertian dan pentingnya pengambilan keputusan serta langkah-langkah dalam pengambilan keputusan.
5. Model-model pengambilan keputusan (decision making): behavioral model, information model, normative model, dan participative model.
6. Proses cara kerja dalam SIMDAK, terutama tentang: bagaimana proses in put informasi, bagaimana proses sesudah info didapatkan, kemudian bagaimana out-put (terutama tentang: sasaran dan tujuannya).
7. Ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan selektivitas informasi.
8. Pemahaman tentang Q.s. An-Nur/24, ayat 11 dan kaitannya dengan sistem informasi.
9. Pengertian dan kegunaan: website, blog dan facebook.
Komunikasi Lintas Budaya & Pembangunan (Ibrahim)
KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA DAN PEMBANGUNAN
Oleh:
I b r a h i m
NIM. 08 KOMI 1371
Makalah Diajukan Sebagai Tugas
Dalam Mata Kuliah KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA
Dosen Pembimbing:
Dr. Iskandar Zulkarnain, M.Si.
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SUMATERA UTARA
2009
PENDAHULUAN
Masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai budaya secara logis akan mengalami berbagai permasalahan, persentuhan antar budaya akan selalu terjadi karena permasalahan silang budaya selalu terkait erat dengan curtural materialisme yang mencermati budaya dari pola pikir dan tindakan dari kelompok sosial tertentu dimana pola temperamen ini banyak ditentukan oleh faktor keturunan (genetic), ketubuhan dan hubungan sosial tertentu.
Masyarakat indonesia dan kompleks kebudayaannya masing-masing plural (jamak) dan heterogen (aneka ragam). Pluralitas sebagai kontradiksi dari singularitas mengindikasikan adanya suatu situasi yang terdiri dari kejamakan, yaitu dijumpainya berbagai sub kelompok masyarakat yang tidak bisa di satu kelompokkan satu dengan yang lainnya, demikian pula dengan kebudayaan mereka, sementara heterogenitas merupakan kontraposisi dari homogenitas mengindikasi suatu kualitas dari keadaan yang menyimpan ketidak samaan dalam unsur-unsurnya.
Adapun dalam berkomunikasi dengan konteks keberagaman kebudayaan kerap kali menemui masalah atau hambatan-hambatan yang tidak diharapkan sebelumnya. Misalnya saja dalam penggunaan bahasa, lambang-lambang, nilai atau norma-norma masyarakat dan lain sebagainya. Padahal syarat untuk terjalinya hubungan itu tentu saja harus ada saling pengertian dan pertukaran informasi atau makna antara satu dengan lainnya. Komunikasi dan budaya mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi mata uang. Budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi dan pada gilirannya komunikasi pun turut menentukan memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya seperti yang dikatakan Edward T. Hall bahwa komunikasi adalah budaya dan budaya adalah komunikasi. Yang kesemuanya dapat diarahkan untuk mewujudkan terciptanya integrasi nasional atau pembangunan nasional.
Pembangunan Nasional tidak lepas dari aspek sosial budaya. Masyarakat Indonesia yang majemuk terdiri dari berbagai budaya, karena adanya kegiatan dan pranata khusus. Perbedaan ini justru berfungsi mempertahankan dasar identitas diri dan integrasi sosial masyarakat tersebut. Pluralisme masyarakat, dalam tatanan sosial, agama dan suku bangsa, telah ada sejak nenek moyang, kebhinekaan budaya yang dapat hidup berdampingan, merupakan kekayaan dalam khasanah budaya Nasional, bila identitas budaya dapat bermakna dan dihormati, bukan untuk kebanggaan dan sifat egoisme kelompok, apalagi diwarnai kepentingan politik.
Berangkat dari pemaparan di atas, maka saya akan mencoba menelusuri tentang: “Bagaimana peran komunikasi lintas budaya dalam pembangunan?”
A. Komunikasi Lintas Budaya
Sebelum terlalu jauh membahas topik ini, ada baiknya dikemukakan bahwa dalam makalah ini ada kalanya bahkan terlalu sering dipersamakan antara “komunikasi lintas budaya” dan “komunikasi antar budaya”. Pernyataan ini perlu agar tidak terjebak terhadap munculnya pertanyaan: “apakah kedua istilah tersebut sama atau tidak?”. Saya tidak ingin mempertentangkan keduanya, sekalipun hal itu memang debatable”, hanya untuk tujuan agar tidak terjadi kekeliruan pembahasan dalam makalah ini.
Kata “budaya” berasal dari bahasa Sansekerta buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi, yang berarti “budi” atau “akal”. Kebudayaan itu sendiri diartikan sebagai “hal-hal yang berkaitan dengan budi atau akal”. Istilah culture, yang merupakan istilah bahasa asing yang sama artinya dengan kebudayaan, berasal dari kata “colere” yang artinya adalah “mengolah atau mengerjakan”, yaitu dimaksudkan kepada keahlian mengolah dan mengerjakan tanah atau bertani. Kata colere yang kemudian berubah menjadi culture diartikan sebagai “segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam”.
Seorang Antropolog yang bernama E.B. Taylor (1871), memberikan defenisi mengenai kebudayaan, yaitu “kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, lain kemampuan-kemampuan dan kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat”. Antropolog ini menyatakan pula bahwa kebudayaan mencakup semua yang didapatkan dan dipelajari dari pola-pola perilaku normatif, artinya mencakup segala cara atau pola berpikir, merasakan dan bertindak.
