PENELITIAN KOMPETITIF DIPA 2011
SINERGI AGAMA DAN BUDAYA LOKAL DALAM TRADISI “TOLAK BALA” DI KALANGAN MASYARAKAT MANDAILING KECAMATAN DOLOK KABUPATEN PADANG LAWAS UTARA
Oleh:
Hasnun Jauhari Ritonga
(Dosen Fakultas Dakwah IAIN Sumatera Utara)
Diajukan Sebagai Proposal Penelitian
Yang Diselenggarakan LEMLIT IAIN Sumatera Utara
Tahun 2011
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SUMATERA UTARA
MEDAN
2011
DAFTAR ISI
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 5
C. Batasan Istilah ........................................................................................... 6
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .............................................................. 8
E. Landasan Teori .......................................................................................... 9
F. Metodologi Penelitian ............................................................................... 13
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian ......................................................... 13
2. Lokasi Penelitian ................................................................................. 15
3. Informan Penelitian ............................................................................. 16
4. Metode Pengumpulan Data ................................................................. 16
5. Teknik Analisis Data .......................................................................... 17
6. Teknik Keabsahan Data ...................................................................... 19
G. Penelitian Terdahulu ................................................................................. 19
H. Sistematika Pembahasan .......................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 23
Proposal Penelitian:
SINERGI AGAMA DAN BUDAYA LOKAL DALAM TRADISI TOLAK BALA DI KALANGAN MASYARAKAT MANDAILING KECAMATAN DOLOK KABUPATEN PADANG LAWAS UTARA
A. Latar Belakang Masalah
Berbagai bencana yang terjadi di negeri ini disikapi beragam oleh masyarakat. Salah satu fenomena yang menarik yaitu dengan ritual tolak bala. Ritual tolak bala merupakan tradisi yang umumnya ada pada masyarakat Jawa yang tujuannya untuk menolak bencana atau meminta agar dilindungi dari mara bahaya.
Ada berbagai macam tolak bala yang ada saat ini. Dari mulai upacara adat, larungan, atau penyembelihan hewan-hewan tertentu. Seperti yang terjadi di Gunung Sinabung, ketika beberapa saat yang lalu gunung berapi ini memiliki tanda-tanda akan meletus, warga sekitar melakukan tolak bencana dengan memberikan sesajen kepada arwah leluhur yang menjaga Gunung Sinabung agar mereka dijauhkan dari bencana meletusnya Gunung Sinabung. Berbagai macam ritual yang dilakukan oleh masyarakat ini merupakan ritual yang dilakukan sejak dulu kala dan merupakan mitos yang tetap dipercaya hingga sekarang. Jika dilihat mungkin ini hanyalah sebagian kecil dari ratusan macam tradisi tolak bala yang ada di negeri ini.
Hal yang menarik dari tradisi seperti tolak bala ini adalah dimunculkannya praktek/ritual keagamaan sebagai bagian yang menghiasinya. Sehingga jika dilihat dari sudut Hukum Islam banyak kalangan yang menilainya sebagai perbuatan yang sia-sia (mubadzir), sinkretis, dan bahkan syirik.
Jika ditilik lewat agama, ada benarnya juga bahwa tradisi-tradisi tersebut bertentangan dengan agama karena menyekutukan Tuhan. Dalam (QS. 22 : 11) disebutkan ”Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi; maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.”
Dalam ayat lainnya Allah menerangkan, ”Dan apabila manusia disentuh oleh suatu bahaya, mereka menyeru Tuhannya dengan kembali bertobat kepada-Nya, kemudian apabila Tuhan merasakan kepada mereka barang sedikit rahmat dari-Nya, tiba-tiba sebagian dari mereka mempersekutukan Tuhannya.”(QS. 30: 33).
Kedua ayat di atas juga memberikan petunjuk bahwa bencana merupakan salah satu sebab banyaknya manusia yang kembali kepada kemusyrikan. Kemusyrikan tersebut dipicu oleh adanya rasa putus asa manusia terhadap rahmat dan pertolongan Allah. Dan, manusia tidak menyadari bahwa bencana merupakan akibat dari kesalahan mereka sendiri.
Terlepas dari paradigma Hukum Islam sebagaimana di atas, kenyatan sejarah menunjukkan bahwa agama dan kebudayaan dapat saling mempengaruhi karena keduanya terdapat nilai dan simbol. Agama melambangkan nilai ketaatan kepada Tuhan. Kebudayaan sebagai simbol supaya manusia bisa hidup di dalamnya. Agama adalah sesuatu yang final, universal, abadi (parennial) dan tidak mengenal perubahan (absolut). Sedangkan kebudayaan bersifat partikular, relatif dan temporer. Agama tanpa kebudayaan memang dapat bekembang sebagai agama pribadi, tetapi tanpa kebudayaan agama sebagai kolektivitas tidak akan mendapat tempat (Kuntowijoyo, 2001: 196).
Interaksi antara agama dan kebudayaan itu dapat terjadi dengan, pertama agama mempengaruhi kebudayaan dalam pembentukannya, nilainya adalah agama, tetapi simbolnya adalah kebudayaan. Contohnya adalah bagaimana shalat mempengaruhi bangunan. Kedua, agama dapat mempengaruhi simbol agama. Dalam hal ini kebudayaan Indonesia mempengaruhi Islam dengan pesantren dan kiai yang berasal dari padepokan dan hajar. Dan ketiga, kebudayaan dapat menggantikan sitem nilai dan simbol agama (Kuntowijoyo, 2001: 195).
