Kamis, 09 Februari 2012

UJIAN KEIMANAN

MODEL-MODEL UJIAN KEIMANAN DAN PARA NABI PEMERAN UTAMANYA
Oleh: Hasnun Jauhari Ritonga, MA

Adalah sesuatu yang lumrah bila seseorang menginginkan hal yang besar, maka ia harus berjuang dan bekerja keras untuk mendapatkannya. Sudah memang kodratnya jika seseorang menginginkan kematangan dan kemantapan dalam kehidupannya, maka ia harus melalui serangkaian problem. Problem yang dihadapi semestinya dikelola secara baik sehingga menjadi bermanfaat baginya sebagai titik awal untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Problem-problem yang dialami adalah ujian. Ujian yang muncul harus dikelola secara arif, bukannya berusaha menghindarinya. Dalam kajian manajemen, justru pengelolaan problem atau yang sering disebut sebagai “problem solving” itulah yang menjadikan seseorang atau sekelompok orang menjadi teruji, mantap dan matang.
Demikian jugalah halnya dengan ujian keimanan bagi seseorang. Semakin kuat iman seseorang, maka ujian yang dihadapinya juga semakin berat. Orang yang mampu melaluinya akan menjadi orang yang taat di sisi Allah. Namun bukan berarti tidak banyak yang tidak mampu menghadapi ujian yang melanda, sehingga ia terperosok ke lembah yang nista, bahkan semakin jauh dari kodratnya sebagai manusia (asfala safilin).
Firman Allah dalam surat Al-‘Ankabut (29) ayat 2 dan 3:
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.
Ayat ini menjelaskan bahwa salah satu konsekuensi pernyataan iman seseorang, adalah harus siap menghadapi ujian yang diberikan Allah Swt. kepadanya. Hal ini dimaksudkan untuk membuktikan sejauh mana kebenaran dan kesungguhan seseorang dalam menyatakan imannya, apakah imannya itu betul-betul bersumber dari keyakinan dan kemantapan hati, atau sekedar ikut-ikutan serta tidak tahu arah dan tujuan, atau pernyataan iman seseorang hanya didorong oleh kepentingan sesaat, ingin mendapatkan kemenangan dan tidak mau menghadapi kesulitan.
Terkait dengan hal di atas Allah Swt. menjelaskan dalam surat Al-Ankabut (29) ayat 10:
Dan di antara manusia ada orang yang berkata: “Kami beriman kepada Allah”, maka apabila ia disakiti (karena ia beriman) kepada Allah, ia menganggap fitnah manusia itu sebagai azab Allah. Dan sungguh jika datang pertolongan dari Tuhanmu, mereka pasti akan berkata: “Sesungguh-nya kami adalah besertamu.” Bukankah Allah lebih mengetahui apa yang ada dalam dada semua manusia”?
Ujian yang diberikan oleh Allah kepada manusia adalah berbeda-beda. Dan ujian dari Allah bermacam-macam bentuknya. Menelusuri model-model yang digambarkan Allah Swt. di dalam Al-Qur’an, setidaknya ada empat macam ujian yang diberikan, berikut nabi-nabi-Nya sebagai pemeran utamanya::
Pertama: Ujian yang berbentuk perintah untuk dilaksanakan, seperti perintah Allah kepada Nabi Ibrahim a.s. untuk menyembelih putranya yang sangat ia cintai. Ini adalah satu perintah yang betul-betul berat dan mungkin tidak masuk akal, bagaimana seorang bapak harus menyembelih anaknya yang sangat dicintai, padahal anaknya itu tidak melakukan kesalahan apapun. Sungguh ini ujian yang sangat berat sehingga Allah sendiri mengatakan:
Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. (Ash-Shaffat/37: 106).
Dan di sini kita melihat bagaimana kualitas iman Nabi Ibrahim a.s. yang benar-benar sudah tahan uji, sehingga dengan segala ketabahan dan kesabarannya perintah yang sangat berat itupun dijalankan.
Apa yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim dan puteranya adalah pelajaran yang sangat berharga bagi kita, dan sangat perlu kita tauladani, karena sebagaimana kita rasakan dalam kehidupan kita, banyak sekali perintah Allah yang dianggap berat bagi kita, dan dengan berbagai alasan kita berusaha untuk tidak melaksanakannya. Sebagai contoh, Allah telah memerintahkan kepada para wanita Muslimah untuk mengenakan jilbab (pakaian yang menutup seluruh aurat) secara tegas untuk membedakan antara wanita Muslimah dan wanita musyrikah sebagaimana firmanNya:
Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang Mumin” “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Ahzab/33: 59).
Kedua: Ujian yang berbentuk larangan untuk ditinggalkan seperti halnya yang terjadi pada Nabi Yusuf a.s. yang diuji dengan seorang perempuan cantik, istri seorang pembesar di Mesir yang mengajaknya berzina, dan kesempatan itu sudah sangat terbuka, ketika keduanya sudah tinggal berdua di rumah dan si perempuan itu telah mengunci seluruh pintu rumah. Namun Nabi Yusuf Alaihissalam membuktikan kualitas imannya, ia berhasil meloloskan diri dari godaan perempuan itu, padahal sebagaimana pemuda umumnya ia mempunyai hasrat kepada wanita. Ini artinya ia telah lulus dari ujian atas imannya.
Sikap Nabi Yusuf a.s. ini perlu kita ikuti, terutama oleh para pemuda Muslim di zaman sekarang, di saat pintu-pintu kemaksiatan terbuka lebar, pelacuran merebak di mana-mana, minuman keras dan obat-obat terlarang sudah merambah berbagai lapisan masyarakat, sampai-sampai anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar pun sudah ada yang kecanduan. Perzinahan sudah seakan menjadi barang biasa bagi para pemuda, sehingga tak heran bila menurut sebuah penelitian, bahwa di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya enam dari sepuluh remaja putri sudah tidak perawan lagi. Di antara akibatnya setiap tahun sekitar dua juta bayi dibunuh dengan cara aborsi, atau dibunuh beberapa saat setelah si bayi lahir. Keadaan seperti itu diperparah dengan semakin banyaknya media cetak yang berlomba-lomba memamerkan aurat wanita, juga media elektronik dengan acara-acara yang sengaja dirancang untuk membangkitkan gairah seksual para remaja. Pada saat seperti inilah sikap Nabi Yusuf a.s. perlu ditanamkan dalam dada para pemuda Muslim. Para pemuda Muslim harus selalu siap siaga menghadapi godaan demi godaan yang akan menjerumuskan dirinya ke jurang kemaksiatan. Rasulullah Saw. telah menjanjikan kepada siapa saja yang menolak ajakan untuk berbuat maksiat, ia akan diberi perlindungan di hari Kiamat nanti sebagaimana sabdanya:

سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ فِيْ ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ ... وَرَجُلٌ طَلَبَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ إِنِّيْ أَخَافُ اللهَ ... متفق عليه.
“Tujuh (orang yang akan dilindungi Allah dalam lindungan-Nya pada hari tidak ada perlindungan selain perlindunganNya, .. dan seorang laki-laki yang diajak oleh seorang perempuan terhormat dan cantik, lalu ia berkata aku takut kepada Allah…” (HR. Al-Bukhari Muslim).
Ketiga: Ujian yang berbentuk musibah seperti terkena penyakit, ditinggalkan orang yang dicintai dan sebagainya. Sebagai contoh, Nabi Ayyub a.s. yang diuji oleh Allah dengan penyakit yang sangat buruk sehingga tidak ada sebesar lubang jarum pun dalam badannya yang selamat dari penyakit itu selain hatinya, seluruh hartanya telah habis tidak tersisa sedikitpun untuk biaya pengobatan penyakitnya dan untuk nafkah dirinya, seluruh kerabatnya meninggalkannya, tinggal ia dan isterinya yang setia menemaninya dan mencarikan nafkah untuknya. Di dalam Tafsir Ibn Katsir dijelaskan bahwa musibah yang dialami Nabi Ayyub a.s. berjalan selama delapan belas tahun, sampai pada saat yang sangat sulit sekali baginya ia memelas sambil berdo’a kepada Allah:
“Dan ingatlah akan hamba Kami Ayuub ketika ia menyeru Tuhan-nya;” Sesungguhnya aku diganggu syaitan dengan kepayahan dan siksaan”.
Dan ketika itu Allah memerintahkan Nabi Ayyub a.s. untuk menghantamkan kakinya ke tanah, kemudian keluarlah mata air dan Allah menyuruhnya untuk meminum dari air itu, maka hilanglah seluruh penyakit yang ada di bagian dalam dan luar tubuhnya. Begitulah ujian Allah kepada Nabi-Nya, masa delapan belas tahun ditinggalkan oleh sanak saudara merupakan perjalanan hidup yang sangat berat, namun di sini Nabi Ayub a.s. membuktikan ketangguhan imannya, tidak sedikitpun ia merasa menderita dan tidak terbetik pada dirinya untuk menanggalkan imannya. Iman seperti ini jelas tidak dimiliki oleh banyak saudara kita yang tega menjual iman dan menukar aqidahnya dengan sekantong beras dan sebungkus sarimi, karena tidak tahan menghadapi kesulitan hidup yang mungkin tidak seberapa bila dibandingkan dengan apa yang dialami oleh Nabi a.s.
Keempat: Ujian lewat tangan orang-orang kafir dan orang-orang yang tidak menyenangi Islam. Apa yang dialami oleh Nabi Muhammad Saw. dan para sahabatnya terutama ketika masih berada di Mekkah kiranya cukup menjadi pelajaran bagi kita, betapa keimanan itu diuji dengan berbagai cobaan berat yang menuntut pengorbanan harta benda bahkan nyawa.
Disebutkan oleh Dr. Akram Dhiya Al-‘Umari dalam kitabnya As-Sirah An-Nabawiyyah Ash-Shahihah bahwa apa yang dialami oleh Rasulullah Saw. di akhir tahun ketujuh kenabian, ketika orang-orang Quraisy bersepakat untuk memutuskan hubungan apapun dengan Rasulullah Saw. beserta Bani Abdul Muthalib dan Bani Hasyim yang melindunginya, kecuali jika kedua suku itu bersedia menyerahkan Rasulullah Saw. untuk dibunuh. Rasulullah Saw. bersama orang-orang yang membelanya terkurung selama tiga tahun, mereka mengalami kelaparan dan penderitaan yang hebat.
Juga apa yang dialami oleh para sahabat tidak kalah beratnya, seperti apa yang dialami oleh Yasir dan istrinya Sumayyah dua orang pertama yang meninggal di jalan dakwah selama periode Mekkah. Juga Bilal Ibnu Rabah yang dipaksa memakai baju besi kemudian dijemur di padang pasir di bawah sengatan matahari, kemudian diarak oleh anak-anak kecil mengelilingi kota Mekkah dan Bilal hanya mengucapkan “Ahad, Ahad” (Allah yang Esa).
Dan masih banyak kisah-kisah lain yang menunjukkan betapa pengorbanan dan penderitaan mereka dalam perjuangan mempertahankan iman mereka. Namun penderitaan itu tidak sedikit pun mengendorkan semangat Rasulullah dan para sahabatnya untuk terus berdakwah dan menyebarkan Islam.
Rasulullah Saw. mengisahkan betapa beratnya perjuangan orang-orang dulu dalam perjuangan mereka mempertahankan iman mereka, sebagaimana dalam sabdanya:

لَقَدْ كَانَ مَنْ قَبْلَكُمْ لَيُمْشَطُ بِمِشَاطِ الْحَدِيْدِ مَا دُوْنَ عِظَامِهِ مِنْ لَحْمٍ أَوْ عَصَبٍ مَا يَصْرِفُهُ ذَلِكَ عَنْ دِيْنِهِ وَيُوْضَعُ الْمِنْشَارُ عَلَى مِفْرَقِ رَأْسِهِ فَيَشُقُّ بِاثْنَيْنِ مَا يَصْرِفُهُ ذَلِكَ عَنْ دِيْنِهِ. رواه البخاري.
... Sungguh telah terjadi kepada orang-orang sebelum kalian, ada yang di sisir dengan sisir besi (sehingga) terkelupas daging dari tulang-tulangnya, akan tetapi itu tidak memalingkannya dari agamanya, dan ada pula yang diletakkan di atas kepalanya gergaji sampai terbelah dua, namun itu tidak memalingkannya dari agamanya... (HR. Al-Bukhari).
Bila seseorang sudah menyatakan iman dan mengharapkan manisnya buah iman yang dimilikinya yaitu Surga, maka bersiap-siaplah untuk menghadapi ujian, sebagaimana yang dijanjikan oleh Allah Swt.:
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih, bagi mereka adalah Surga Firdaus menjadi tempat tinggal. (Al-Kahfi/18: 107).