Komunikasi antar budaya pada dasarnya jelas menerangkan bahwa ada penekanan pada perbedaan kebudayaan sebagai faktor yang menentukan dalam berlangsungnya proses komunikasi antar budaya. Komunikasi antar budaya juga mengakui dan mengurusi permasalahan mengenai persamaan dan perbedaan dalam karakteristik kebudayaan antar pelaku-pelaku komunikasi, tetapi titik perhatian utamanya tetap terhadap proses komunikasi individu-individu atau kelompok-kelompok yang berbeda kebudayaan dan mencoba untuk melakukan interaksi.
Komunikasi dan budaya yang mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi mata uang. Budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi, dan pada gilirannya komunikasi pun turut menentukan, memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya, seperti yang dikatakan Edward T. Hall, bahwa ‘komunikasi adalah budaya’ dan ‘budaya adalah komunikasi’. Pada satu sisi, komunikasi merupakan suatu mekanisme untuk mensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, baik secara horizontal, dari suatu masyarakat kepada masyarakat lainnya, ataupun secara vertikal dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Pada sisi lain budaya menetapkan norma-norma (komunikasi) yang dianggap sesuai untuk kelompok tertentu.
Unsur pokok yang mendasari proses komunikasi antar budaya ialah konsep-konsep tentang “Kebudayaan” dan “Komunikasi”. Hal ini pun digarisbawahi bahwa pengertian tentang komunikasi antar budaya memerlukan suatu pemahaman tentang konsep-konsep komunikaasi dan kebudayaan serta saling ketergantungan antara keduanya. Saling ketergantungan ini terbukti, apabila disadari bahwa pola-pola komunikasi yang khas dapat berkembang atau berubah dalam suatu kelompok kebudayaan khusus tertentu. Kesamaan tingkah laku antara satu generasi dengan generasi berikutnya hanya dimungkinkan berkat digunakannya sarana-sarana komunikasi. Sementara Smith (1966), seperti yang ditulis oleh Lusiana, menerangkan hubungan yang tidak terpisahkan antara komunikasi dan kebudayaan yang kurang lebih sebagai berikut: “Kebudayaan merupakan suatu kode atau kumpulan peraturan yang dipelajari dan dimiliki bersama; untuk mempelajari dan memiliki bersama diperlukan komunikasi, sedangkan komunikasi memerlukan kode-kode dan lambang-lambang yang harus dipelajari dan dimiliki bersama.” Hubungan antara individu dan kebudayaan saling mempengaruhi dan saling menentukan. Kebudayaan diciptakan dan dipertahankan melalui aktifitas komunikasi para individu anggotanya. Secara kolektif perilaku mereka secara bersama-sama menciptakan realita (kebudayaan) yang mengikat dan harus dipatuhi oleh individu agar dapat menjadi bagian dari unit. Maka jelas bahwa antara komunikasi dan kebudayaan terjadi hubungan yang sangat erat: Di satu pihak, jika bukan karena kemampuan manusia untuk menciptakan bahasa simbolik, tidak dapat dikembangkan pengetahuan, makna, simbol-simbol, nilai-nilai, aturan-aturan dan tata, yang memberi batasan dan bentuk pada hubungan-hubungan, organisasi-organisasi dan masyarakat yang terus berlangsung. Demikian pula, tanpa komunikasi tidak mungkin untuk mewariskan unsur-unsur kebudayaan dari satu generasi kegenerasi berikutnya, serta dari satu tempat ke tempat lainnya. Komunikasi juga merupakan sarana yang dapat menjadikan individu sadar dan menyesuaikan diri dengan subbudaya-subbudaya dan kebudayaan-kebudayaan asing yang dihadapinya. Tepat kiranya jika dikatakan bahwa kebudayaan dirumuskan, dibentuk, ditransmisikan daan dipelajari melalui komunikasi. Sebaliknya, pola-pola berpikir, berperilaku, kerangka acuan dari individu-individu sebahagian terbesar merupakan hasil penyesuaian diri dengan cara-cara khusus yang diatur dan dituntut oleh sistem sosial dimana mereka berada. Kebudayaan tidak saja menentukan siapa dapat berbicara dengan siapa, mengenai apa dan bagaimana komunikasi sebagainya berlangsung, tetapi juga menentukan cara mengkode atau menyandi pesan atau makna yang dilekatkan pada pesan dan dalam kondisi bagaimana macam-macam pesan dapat dikirimkan dan ditafsirkan. Singkatnya, keseluruhan prilaku komunikasi individu terutama tergantung pada kebudayaanya. Karena itulah, menurut Alo Liliweri, bahwa kebudayaan dibentuk oleh perilaku manusia, dan perilaku itu merupakan hasil persepsi manusia terhadap dunia. Perilaku tersebut merupakan perilaku terpola karena tampilannya berulang-ulang sehingga diterima sebagai pola-pola budaya.
Dengan demikian, kebudayaan merupakan pondasi atau landasan bagi komunikasi. Kebudayaan yang berbeda akan menghasilkan praktek-praktek komunikasi yang berbeda pula.