Baik agama maupun kebudayaan, sama-sama memberikan wawasan dan cara pandang dalam mensikapi kehidupan agar sesuai dengan kehendak Tuhan dan kemanusiaannya. Misalnya, menyambut anak yang baru lahir, dalam agama melaksanakan aqiqah untuk penebusan (rahinah) anak tersebut, sementara kebudayaan yang dikemas dalam marhabaan dan bacaan barjanji memberikan wawasan dan cara pandang lain. Tujuan yang sama, yaitu mendo’akan kesalehan anak yang baru lahir. agar sesuai dengan harapan ketuhanan dan kemanusiaan.
Interaksi antara agama dan budaya lokal dalam suatu komunitas masyarakat bukan merupakan sesuatu yang baru terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, tidak terkecuali masyarakat Mandaling. Tradisi diseputar siklus kehidupan yakni kelahiran, perkawinan dan kematian pada masyarakat Mandailing adalah salah satu contoh dimana agama dan budaya lokal (tradisi) saling mempengaruhi dan memberi warna dalam prosesi tersebut. Setidaknya ketegangan antara doktrin agama yang dipercaya bersifat absolut, karena berasal dari Tuhan, dengan nilai-nilai budaya lokal, tradisi, adat istiadat produk manusia yang tidak selaras dengan ajaran Ilahi. Hal inilah yang akan menimbulkan perbedaan penafsiran di antara individu-individu atau kelompok-kelompok manusia. Selain itu juga tidak jarang menimbulkan ketegangan ekstra yang juga sulit dihindari yang dapat menimbulkan konflik atau perpecahan dalam masyarakat (Nugroho, “Dakwah Kultural: Pergulatan Kreatif Islam dan Budaya Lokal”, dalam Jurnal Ilmiah Inovasi, No.4 Th.XI/2002).
Dengan demikian agar tetap eksis menjadi bagian dalam masyarakat Mandailing, penganut agama Islam di daerah ini berusaha menginterpretasikan nilai-nilai agama ke dalam budaya lokal. Salah satu budaya lokal yang terintegrasi dengan nilai-nilai agama di kalangan masyarakat Mandailing yang tinggal di Kecamatan Dolok Kabupaten Padang Lawas Utara adalah tradisi “Tolak Bala”. Pengertian sederhana dari tradisi ini adalah penolakan terhadap penyakit-penyakit yang mewabah dan mematikan atau yang diistilahkan dengan “bala”. “Tolak Bala” berarti menolak munculnya bala/bahaya/penyakit yang mematikan.
Kendati praktek tradisi “Tolak Bala” ini mengalami intensitas yang semakin menurun, tetapi sebahagian masyarakat masih meyakininya sebagai salah satu upaya meminta pertolongan kepada Tuhan untuk tidak lagi menurunkan/menimpakan bala/penyakit/bahaya yang mewabah dan mematikan.
Berdasarkan penuturan beberapa orang “tetua” di daerah Kecamatan Dolok Kabupaten Tapanuli Selatan yang sempat penulis wawancarai dalam rangka grand tour rencana penelitian ini menyebutkan ritualitas “Tolak Bala” ini sangat sering dilaksanakan terutama sebelum tahun 2000-an, di mana saat itu masyarakat pedesaan memang masih memegang teguh tradisi dan agama sekaligus. Bahkan dalam tradisi “Tolak Bala” ini juga pesan-pesan keagamaannya sangat kental. Salah satunya, menurut mereka yang dilakukan adalah berkeliling kampung sambil mengucapkan “tahlilan” secara bersama-sama/beramai-ramai. Kemudian di setiap persimpangan jalan, di mana diyakini sebagai pintu masuknya penyakit/bahaya/bala tersebut dikumandangkan azan, sebagaimana layaknya azan shalat fardhu yang lima kali sehari-semalam.
Biasanya sebelum malam pelaksanaan “Tolak Bala” dilakukan, pada siang harinya setiap keluarga mempersiapkan bubur nasi putih (dalam tradisi orang Jawa disebut “bubur merah putih), padi yang digongseng layaknya “popcorn”, kemudian kunyit bungle dan jeringo dipotong-potong kemudian ditusuk dengan jarum hingga membentuk rantai untuk bisa dikalungkan oleh anak-anak, kemudian barulah malamnya secara beramai-ramai berkeliling kampung sambil mengumandangkan kalimat “tahlil: Lailaha illa ‘Llah”. Tradisi “tolak bala” ini tergolong unik, sebab sepintas lalu saja dapat dillihat sebagai bagian dari ritual agama dan mengintegrasikannya dengan kepercayaan budaya setempat.
Jika dilihat selintas, dalam tradisi tolak bala yang dipraktekkan kalangan masyarakat Mandailing di Kecamatan Dolok Kabupaten Tapanuli Selatan sebagaimana gambaran di atas, ada banyak perbedaan dengan praktek-praktek tolak bala (ruwatan, buang sial, sedekah laut, karu, atau apapun istilah yang digunakan) sebagaimana yang dipraktekkan dalam tradisi etnis lain. Tidak terlihat adanya pertentangan dengan agama Islam yang dianut. Dengan tidak bermaksud melakukan komparasi, praktek tolak bala di kalangan masyarakat Mandailing Kecamatan Dolok Kabupaten Padang Lawas Utara menjadi sesuatu hal nampaknya berbeda dengan tradisi etnis lain. Tentu saja hal ini hanyalah hipotesis awal.
Berangkat dari gambaran tersebut di atas, penulis merasa perlu menelitinya lebih terfokus, apalagi realitas yang terjadi adalah sebagai berikut:
1. Tradisi “Tolak Bala” masih tetap dipraktekkan oleh sebahagian masyarakat Mandailing Kecamatan Dolok Kabupaten Padang Lawas Utara untuk memintakan kesembuhan dan menghentikan datangnya penyakit yang sifatnya mewabah/menular dan mematikan.