B. Komunikasi Dalam Pembangunan
Komunikasi dan pembangunan merupakan dua hal yang saling berhubungan sangat erat. Kedudukan komunikasi dalam konteks pembangunan sebagaimana disebutkan Roy dalam Jayaweera dan Anumagama (1987) adalah “as an integral part of development, and communication as a set of variables instrumental in bringing about development “. Siebert, Peterson dan Schramm (1956) menyatakan bahwa dalam mempelajari sistem komunikasi manusia, seseorang harus memperhatikan beberapa kepercayaan dan asumsi dasar yang dianut suatu masyarakat tentang asal usul manusia, masyarakat dan negara.
Strategi pembangunan menentukan strategi komunikasi, maka makna komunikasi pembangunan pun bergantung pada modal atau paradigma pembangunan yang dipilih oleh suatu negara. Peranan komunikasi pembangunan telah banyak dibicarakan oleh para ahli, pada umumnya mereka sepakat bahwa komunikasi mempunyai andil penting dalam pembangunan. Everett M. Rogers (1985) menyatakan bahwa, secara sederhana pembangunan adalah perubahan yang berguna menuju suatu sistem sosial dan ekonomi yang diputuskan sebagai kehendak dari suatu bangsa. Pada bagian lain Rogers menyatakan bahwa komunikasi merupakan dasar dari perubahan sosial.
Perubahan yang dikehendaki dalam pembangunan tentunya perubahan ke arah yang lebih baik atau lebih maju keadaan sebelumnya. Oleh karena itu peranan komunikasi dalam pembangunan harus dikaitkan dengan arah perubahan tersebut. Artinya kegiatan komunikasi harus mampu mengantisipasi gerak pembangunan.
Dari sekian banyak ulasan para ahli mengenai peran komunikasi pembangunan, Hedebro sebagaimana dikutip Zulkarimen Nasution mendaftar 12 peran yang dapat dilakukan komunikasi dalam pembangunan, yakni:
1. Komunikasi dapat menciptakan iklim bagi perubahan dengan membujukkan nilai-nilai, sikap mental, dan bentuk perilaku yang menunjang modernisasi.
2. Komunikasi dapat mengajarkan keterampilan-keterampilan baru, mulai dari baca-tulis ke pertanian, hingga ke keberhasilan lingkungan, hingga reparasi mobil (Schram,1967).
3. Media massa dapat bertindak sebagai pengganda sumber-sumber daya pengetahuan.
4. Media massa dapat mengantarkan pengalaman-pengalaman yang seolah-olah dialami sendiri, sehingga mengurangi biaya psikis dan ekonomis untuk menciptakan kepribadian yang mobile.
5. Komunikasi dapat meningkatkan aspirasi yang merupakan perangsang untuk bertindak nyata.
6. Komunikasi dapat membantu masyarakat menemukan norma-norma baru dan keharmonisan dari masa transisi (Rao,1966).
7. Komunikasi dapat membuat orang lebih condong untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan di tengah kehidupan masyarakat.
8. Komunikasi dapat mengubah struktur kekuasaan pada masyarakat yang bercirikan tradisional, dengan membawa pengetahuan kepada massa. Mereka yang beroleh informasi akan menjadi orang yang berarti, dan para pemimpin tradisional akan tertantang oleh kenyataan bahwa ada orang-orang lain yang juga mempunyai kelebihan dalam hal memiliki informasi.
9. Komunikasi dapat menciptakan rasa kebangsaan sebagai sesuatu yang mengatasi kesetiaan-kesetiaan lokal.
10. Komunikasi dapat membantu mayoritas populasi menyadari pentingnya arti mereka sebagai warga negara, sehingga dapat membantu meningkatkan aktivitas politik (Rao, 1966)
11. Komunikasi memudahkan perencanaan dan implementasi program-program pembangunan yang berkaitan dengan kebutuhan penduduk
Komunikasi dapat membuat pembangunan ekonomi, sosial, dan politik menjadi suatu proses yang berlangsung sendiri (self-perpetuating).
Berdasarkan hal di atas dapat dipertegas bahwa point 8 dan 9 terkait langsung dengan peranan komunikasi lintas budaya. Bahkan pada kedua point tersebut tidak boleh meninggalkan peranserta komunikasi lintas budaya dalam pembangunan nasional.
C. Peran Komunikasi Antar Budaya dalam Pembangunan
Dengan mencermati berbagai permasalahan pluralitas dan kondisi masyarakat Indonesia yang rawan disentegrasi nasional, di lapangan dapat kita temui adanya berbagai masalah yang ditengarai sebagai kendala penyelesaian masalah. Adapun di antaranya, yaitu:
1. Rendahnya tingkat pengetahuan, pengalaman, dan jangkauan komunikasi sebagian masyarakat yang dapat mengakibatkan rendahnya daya tangkal terhadap budaya asing yang negatif, dan keterbatasan dalam menyerap serta mengembangkan nilai-nilai baru yang positif, sekaligus mudah sekali terprofokasi dengan isu-isu yang dianggap mengancam eksistensinya.
2. Kurang maksimalnya media komunikasi dalam memerankan fungsinya sebagai mediator dan korektor informasi.
3. Paradigma pendidikan yang lebih menekankan pengembangan intelektual dengan mengabaikan pengembangan kecerdasan emosional, pembentukan sikap moral, dan penanaman nilai budaya. Manusia terbuai kegiatan dan pembangunan yang pragmatis, yang memberikan manfaat materiil yang lebih mudah teramati dan terukur, sehingga seringkali sangsi formal lebih ditakuti daripada sangsi moral.
4. Meningkatnya gejala “Societal crisis on caring” (krisis pengasuhan dan kepedulian dalam masyarakat) karena tingginya mobilitas sosial dan transformasi kultural yang ditangkap dan diadopsi secara terbatas.
Sejalan dengan berbagai kendala yang ada, maka upaya penyelesaian permasalahan pluralitas budaya sekaligus menunjukkan peran komunikasi antar budaya dalam terwujudnya pembangunan nasional, yakni dapat dilakukan dengan:
1. Membangun kehidupan multi kultural yang sehat; dilakukan dengan meningkatkan toleransi dan apresiasi antar budaya. Yang dapat diawali dengan peningkatan tingkat pengetahuan masyarakat tentang kebhinnekaan budaya, dengan berbagai model pengenalan ciri khas budaya tertentu, terutama psikologi masyarakat seperti pemahaman pola perilaku khusus masyarakatnya.
2. Peningkatan peran media komunikasi, terutama untuk melakukan sensor secara substantif yang berperan sebagai korektor terhadap penyimpangan norma sosial yang dominan. Salah satu caranya dengan melancarkan tekanan korektif terhadap subsistem yang mungkin keluar dari keseimbangan fungsional. Pengungkapan skandal atau perbuatan yang merugikan kepentingan umum dan melecehkan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat, harus disiarkan dengan fungsi sebagai pemeliharaan kestabilan. Sedang kontrol secara distributif, berfungsi memelihara keseimbangan sistem melalui diseminasi selektif dan berbagai ragam teknik-teknik penyebaran maupun penyaringan informasi, yang mungkin dapat mengundang kemelut dalam masyarakat atau menimbulkan perpecahan, justru media komunikasi dituntut untuk dapat menampilkan berbagai informasi yang bersifat apresiatif terhadap budaya masyarakat lain.
3. Strategi pendidikan yang berbasis budaya dapat menjadi pilihan karena pendidikan berbasis adat tidak akan melepaskan diri dari prinsip bahwa manusia adalah faktor utama, sehingga manusia harus selalu merupakan sobyek sekaligus tujuan dalam setiap langkah dan upaya perubahan. Nilai-nilai budaya tradisional dapat terinternalisasi dalam proses pendidikan baik di lingkungan keluarga, pendidikan formal maupun non formal. Khususnya pendidikan di sekolah diperlukan adanya paradigma baru yang dapat menyajikan model dan strategi pembelajaran yang dapat menseimbangkan proses homonisasi. Tujuannya adalah agar pembelajar dapat melihat manusia sebagai makhluk hidup dalam konteks lingkungan ekologinya. Di mana mereka memerlukan terasahnya kemampuan intelektual untuk menghadapi tantangan globalisasi dengan pendidikan sebagai proses humanisasi yang lebih menekankan manusia sebagai makhluk sosial yang mempunyai otonomi moral dan sensitivitas kedaulatan budaya. Harapannya dapat terbentuk manusia yang bisa mengelola konflik, menghargai kemajemukan, serta dapat tegar menghadapi arus perubahan. Caranya tidak lain, yakni dengan mempertajam sense of belonging, self of integrity, sense of participation dan sense of responcibility sebagai benteng terhadap pengaruh faktor eksternal tersebut. Pun transformasi budaya harus dipandu secara pelan-pelan, jadi hal ini bukanlah merupakan revolusi yang dipaksakan.
PENUTUP
Perbedaan kebudayaan dan gaya-gaya komunikasi berpotensi untuk menimbulkan masalah-masalah dalam komunikasi antar budaya. Tetapi tidak saja perbedaan, melainkan juga lebih penting lagi, kesulitan untuk mengakui perbedaan yang menyebabkan masalah serius dan mengancam kelancaran komunikasi antar budaya yang dapat menjurus ke disentegrasi nasional. Maka kesadaran akan variasi kebudayaan, ditambah dengan kemauan untuk menghargai variasi tersebut akan sangat mendorong hubungan antar kebudayaan. Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan, menampakkan bahwa kongruensi antara aspek kebhinekaan yang manunggal dalam keekaan harus menjadi kunci penyelesaian masalah.
Nilai budaya yang berkembang dalam suatu masyarakat, akan selalu berakar dari kearifan tradisional yang muncul dan berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat itu sendiri, kemajemukan masyarakat Indonesia dengan ciri keragaman budayanya tidak bisa secara otomatis terintegrasi menjadi kebudayaan nasional, yang sama mantapnya dengan setiap sistem adat yang ada, karena kebudayaan nasional tersebut baru pada taraf pembentukan. Maka, peran komunikasi antar budaya dalam mewujudkan integrasi nasional harus ditingkatkan. Antara lain melalui sikap saling menghargai antar manusianya, pendidikan, dan pelaksanaan ketertiban peraturan perundang-undangan yang adil dan demokratis.
DAFTAR BACAAN
Kusumohamodjojo, Budiono. 2000. Kebhinekaan Masyarakat Indonesia. Grasindo. Jakarta
Lubis, Lusiana Andriani. 2002. Komunikasi Antar Budaya. Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.
Soekanto, Soerjono. 1996. Sosiologi Suatu Pengantar. Rajawali Press. Jakarta
Liliweri, Alo. 2007. Makna Budaya Dalam Komunikasi Antarbudaya. LkiS. Yogyakarta.