2. Ada kecenderungan budaya lokal yang ada semakin “terkubur” seiring dengan perkembangan zaman yang semakin canggih.
3. Pada kenyataannya tradisi-tradisi lokal menjadi sangat penting di tengah-tengah masyarakat yang semakin hedonis dan permisif, sebab tradisi lokal, sekalipun pada permukaannya tercermin sinkretis, akan tetapi kearifannya banyak yang sinergi dengan agama masyarakat, khususnya Islam seperti adanya kebersamaan, gotong royong, merasa laksana satu tubuh: di mana bila satu saja mengalami musibah yang lainnya merasa bersedih dan ikut prihatin, dan seterusnya.
B. Rumusan Masalah
Beranjak dari latar belakang masalah di atas, dapat dikemukakan permasalahan umum yang akan diteliti adalah: “Bagaimana sinergi agama dan budaya dalam tradisi “Talak Bala” di kalangan masyarakat Mandailing Kecamatan Dolok Kabupaten Padang Lawas Utara?”. Secara lebih terperinci permasalahan tersebut dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu:
1. Bagaimana prosesi tradisi “Tolak Bala” di kalangan masyarakat Mandailing Kecamatan Dolok Kabupaten Padang Lawas Utara?
2. Apa makna simbol-simbol dan artefak yang digunakan dalam upacara pelaksanaan “Tolak Bala” yang dipraktekkan masyarakat Mandailing Kecamatan Dolok Kabupaten Padang Lawas Utara?
3. Apa saja nilai-nilai Islam yang terkandung dalam praktek tradisi “Tolak Bala” di kalangan masyarakat Mandailing Kecamatan Dolok Kabupaten Padang Lawas Utara?
C. Batasan Istilah
Untuk menghindari kesalahpahaman penafsiran terhadap judul penelitian ini, perlu dikemukakan batasan istilah.
1. Sinergi.
Kata “sinergi” atau turunan (bentukan)-nya: “sinergisme” dan “sinergisitas”, seringkali diucapkan tanpa kadangkala diketahui apa artinya. Dalam Kamus Bahasa Indonesia-Inggris yang tulis oleh John M. Echols dan Hassan Shadily tidak ditemui apa terjemahan kata “sinergy”, hal ini sangat dipahami sebab kata ini bukan asli kata Indonesia. Tapi bila membaca di buku Mencari Bentuk Otonomi Daerah, Suatu Solusi dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global, yang ditulis oleh DR. J. Kaloh (1993: 159), kata “sinergi” diartikan sebagai sesuatu yang dikerjakan bersama lebih baik hasilnya daripada dikerjakan sendiri-sendiri. Kata ini juga dipahami sebagai gabungan beberapa unsur akan menghasilkan suatu produk yang lebih unggul. Sinergi mengandung arti kombinasi unsur atau bagian yang dapat menghasilkan keluaran lebih baik dan lebih besar. Hal ini sejalan dengan arti kata “sinergi” yang dimuat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai kegiatan atau operasi gabungan.
2. Agama.
Agama yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah Agama Islam. Hal ini sejalan dengan ritual-ritual yang dipraktekkan dalam tradisi tolak bala yang dipraktekkan, seperti bacaan tahlil, mengumandangkan azan, dan sebagainya sebagai bagian dari ajaran Islam. Di samping itu, etnis atau suku Mandailing identik dengan Muslim. Tentu saja agar berbeda dengan sebutan “Batak” yang identik dengan “Kristiani”. Kendati etnis Mandailing bagian dari suku Batak, tetapi dalam penyebutan “sangat jarang” disebutkan hanya Batak. Kalaupun disebutkan Batak biasanya digandengkan saja, menjadi Batak Mandailing.
3. Budaya Lokal
Yang dimaksudkan dengan budaya lokal dalam penelitian ini adalah budaya atau tradisi yang sudah dipraktekkan dalam waktu lama oleh suatu suku bangsa, dalam hal ini suku bangsa Mandailing yang kemudian dikorelasikan dengan aspek demografisnya, yakni wilayah Kecamatan Dolok Kabupaten Padang Lawas Utara. Pemuatan aspek demografis ini perlu dilakukan karena, sebagaimana yang dikemukakan oleh Kuntowijoyo, di wilayah desa, sangat memungkinkan untuk dilakukan pengidentifikasian, sedangkan di kota yang umumnya menjadi sentral dari bercampurnya berbagai kelompok masyarakat baik lokal maupun pendatang menjadi lokasi yang sulit didefinisikan. Di kota-kota dan di lapisan atas masyarakat sudah ada yang kebudayaan nasional, sedangkan kebudayaan daerah dan tradisional menjadi semakin kuat bila semakin jauh dari pusat kota. Sekalipun inisiatif dan kreatifitas kebudayaan daerah dan tradisional jatuh ke tangan orang kota, sense of belonging orang desa terhadap tradisi jauh lebih besar.
4. Tradisi Tolak Bala
Hampir sama dengan praktek tradisi tolak bala yang dilaksanakan etnis lain, tradisi tolak bala di Kecamatan Dolok Kabupaten Padang Lawas Utara juga berfungsi sebagai upaya memohon (berdo’a) kepada Tuhan melalui serangkaian kegiatan tertentu, arak-arakan sembari membacakan tahlil dan mengumandangkan azan pada setiap jalan dari dan keluar desa, agar penyakit yang mewabah atau bahaya yang melanda berhenti dan yang sedang menderita karena penyakit atau bahaya tersebut segera sembuh. Namun agak berbeda dengan dengan etnis lain yang menetapkan tanggal atau hari dan bulan, misalnya pada bulan Safar atau setelah Hari Raya, di Kecamatan Dolok Kabupaten Padang Lawas Utara tidak mengenal waktu semacam itu, akan tetapi ketika suatu penyakit sudah mewabah atau bahaya datang silih berganti dan memakan korban yang berlangsung secara kontiniu dalam waktu tertentu, maka biasanya diadakan musyawarah untuk melakukan acara tolak bala.