Sitompul, Mukti. Konsep – Konsep Komunikasi Pembangunan, Fakultas Ilmu Sosial Dan Politik Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Sumatera Utara dalam http://library.usu.ac.id/download/fisip/komunikasi-mukti.pdf
Nasution, Zulkarimen. 2004. Komunikasi Pembangunan. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta
Oleh:
I b r a h i m
NIM. 08 KOMI 1371
Makalah Diajukan Sebagai Tugas
Dalam Mata Kuliah KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA
Dosen Pembimbing:
Dr. Iskandar Zulkarnain, M.Si.
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SUMATERA UTARA
2009
PENDAHULUAN
Masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai budaya secara logis akan mengalami berbagai permasalahan, persentuhan antar budaya akan selalu terjadi karena permasalahan silang budaya selalu terkait erat dengan curtural materialisme yang mencermati budaya dari pola pikir dan tindakan dari kelompok sosial tertentu dimana pola temperamen ini banyak ditentukan oleh faktor keturunan (genetic), ketubuhan dan hubungan sosial tertentu.
Masyarakat indonesia dan kompleks kebudayaannya masing-masing plural (jamak) dan heterogen (aneka ragam). Pluralitas sebagai kontradiksi dari singularitas mengindikasikan adanya suatu situasi yang terdiri dari kejamakan, yaitu dijumpainya berbagai sub kelompok masyarakat yang tidak bisa di satu kelompokkan satu dengan yang lainnya, demikian pula dengan kebudayaan mereka, sementara heterogenitas merupakan kontraposisi dari homogenitas mengindikasi suatu kualitas dari keadaan yang menyimpan ketidak samaan dalam unsur-unsurnya.
Adapun dalam berkomunikasi dengan konteks keberagaman kebudayaan kerap kali menemui masalah atau hambatan-hambatan yang tidak diharapkan sebelumnya. Misalnya saja dalam penggunaan bahasa, lambang-lambang, nilai atau norma-norma masyarakat dan lain sebagainya. Padahal syarat untuk terjalinya hubungan itu tentu saja harus ada saling pengertian dan pertukaran informasi atau makna antara satu dengan lainnya. Komunikasi dan budaya mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi mata uang. Budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi dan pada gilirannya komunikasi pun turut menentukan memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya seperti yang dikatakan Edward T. Hall bahwa komunikasi adalah budaya dan budaya adalah komunikasi. Yang kesemuanya dapat diarahkan untuk mewujudkan terciptanya integrasi nasional atau pembangunan nasional.
Pembangunan Nasional tidak lepas dari aspek sosial budaya. Masyarakat Indonesia yang majemuk terdiri dari berbagai budaya, karena adanya kegiatan dan pranata khusus. Perbedaan ini justru berfungsi mempertahankan dasar identitas diri dan integrasi sosial masyarakat tersebut. Pluralisme masyarakat, dalam tatanan sosial, agama dan suku bangsa, telah ada sejak nenek moyang, kebhinekaan budaya yang dapat hidup berdampingan, merupakan kekayaan dalam khasanah budaya Nasional, bila identitas budaya dapat bermakna dan dihormati, bukan untuk kebanggaan dan sifat egoisme kelompok, apalagi diwarnai kepentingan politik.
Berangkat dari pemaparan di atas, maka saya akan mencoba menelusuri tentang: “Bagaimana peran komunikasi lintas budaya dalam pembangunan?”
A. Komunikasi Lintas Budaya
Sebelum terlalu jauh membahas topik ini, ada baiknya dikemukakan bahwa dalam makalah ini ada kalanya bahkan terlalu sering dipersamakan antara “komunikasi lintas budaya” dan “komunikasi antar budaya”. Pernyataan ini perlu agar tidak terjebak terhadap munculnya pertanyaan: “apakah kedua istilah tersebut sama atau tidak?”. Saya tidak ingin mempertentangkan keduanya, sekalipun hal itu memang debatable”, hanya untuk tujuan agar tidak terjadi kekeliruan pembahasan dalam makalah ini.
Kata “budaya” berasal dari bahasa Sansekerta buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi, yang berarti “budi” atau “akal”. Kebudayaan itu sendiri diartikan sebagai “hal-hal yang berkaitan dengan budi atau akal”. Istilah culture, yang merupakan istilah bahasa asing yang sama artinya dengan kebudayaan, berasal dari kata “colere” yang artinya adalah “mengolah atau mengerjakan”, yaitu dimaksudkan kepada keahlian mengolah dan mengerjakan tanah atau bertani. Kata colere yang kemudian berubah menjadi culture diartikan sebagai “segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam”.
Seorang Antropolog yang bernama E.B. Taylor (1871), memberikan defenisi mengenai kebudayaan, yaitu “kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, lain kemampuan-kemampuan dan kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat”. Antropolog ini menyatakan pula bahwa kebudayaan mencakup semua yang didapatkan dan dipelajari dari pola-pola perilaku normatif, artinya mencakup segala cara atau pola berpikir, merasakan dan bertindak.