5. Kecamatan Dolok Kabupaten Padang Lawas Utara
Wilayah ini merupakan wilayah pedesaan yang berada jauh dari pusat kota. Ibukota kecamatan berada di Pasar Sipiongot. Wilayahnya terbentang dari Desa Janji Manahan yang berbatasan langsung dengan Desa Janji Manahan Kawat Kecamatan Bilah Hulu Labuhan Batu dan Desa Tanjung Marulak Kecamatan Sei Kanan Labuhan Batu Selatan di sebelah selatan hingga ke Desa Huta Baru yang berbatasan dengan Desa Sibio-bio Kecamatan Saipar Dolok Hole Kabupaten Tapanuli Selatan. Sedangkan di wilayah Barat dibatasi oleh Sungei Kanan dan di sebelah Timur berbatasan dengan Desa Gunung Sormin Kecamatan Dolok Sigompulon. Sekarang ini Kecamatan Dolok terdiri dari 83 desa. Wilayahnya terdiri dari perbukitan, dengan jarak antar desa 3 hingga 7 km. Pada umumnya setiap satu perkampungan memiliki satu kepala desa, kecuali desa-desa pemekarannya.
Dari pembatasan istilah di atas, yang dimaksudkan dengan “Sinergi Agama dan Budaya Lokal Dalam Tradisi Tolak Bala di Kalangan Masayarakat Mandailing Kecamatan Dolok Kabupaten Padang Lawas Utara” adalah penggabungan ritual agama dan tradisi masyarakat setempat terkait dengan upacara tolak bala yang tujuannya memohon kepada Tuhan agar dijauhkan dari penyakit atau bahaya yang melanda dan orang yang sedang menderita mengalami kesembuhan sebagaimana yang dipraktekkan oleh masyarakat Mandailing di Kecamatan Dolok Kabupaten Padang Lawas Utara.
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara lebih mendalam tentang:
1. Prosesi tradisi “Tolak Bala” di kalangan masyarakat Mandailing Kecamatan Dolok Kabupaten Padang Lawas Utara.
2. Makna simbol-simbol dan artefak yang terkandung dalam tradisi “Tolak Bala” yang dipraktekkan masyarakat Mandailing Kecamatan Dolok Kabupaten Padang Lawas Utara.
3. Nilai-nilai agama Islam yang terkandung dalam praktek tradisi “Tolak Bala” di kalangan masyarakat Mandailing Kecamatan Dolok Kabupaten Padang Lawas Utara.
Apabila tercapai tujuan penelitian sebagaimana di atas, maka penelitian ini diharapkan berguna sebagai:
1. Bahan masukan kepada pemerintah setempat terutama yang terhubung langsung dengan pendidikan dan pembinaan masyarakat agar ikut serta memberikan motivasi untuk melestarikan tradisi-tradisi luhur lokal, terutama ritualitas budaya lokal yang tidak bertentangan dengan agama masyarakat.
2. Kajian akademis tentang sinergi agama dan budaya lokal, sebagai bagian dari pembangunan kebudayaan nasional.
3. Kerangka acuan bagi para pemuka adat khususnya yang bergerak dalam pelestarian adat untuk mendalami tentang pentingnya sinergi agama dan budaya lokal guna menunjang kebudayaan nasional.
E. Landasan Teori
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah “Teori Fungsional” yang dikembangkan oleh B. Malinowski. Malinowski mengasumsikan adanya hubungan dialektis antara agama dengan fungsinya yang diaplikasikan melalui ritual.
Teori fungsional melihat setiap ritual dalam agama memiliki signifikan teologis baik dari dimensi psikologis maupun sosial. Aspek-aspek teologis dari sebuah ritual keagamaan seringkali bisa ditarik benang merahnya dari simbol-simbol keagamaan tersebut sangat bergantung kepada kualitas dan arah performa ritual serta keadaan internal partisipan lainnya. Sebuah ritual bisa ditujukan untuk memuaskan Tuhan atau kebutuhan spiritualnya sendiri (Schraf, 1995: 70).
Secara garis besar Malinowski merintis bentuk kerangka teori untuk menganalisis fungsi dari kebudayaan manusia, yang disebutnya sutu teori fungsional tentang kebudayaan atau “a functional theory of Culuture” (http://oechoe.blogspot. com/2010/04/fungsionalisme-malinowski.html). Dan melalui teori ini banyak antropolog yang sering menggunakan teori tersebut sebagai landasan teoritis hingga dekade tahun 1990-an, bahkan dikalangan mahasiswa menggunakan teori ini untuk menganalisis data penelitian untuk keperluan skripsi dan sebagainya.
Ia berpendapat bahwa pada dasarnya kebutuhan manusia sama, baik itu kebutuhan yang bersifat biologis maupun yang bersifat psikologis dan kebudayaan pada pokoknya memenuhi kebutuhan tersebut. Semisal kebutuhan sex biologis manusia yang dasarnya merupakan kebutuhan pokok, tetapi tidak serta merta dilakukan atau dipenuhi secara sembarangan. Kondisi pemenuhan kebutuhan tak terlepas dari sebuah proses dinamika perubahan ke arah konstruksi nilai-nilai yang disepakati bersama dalam sebuah masyarakat (dan bahkan proses yang dimaksud akan terus bereproduksi) dan dampak dari nilai tersebut pada akhirnya membentuk tindakan-tindakan yang terlembagakan dan dimaknai sendiri oleh masyarakat bersangkutan yang pada akhirnya memunculkan tradisi upacara perkawinan, tata cara dan lain sebagainya yang terlembaga untuk memenuhi kebutuhan biologis manusia tersebut. Hal inilah yang kemudian menguatkan tese dari Malinowski yang sangat menekankan konsep fungsi dalam melihat kebudayaan. Ada tiga tingkatan oleh Malinowski yang harus terekayasa dalam kebudayaan yakni,
1. Kebudayaan harus memenuhi kebutuhan biologis, seperti kebutuhan akan pangan dan prokreasi
2. Kebudayaan harus memenuhi kebutuhan instrumental, seperti kebutuhan akan hukum dan pendidikan.
3. Kebudayaan harus memenuhi kebutuhan integratif, seperti agama dan kesenian.
Tulisan “Argonauts of the Western Pacific” (1922) melukiskan tentang sistem Kula yakni berdagang yang disertai upacara ritual yang dilakoni oleh penduduk di kepulauan Trobriand dan kepulauan sekitarnya. Perdagangan tersebut dilakukan dengan menggunakan perahu kecil bercadik menuju pulau lainnya yang jaraknya cukup jauh. Benda-benda yang diperdagangkan dilakukan dengan tukar menukar (barter) berupa berbagai macam bahan makanan, barang-barang kerajinan, alat-alat perikanan, selain daripada itu yang paling menonjol dan menarik perhatian adalah bentuk pertukaran perhiasana yang oleh penduduk Trobriand sangat berharga dan bernialai tinggi. Yakni kalung kerang (sulava) yang beradar satu arah mengikuti arah jarum jam, dan sebaliknya gelang-gelang kerang (mwali) yang beredar berlawanan dari arah kalung kerang dipertukarkan.
Karangan etnografi dari hasil penelitian lapangan tersebut tidak lain adalah bentuk perekonomian masyarakat di kepulauan Trobriand dengan kepulauan sekitarnya. Hanya dengan menggunakan teknologi sederhana dalam mengarungi topografi lautan pasifik, namun disis lain tidak hanya itu, tetapi yang menraik dalam karangan tersebut ialah keterkaitan sistem perdagangan atau ekonomi yang saling terkait dengan unsur kebudayaan lainnya seperti kepercayaan, sistem kekerabatan dan organisasi sosial yang berlaku pada masyarakat Trobriand. Dari berbagai aspek tersebut terbentuk kerangka etnografi yang saling berhubungan satu sama lain melalui fungsi dari aktifitas tersebut. Pokok dari tulisan tersebut oleh Malinowski ditegaskan sebagai bentuk Etnografi yang berintegrasi secara fungsional. Selain dari hasil karya etnografinya, tentunya harus diperhatikan pula upaya-upaya Malinowski dalam mengembangkan konsep teknik dan metode penelitian. Dan sangat lugas ditekankan pentingnya penelitian yang turun langsung ketengah-tengah objek masyarakat yang diteliti, menguasai bahasa mereka agar dapat memahami apa yang objek lakukan sesuai dengan konsep yang berlaku pada masyarakat itu sendiri dan kebiasaan yang dikembangkan menjadi metode adalah pencatatan. Mencatat seluruh aktifitas dan kegiatan atau suatu kasus yang konkret dari unsur kehidupan. Selain dari pada itu yang patut untuk para peneliti menurut Malinowski adalah kemampuan keterampilan analitik agar dapat memahami latar dan fungsi dari aspek yang diteliti, adat dan pranata sosial dalam masyarakat. Konsep tersebut dirumuskan kedalam tingkatan abstraksi mengenai fungsi aspek kebudayaan, yakni :
1. saling keterkaitannya secara otomatis, pengaruh dan efeknya terhadap aspek lainnya.
2. konsep oleh masyarakat yang bersangkutan.
3. unsur-unsur dalam kehidupan sosial masyarakat yang terintegrasi secara fungsional.
4. esensi atau inti dari kegiatan /aktifitas tersebut tak lain adalah berfungsi untuk pemenuhan kebutuhan dasar “biologis” manusia.
Melalui tingkatan abstraksi tersebut Malinowski kemudian mempertegas inti dari teorinya dengan mengasumsikan bahwa segala kegiatan/aktifitas manusia dalam unsur-unsur kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri mahluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Kelompok sosial atau organisasi sebagai contoh, awalnya merupakan kebutuahn manusia yang suka berkumpul dan berinteraksi, perilaku ini berkembang dalam bentuk yang lebih solid dalam artian perkumpulan tersebut dilembagakan melalui rekayasa manusia.
Dalam konsep fungsionalisme Malinowski dijelaskan beberapa unsur kebutuhan pokok manusia yang terlembagakan dalam kebudayaan dan berfungsi untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan manusia. Seperti kebutuhan gizi (nutrition), berkembang biak (reproduction), kenyamanan (body comforts), keamanan (safety), rekreasi (relaxation), pergerakan (movement), dan pertumbuhan (growth). Setiap lembaga sosial (Institution, dalam istilah Malinowski) memiliki bagian-bagian yang harus dipenuhi dalam kebudayaan.
Pada awalnya teori fungsional ini merupakan pengembangan dari teori fungsionalisme struktural dalam Sosiologi yang dikemukakan oleh seorang ahli sosiologi Perancis, yaitu Emile Durkheim. Masyarakat modern dilihat oleh Durkheim sebagai keseluruhan organis yang memiliki realitas tersendiri. Keseluruhan tersebut memiliki seperangkat kebutuhan atau fungsi-fungsi tertentu yang harus dipenuhi oleh bagian-bagian yang menjadi anggotanya agar dalam keadaan normal, tetap langgeng. Bila mana kebutuhan tertentu tadi tidak dipenuhi maka akan berkembang suatu keadaan yang bersifat ”patologis”. Sebagai contoh dalam masyarakat modern fungsi ekonomi merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi. Bilamana kehidupan ekonomi mengalami suatu fluktuasi yang keras, maka bagian ini akan mempengaruhi bagian yang lain dari sistem itu dan akhirnya sistem sebagai keseluruhan. Suatu depresi yang parah dapat menghancurkan sistem politik, mengubah sistem keluarga dan menyebabkan perubahan dalam struktur keagamaan. Pukulan yang demikian terhadap sistem dilihat sebagai suatu keadaan patologis, yang pada akhirnya akan teratasi dengan sendirinya sehingga keadaan normal kembali dapat dipertahankan. Para fungsionalis kontemporer menyebut keadaan normal sebagai equilibrium, atau sebagai suatu sistem yang seimbang, sedang keadaan patologis menunjuk pada ketidakseimbangan atau perubahan sosial.