Komunikasi antar budaya pada dasarnya jelas menerangkan bahwa ada penekanan pada perbedaan kebudayaan sebagai faktor yang menentukan dalam berlangsungnya proses komunikasi antar budaya. Komunikasi antar budaya juga mengakui dan mengurusi permasalahan mengenai persamaan dan perbedaan dalam karakteristik kebudayaan antar pelaku-pelaku komunikasi, tetapi titik perhatian utamanya tetap terhadap proses komunikasi individu-individu atau kelompok-kelompok yang berbeda kebudayaan dan mencoba untuk melakukan interaksi.
Komunikasi dan budaya yang mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi mata uang. Budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi, dan pada gilirannya komunikasi pun turut menentukan, memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya, seperti yang dikatakan Edward T. Hall, bahwa ‘komunikasi adalah budaya’ dan ‘budaya adalah komunikasi’. Pada satu sisi, komunikasi merupakan suatu mekanisme untuk mensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, baik secara horizontal, dari suatu masyarakat kepada masyarakat lainnya, ataupun secara vertikal dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Pada sisi lain budaya menetapkan norma-norma (komunikasi) yang dianggap sesuai untuk kelompok tertentu.
Unsur pokok yang mendasari proses komunikasi antar budaya ialah konsep-konsep tentang “Kebudayaan” dan “Komunikasi”. Hal ini pun digarisbawahi bahwa pengertian tentang komunikasi antar budaya memerlukan suatu pemahaman tentang konsep-konsep komunikaasi dan kebudayaan serta saling ketergantungan antara keduanya. Saling ketergantungan ini terbukti, apabila disadari bahwa pola-pola komunikasi yang khas dapat berkembang atau berubah dalam suatu kelompok kebudayaan khusus tertentu. Kesamaan tingkah laku antara satu generasi dengan generasi berikutnya hanya dimungkinkan berkat digunakannya sarana-sarana komunikasi. Sementara Smith (1966), seperti yang ditulis oleh Lusiana, menerangkan hubungan yang tidak terpisahkan antara komunikasi dan kebudayaan yang kurang lebih sebagai berikut: “Kebudayaan merupakan suatu kode atau kumpulan peraturan yang dipelajari dan dimiliki bersama; untuk mempelajari dan memiliki bersama diperlukan komunikasi, sedangkan komunikasi memerlukan kode-kode dan lambang-lambang yang harus dipelajari dan dimiliki bersama.” Hubungan antara individu dan kebudayaan saling mempengaruhi dan saling menentukan. Kebudayaan diciptakan dan dipertahankan melalui aktifitas komunikasi para individu anggotanya. Secara kolektif perilaku mereka secara bersama-sama menciptakan realita (kebudayaan) yang mengikat dan harus dipatuhi oleh individu agar dapat menjadi bagian dari unit. Maka jelas bahwa antara komunikasi dan kebudayaan terjadi hubungan yang sangat erat: Di satu pihak, jika bukan karena kemampuan manusia untuk menciptakan bahasa simbolik, tidak dapat dikembangkan pengetahuan, makna, simbol-simbol, nilai-nilai, aturan-aturan dan tata, yang memberi batasan dan bentuk pada hubungan-hubungan, organisasi-organisasi dan masyarakat yang terus berlangsung. Demikian pula, tanpa komunikasi tidak mungkin untuk mewariskan unsur-unsur kebudayaan dari satu generasi kegenerasi berikutnya, serta dari satu tempat ke tempat lainnya. Komunikasi juga merupakan sarana yang dapat menjadikan individu sadar dan menyesuaikan diri dengan subbudaya-subbudaya dan kebudayaan-kebudayaan asing yang dihadapinya. Tepat kiranya jika dikatakan bahwa kebudayaan dirumuskan, dibentuk, ditransmisikan daan dipelajari melalui komunikasi. Sebaliknya, pola-pola berpikir, berperilaku, kerangka acuan dari individu-individu sebahagian terbesar merupakan hasil penyesuaian diri dengan cara-cara khusus yang diatur dan dituntut oleh sistem sosial dimana mereka berada. Kebudayaan tidak saja menentukan siapa dapat berbicara dengan siapa, mengenai apa dan bagaimana komunikasi sebagainya berlangsung, tetapi juga menentukan cara mengkode atau menyandi pesan atau makna yang dilekatkan pada pesan dan dalam kondisi bagaimana macam-macam pesan dapat dikirimkan dan ditafsirkan. Singkatnya, keseluruhan prilaku komunikasi individu terutama tergantung pada kebudayaanya. Karena itulah, menurut Alo Liliweri, bahwa kebudayaan dibentuk oleh perilaku manusia, dan perilaku itu merupakan hasil persepsi manusia terhadap dunia. Perilaku tersebut merupakan perilaku terpola karena tampilannya berulang-ulang sehingga diterima sebagai pola-pola budaya.
Dengan demikian, kebudayaan merupakan pondasi atau landasan bagi komunikasi. Kebudayaan yang berbeda akan menghasilkan praktek-praktek komunikasi yang berbeda pula.
B. Komunikasi Dalam Pembangunan
Komunikasi dan pembangunan merupakan dua hal yang saling berhubungan sangat erat. Kedudukan komunikasi dalam konteks pembangunan sebagaimana disebutkan Roy dalam Jayaweera dan Anumagama (1987) adalah “as an integral part of development, and communication as a set of variables instrumental in bringing about development “. Siebert, Peterson dan Schramm (1956) menyatakan bahwa dalam mempelajari sistem komunikasi manusia, seseorang harus memperhatikan beberapa kepercayaan dan asumsi dasar yang dianut suatu masyarakat tentang asal usul manusia, masyarakat dan negara.