Pengembangan yang dilakukan oleh Malinowski ini dipengaruhi oleh ahli-ahli sosiologi yang melihat masyarakat sebagai organisme hidup. Malinowski menyumbangkan buah pikiran tentang hakikat, analisa fungsional yang dibangun di atas model organis.
Jasa Malinowski terhadap fungsionalisme, walau dalam beberapa hal berbeda dari yang lainnya seperti Brown, mendukung konsepsi dasar fungsionalisme tersebut. Para ahli antropologi menganalisa kebudayaan dengan melihat pada ”fakta-fakta antropologis” dan bagian yang dimainkan oleh fakta-fakta itu dalam sistem kebudayaan (Malinowski, 1976: 551).
F. Metodologi Penelitian
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Penelitian ini merupakan kualitatif dengan memperhatikan unsur kedalaman, seperti corak penelitian deskripsi (descriptive research).
Penelitian ini menggunakan pendekatan etnografi. Studi etnografi (ethnographic studies) mendeskripsikan dan menginterpretasikan budaya, kelompok sosial atau sistem. Meskipun makna budaya itu sangat luas, tetapi studi etnografi biasanya dipusatkan pada pola-pola kegiatan, bahasa, kepercayaan, ritual dan cara-cara hidup (Sukmadinata, 2006: 62).
Etnografi adalah pendekatan empiris dan teoretis yang bertujuan mendapatkan deskripsi dan analisis mendalam tentang kebudayaan berdasarkan penelitian lapangan (fieldwork) yang intensif. Etnograf bertugas membuat thick descriptions (pelukisan mendalam) yang menggambarkan ‘kejamakan struktur-struktur konseptual yang kompleks’, termasuk asumsi-asumsi yang tak terucap dan taken-for-granted (yang dianggap sebagai kewajaran) mengenai kehidupan. Seorang etnografer memfokuskan perhatiannya pada detil-detil kehidupan lokal dan menghubungkannya dengan proses-proses sosial yang lebih luas. Model penelitian thick diskripsi, yakni mendeskripsikan masalah secara mendalam. Model semacam ini di Indonesia dipopulerkan oleh Clifford Geerzt yang telah melakukan banyak penelitian di Jawa dan Bali.
Kajian budaya etnografis memusatkan diri pada penelitian kualitatif tentang nilai dan makna dalam konteks ‘keseluruhan cara hidup’, yaitu dengan persoalan kebudayaan, dunia-kehidupan (life-worlds) dan identitas. Dalam kajian budaya yang berorientasi media, etnografi menjadi kata yang mewakili beberapa metode kualitatif, termasuk pengamatan pelibatan, wawancara mendalam dan kelompok diskusi terarah. Inti etnografi adalah upaya untuk memperlihatkan makna-makna tindakan dari kejadian yang menimpa orang yang ingin kita pahami. Beberapa makna tersebut terekspresikan secara langsung dalam bahasa, dan di antara makna yang diterima, banyak yang disampaikan hanya secara tidak langsung melalui kata-kata dan perbuatan, sekalipun demikian, di dalam masyarakat, orang tetap menggunakan sistem makna yang kompleks ini untuk mengatur tingkah laku mereka, untuk memahami diri mereka sendiri dan orang lain, serta untuk memahami dunia tempat mereka hidup.
Sistem makna ini merupakan kebudayaan mereka, dan etnografi selalu mengimplikasikan teori kebudayaan. Beberapa kritik pada etnografi yang patut diperhatikan: Pertama, data yang dipresentasikan oleh seorang etnografer selalu sudah merupakan sebuah interpretasi yang dilakukan melalui mata seseorang (sumber data), dan dengan demikian selalu bersifat posisional. Tapi ini adalah argumen yang bisa diajukan pada segala bentuk penelitian. Argumen ini hanya menunjuk pada ‘etnografi interpretatif’. Kedua, etnografi dianggap hanya sebagai sebuah genre penulisan yang menggunakan alat-alat retorika, yang seringkali disamarkan, untuk mempertahankan klaim-klaim realisnya.
Argumen ini mengarah pada pemeriksaan teks-teks etnografis untuk mencari alat-alat retorikanya, serta pada pendekatan yang lebih reflektif dan dialogis terhadap etnografi yang menuntut seorang penulis untuk memaparkan asumsi, pandangan dan posisi-posisi mereka. Juga, konsultasi dengan para ‘subjek’ etnografi perlu dilakukan agar etnografi tidak menjadi ekspedisi pencarian ‘fakta-fakta’, dan lebih menjadi percakapan antara mereka yang terlibat dalam proses penelitian.
Etnografi merupakan pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan. Tujuannya adalah untuk memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli, sebagaimana dikemukakan oleh Bronislaw Malinowski, bahwa tujuan etnografi adalah memahami sudut pandang penduduk asli, hubungannya dengan kehidupan, untuk mendapatkan pandangannya mengenai dunianya. Oleh karena itu, penelitian etnografi melibatkan aktivitas belajar mengenai dunia orang yang telah belajar melihat, mendengar, berbicara, berpikir, dan bertindak dengan cara yang berbeda. Jadi etnografi tidak hanya mempelajari masyarakat, tetapi lebih dari itu, etnografi belajar dari masyarakat.