Strategi pembangunan menentukan strategi komunikasi, maka makna komunikasi pembangunan pun bergantung pada modal atau paradigma pembangunan yang dipilih oleh suatu negara. Peranan komunikasi pembangunan telah banyak dibicarakan oleh para ahli, pada umumnya mereka sepakat bahwa komunikasi mempunyai andil penting dalam pembangunan. Everett M. Rogers (1985) menyatakan bahwa, secara sederhana pembangunan adalah perubahan yang berguna menuju suatu sistem sosial dan ekonomi yang diputuskan sebagai kehendak dari suatu bangsa. Pada bagian lain Rogers menyatakan bahwa komunikasi merupakan dasar dari perubahan sosial.
Perubahan yang dikehendaki dalam pembangunan tentunya perubahan ke arah yang lebih baik atau lebih maju keadaan sebelumnya. Oleh karena itu peranan komunikasi dalam pembangunan harus dikaitkan dengan arah perubahan tersebut. Artinya kegiatan komunikasi harus mampu mengantisipasi gerak pembangunan.
Dari sekian banyak ulasan para ahli mengenai peran komunikasi pembangunan, Hedebro sebagaimana dikutip Zulkarimen Nasution mendaftar 12 peran yang dapat dilakukan komunikasi dalam pembangunan, yakni:
1. Komunikasi dapat menciptakan iklim bagi perubahan dengan membujukkan nilai-nilai, sikap mental, dan bentuk perilaku yang menunjang modernisasi.
2. Komunikasi dapat mengajarkan keterampilan-keterampilan baru, mulai dari baca-tulis ke pertanian, hingga ke keberhasilan lingkungan, hingga reparasi mobil (Schram,1967).
3. Media massa dapat bertindak sebagai pengganda sumber-sumber daya pengetahuan.
4. Media massa dapat mengantarkan pengalaman-pengalaman yang seolah-olah dialami sendiri, sehingga mengurangi biaya psikis dan ekonomis untuk menciptakan kepribadian yang mobile.
5. Komunikasi dapat meningkatkan aspirasi yang merupakan perangsang untuk bertindak nyata.
6. Komunikasi dapat membantu masyarakat menemukan norma-norma baru dan keharmonisan dari masa transisi (Rao,1966).
7. Komunikasi dapat membuat orang lebih condong untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan di tengah kehidupan masyarakat.
8. Komunikasi dapat mengubah struktur kekuasaan pada masyarakat yang bercirikan tradisional, dengan membawa pengetahuan kepada massa. Mereka yang beroleh informasi akan menjadi orang yang berarti, dan para pemimpin tradisional akan tertantang oleh kenyataan bahwa ada orang-orang lain yang juga mempunyai kelebihan dalam hal memiliki informasi.
9. Komunikasi dapat menciptakan rasa kebangsaan sebagai sesuatu yang mengatasi kesetiaan-kesetiaan lokal.
10. Komunikasi dapat membantu mayoritas populasi menyadari pentingnya arti mereka sebagai warga negara, sehingga dapat membantu meningkatkan aktivitas politik (Rao, 1966)
11. Komunikasi memudahkan perencanaan dan implementasi program-program pembangunan yang berkaitan dengan kebutuhan penduduk
Komunikasi dapat membuat pembangunan ekonomi, sosial, dan politik menjadi suatu proses yang berlangsung sendiri (self-perpetuating).
Berdasarkan hal di atas dapat dipertegas bahwa point 8 dan 9 terkait langsung dengan peranan komunikasi lintas budaya. Bahkan pada kedua point tersebut tidak boleh meninggalkan peranserta komunikasi lintas budaya dalam pembangunan nasional.
C. Peran Komunikasi Antar Budaya dalam Pembangunan
Dengan mencermati berbagai permasalahan pluralitas dan kondisi masyarakat Indonesia yang rawan disentegrasi nasional, di lapangan dapat kita temui adanya berbagai masalah yang ditengarai sebagai kendala penyelesaian masalah. Adapun di antaranya, yaitu:
1. Rendahnya tingkat pengetahuan, pengalaman, dan jangkauan komunikasi sebagian masyarakat yang dapat mengakibatkan rendahnya daya tangkal terhadap budaya asing yang negatif, dan keterbatasan dalam menyerap serta mengembangkan nilai-nilai baru yang positif, sekaligus mudah sekali terprofokasi dengan isu-isu yang dianggap mengancam eksistensinya.
2. Kurang maksimalnya media komunikasi dalam memerankan fungsinya sebagai mediator dan korektor informasi.
3. Paradigma pendidikan yang lebih menekankan pengembangan intelektual dengan mengabaikan pengembangan kecerdasan emosional, pembentukan sikap moral, dan penanaman nilai budaya. Manusia terbuai kegiatan dan pembangunan yang pragmatis, yang memberikan manfaat materiil yang lebih mudah teramati dan terukur, sehingga seringkali sangsi formal lebih ditakuti daripada sangsi moral.
4. Meningkatnya gejala “Societal crisis on caring” (krisis pengasuhan dan kepedulian dalam masyarakat) karena tingginya mobilitas sosial dan transformasi kultural yang ditangkap dan diadopsi secara terbatas.