Hasil akhir penelitian komprehensif etnografi adalah suatu naratif deskriptif yang bersifat menyeluruh disertai interpretasi yang menginterpretasikan seluruh aspek-aspek kehidupan dan mendeskripsikan kompleksitas kehidupan tersebut
2. Lokasi Penelitian
Lokasi pelaksanaan penelitian ini adalah di Kecamatan Dolok Kabupaten Padang Lawas Utara. Kecamatan ini merupakan kecamatan induk setelah dimekarkan dengan Kecamatan Dolok Sigoppulon. Kini Kecamatan Dolok yang beribukota Pasar Sipiongot ini memiliki sebanyak 83 desa. Batas-batasnya terdiri dari:
- Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Dolok Sigoppulon Kabupaten Padang Lawas Utara;
- Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Simangambat Kabupaten Padang Lawas Utara;
- Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Sipirok Dolok Hole Kabupaten Tapanuli Selatan;
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Bilah Hulu Kabupaten Labuhan Batu dan Sungei Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan.
Sipiongot sebagai ibukota kecamatan belakangan menjadi “terkenal” karena kesannya yang masih terkebelakang. Apalagi memang daerah-daerah pedesaannya berada di wilayah-wilayah bukit dan lembah. Oleh karena itulah pembangunan wilayah sangat sulit dilakukan secara lebih merata.
3. Informan Penelitian
Informan penelitian dipilih beberapa orang informan awal dengan mengajukan kriteria minimal yaitu masyarakat telah menganggapnya sebagai tokoh adat/agama/masyarakat. Informan lebih lanjut akan ditentukan berdasarkan teknik snowball hingga data yang dibutuhkan telah terpenuhi dan sudah berada pada titik jenuh.
4. Metode Pengumpulan Data
Sesuai dengan bentuk pendekatan penelitian kualitatif dan sumber data yang akan digunakan, maka teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan wawancara dan analisis dokumen. Untuk mengumpulkan data dalam kegiatan penelitian diperlukan cara-cara atau teknik pengumpulan data tertentu, sehingga proses penelitian dapat berjalan lancar. Sumber data dan jenis data yang terdiri atas kata-kata dan tindakan, sumber tertulis, foto, dan data statistik. Selain itu masih ada sumber data yang tidak dipersoalkan di sini seperti yang bersifat nonverbal (Moloeng, 2007: 241).
Berdasarkan pendapat di atas, dapat dipahami bahwa cara pengumpulan data merupakan salah satu kegiatan utama yang harus diperhatikan dalam suatu penelitian.
a. Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan pewawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moloeng, 2007: 186). Wawancara dipergunakan untuk mengadakan komunikasi dengan pihak-pihak terkait, dalam hal ini seseorang yang telah dianggap oleh masyarakat sebagai tokoh adat/agama/masyarakat.
b. Dokumentasi
Analisis dokumen dilakukan untuk mengumpulkan data yang bersumber dari arsip dan dokumen baik yang berada di lokasi ataupun yang berada di luar lokasi penelitian, yang ada kaitannya dengan penelitian tersebut.
5. Teknik Analisis Data
Manurut Patton (dalam Moelong, 2007:280), teknik analisis data adalah proses kategori urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar, ia membedakannya dengan penafsiran yaitu memberikan arti yang signifikan terhadap analisis, menjelaskan pola uraian dan mencari hubungan di antara dimensi-dimensi uraian. Sedangkan menurut Bogdan dan Taylor dalam Moleong (2007:280), analisis data sebagai proses yang merinci usaha secara formal untuk menemukan tema dan merumuskan hipotesis seperti yang disaranakan oleh data dan sebagai usaha untuk memberikan bantuan pada tema dan hipotesis tersebut. Definisi pertama lebih menitikberatkan pada pengorganisasian data. Kedua lebih menekankan maksud dan tujuan analisis data. Dari kedua definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan, analisis data, adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.
Analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, baik melalui wawancara maupun dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar, foto, dan sebagainya. Setelah dibaca, dipelajari, dan ditelaah, langkah berikutnya ialah mengadakan reduksi data yang dilakukan dengan jalan rangkuman yang inti, proses dengan pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga sehingga tetap berada di dalamnya. Langkah selanjutnya adalah menyusunnya dalam satuan-satuan.
Satuan-satuan itu dikategorisasikan pada langkah berikutnya. Kategori-kategori itu dibuat sambil melakukan koding. Tahap akhir dari analisis data ini adalah mengadakan pemeriksaan keabsahan data. Setelah tahap ini mulailah kini tahap penafsiran data dalam mengolah hasil sementara menjadi teori substantif dengan menggunakan metode tertentu (Moloeng, 2007: 247).
Analisis data dilakukan dalam suatu proses, proses berarti pelaksanaannya sudah mulai dilakukan sejak pengumpulan data dan dilakukan secara intensif, yakni sesudah meninggalkan lapangan, pekerjaan menganalisis data memerlukan usaha pemusatan perhatian dan pengarahan tenaga fisik dan pikiran dari peneliti, dan selain menganalisis data peneliti juga perlu mendalami kepustakaan guna mengkonfirmasikan teori baru yang barangkali ditemukan.
a. Reduksi Data
Reduksi data merupakan kegiatan merangkum catatan–catatan lapangan dengan memilah hal-hal yang pokok yang berhubungan dengan permasalahan penelitian, rangkuman catatan-catatan lapangan itu kemudian disusun secara sistematis agar memberikan gambaran yang lebih tajam serta mempermudah pelacakan kembali apabila sewaktu-waktu data diperlukan kembali.
b. Display data
Display data berguna untuk melihat gambaran keseluruhan hasil penelitian, baik yang berbentuk matrik atau pengkodean, dari hasil reduksi data dan display data itulah selanjutnya peneliti dapat menarik kesimpulan data memverifikasikan sehingga menjadi kebermaknaan data.
c. Kesimpulan dan Verifikasi
Untuk menetapkan kesimpulan yang lebih beralasan dan tidak lagi berbentuk kesimpulan yang coba-coba, maka verifikasi dilakukan sepanjang penelitian berlangsung sejalan dengan memberchek, trianggulasi dan audit trail, sehingga menjamin signifikansi hasil penelitian.