Sejalan dengan berbagai kendala yang ada, maka upaya penyelesaian permasalahan pluralitas budaya sekaligus menunjukkan peran komunikasi antar budaya dalam terwujudnya pembangunan nasional, yakni dapat dilakukan dengan:
1. Membangun kehidupan multi kultural yang sehat; dilakukan dengan meningkatkan toleransi dan apresiasi antar budaya. Yang dapat diawali dengan peningkatan tingkat pengetahuan masyarakat tentang kebhinnekaan budaya, dengan berbagai model pengenalan ciri khas budaya tertentu, terutama psikologi masyarakat seperti pemahaman pola perilaku khusus masyarakatnya.
2. Peningkatan peran media komunikasi, terutama untuk melakukan sensor secara substantif yang berperan sebagai korektor terhadap penyimpangan norma sosial yang dominan. Salah satu caranya dengan melancarkan tekanan korektif terhadap subsistem yang mungkin keluar dari keseimbangan fungsional. Pengungkapan skandal atau perbuatan yang merugikan kepentingan umum dan melecehkan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat, harus disiarkan dengan fungsi sebagai pemeliharaan kestabilan. Sedang kontrol secara distributif, berfungsi memelihara keseimbangan sistem melalui diseminasi selektif dan berbagai ragam teknik-teknik penyebaran maupun penyaringan informasi, yang mungkin dapat mengundang kemelut dalam masyarakat atau menimbulkan perpecahan, justru media komunikasi dituntut untuk dapat menampilkan berbagai informasi yang bersifat apresiatif terhadap budaya masyarakat lain.
3. Strategi pendidikan yang berbasis budaya dapat menjadi pilihan karena pendidikan berbasis adat tidak akan melepaskan diri dari prinsip bahwa manusia adalah faktor utama, sehingga manusia harus selalu merupakan sobyek sekaligus tujuan dalam setiap langkah dan upaya perubahan. Nilai-nilai budaya tradisional dapat terinternalisasi dalam proses pendidikan baik di lingkungan keluarga, pendidikan formal maupun non formal. Khususnya pendidikan di sekolah diperlukan adanya paradigma baru yang dapat menyajikan model dan strategi pembelajaran yang dapat menseimbangkan proses homonisasi. Tujuannya adalah agar pembelajar dapat melihat manusia sebagai makhluk hidup dalam konteks lingkungan ekologinya. Di mana mereka memerlukan terasahnya kemampuan intelektual untuk menghadapi tantangan globalisasi dengan pendidikan sebagai proses humanisasi yang lebih menekankan manusia sebagai makhluk sosial yang mempunyai otonomi moral dan sensitivitas kedaulatan budaya. Harapannya dapat terbentuk manusia yang bisa mengelola konflik, menghargai kemajemukan, serta dapat tegar menghadapi arus perubahan. Caranya tidak lain, yakni dengan mempertajam sense of belonging, self of integrity, sense of participation dan sense of responcibility sebagai benteng terhadap pengaruh faktor eksternal tersebut. Pun transformasi budaya harus dipandu secara pelan-pelan, jadi hal ini bukanlah merupakan revolusi yang dipaksakan.
PENUTUP
Perbedaan kebudayaan dan gaya-gaya komunikasi berpotensi untuk menimbulkan masalah-masalah dalam komunikasi antar budaya. Tetapi tidak saja perbedaan, melainkan juga lebih penting lagi, kesulitan untuk mengakui perbedaan yang menyebabkan masalah serius dan mengancam kelancaran komunikasi antar budaya yang dapat menjurus ke disentegrasi nasional. Maka kesadaran akan variasi kebudayaan, ditambah dengan kemauan untuk menghargai variasi tersebut akan sangat mendorong hubungan antar kebudayaan. Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan, menampakkan bahwa kongruensi antara aspek kebhinekaan yang manunggal dalam keekaan harus menjadi kunci penyelesaian masalah.
Nilai budaya yang berkembang dalam suatu masyarakat, akan selalu berakar dari kearifan tradisional yang muncul dan berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat itu sendiri, kemajemukan masyarakat Indonesia dengan ciri keragaman budayanya tidak bisa secara otomatis terintegrasi menjadi kebudayaan nasional, yang sama mantapnya dengan setiap sistem adat yang ada, karena kebudayaan nasional tersebut baru pada taraf pembentukan. Maka, peran komunikasi antar budaya dalam mewujudkan integrasi nasional harus ditingkatkan. Antara lain melalui sikap saling menghargai antar manusianya, pendidikan, dan pelaksanaan ketertiban peraturan perundang-undangan yang adil dan demokratis.
DAFTAR BACAAN
Kusumohamodjojo, Budiono. 2000. Kebhinekaan Masyarakat Indonesia. Grasindo. Jakarta
Lubis, Lusiana Andriani. 2002. Komunikasi Antar Budaya. Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.
Soekanto, Soerjono. 1996. Sosiologi Suatu Pengantar. Rajawali Press. Jakarta
Liliweri, Alo. 2007. Makna Budaya Dalam Komunikasi Antarbudaya. LkiS. Yogyakarta.
Sitompul, Mukti. Konsep – Konsep Komunikasi Pembangunan, Fakultas Ilmu Sosial Dan Politik Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Sumatera Utara dalam http://library.usu.ac.id/download/fisip/komunikasi-mukti.pdf
Nasution, Zulkarimen. 2004. Komunikasi Pembangunan. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta
Langganan:
Postingan (Atom)