6. Tenik Keabsahan Data
Dalam menguji keabsahan data peneliti menggunakan teknik trianggulasi, yaitu pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data tersebut.
Denzin dalam Moloeng (2007:330) membedakan empat macam trianggulasi sebagai teknik pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik, dan teori. Teknik pengumpulan data yang digunakan akan melengkapi dalam memperoleh data primer dan sekunder. Interview digunakan untuk menjaring data primer. Sementara studi dokumentasi digunakan untuk menjaring data sekunder yang dapat diangkat dari berbagai dokumentasi. Tahap-tahap dalam pengumpulan data dalam suatu penelitian, yaitu tahap orientasi, tahap ekplorasi dan tahap memberchek. Tahap orientasi, dalam tahap ini yang dilakukan peneliti dengan melakukan prasurvey ke lokasi yang akan diteliti, dalam penelitian ini, pra survey dilakukan peneliti di lokasi penelitian, melakukan dialog dengan berbagai kalangan. Kemudian peneliti juga melakukan studi dokumentasi serta kepustakaan untuk melihat dan mencatat data-data yang diperlukan dalam penelitian ini. Tahap eksplorasi, tahap ini merupakan tahap pengumpulan data di lokasi penelitian, dengan melakukan wawancara dengan unsur-unsur yang terkait, dengan pedoman wawancara yang telah disediakan peneliti. Tahap memberchek, setelah data diperoleh di lapangan, baik melalui wawancara ataupun studi dokumentasi, informan penelitian diberi kesempatan untuk menilai data informasi yang telah diberikan kepada peneliti, untuk melengkapi atau merevisi data yang baru.
G. Penelitian Terdahulu
Penelitian-penelitian yang bertemakan agama dan budaya tersebut di antaranya adalah:
1. Bathok Bolu Dan Tradisi Masyarakat Sambiroto Purwomartani Kalasan Sleman Yogyakarta Perspektif Agama dan Budaya oleh Marzuki diterbitkan di Yogyakarta dengan penerbit Humaniora tahun 2007. Penelitian ini membahas tentang permasalahan pokok yakni bagaimana sejarah munculnya Bathok Bolu, bagaimana tradisi masyarakat Sambiroto Purwomartani Kalasan Sleman Yogyakarta dan bagaimana Bathok Bolu dan tradisi masyarakat Sambiroto dilihat dari perspektif agama dan budaya. Penelitian deskriptif kualitatif memperoleh data dengan wawancara mendalam dan observasi lapangan dibantu dengan dokumentasi. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Bathok Bolu merupakan kawasan wisata budaya religius yang berada di dataran yang terletak di pinggir Sendang Ayu dan menjadi area tersendiri yang terpisah dari kawasan dusun Sambiroto. Kawasan ini dibagi ke dalam dua zona-area, yaitu area yang disakralkan (kawasan inti) dan area profan. Tradisi yang berkembang di kawasan ini adalah ziarah ke makam Demang Ranupati dan Yang Guru pada malam Selasa Kliwon dan malam Jum’at Kliwon dalam rangka mencari berkah, dan perayaan pentas seni budaya Bathok Bolu yang diadakan setiap tahun pada awal bulan Sura (Muharram). Dilihat dari segi budaya tradisi di kawasan Bathok Bolu merupakan cermin dari budaya masyarakat setempat yang memiliki nilai budaya yang cukup tinggi dan adi luhung sebagaimana tradisi-tradisi budaya Jawa pada umumnya. Di samping itu, kawasan ini juga memberi manfaat dari segi ekonomi kepada masyarakat di sekitarnya. Dari segi agama, khususnya Islam, ada ritual-ritual yang bertentangan dengan ajaran Islam, misalnya ritual ziarah ke makam dan sekitarnya pada malam Selasa Kliwon dan malam Jum’at Kliwon dalam rangka mencari berkah dan ritual dengan sesaji ketika ziarah dan tradisi lainnya dan ada juga tradisi yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam, sehingga masih layak untuk dipertahankan, seperti bentuk pengajian dan permohonan doa dengan cara yang dikemas dengan memperhatikan adat yang berlaku di situ.
2. Upacara Siraman Gong Kyai Pradah Di Sutojayan Kabupaten Blitar, Skripsi An. Mohamad Nadzif, Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2010. Siraman Gong Kyai Pradah adalah salah satu tradisi lokal yang didalamnya terdapat berbagai unsur yang berasal dari tradisi pra-Islam, tapi tampaknya ada usaha Islamisasi tradisi lokal tersebut dengan mengambil jalan Jawanisasi melalui seni dan budaya ceramah agama. Upacara yang dilakukan setahun 2 kali, yaitu bulan Maulid bertepatan dengan kelahiran Nabi Muhammad SAW dan pada tanggal 1 syawal ini dilakukan secara turun-temurun hingga sekarang. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui latar belakang diadakannya upacara Siraman Gong Kyai Pradah dan mengetahui unsur Islam dan bentuk persentuhan (akulturasi) Islam dengan budaya lokal dalam upacara siraman. Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan. Penelitian lapangan dengan pendekatan antropologi fenomenologis ini menunjukkan bahwa latar belakang upacara Siraman Gong Kyai Pradah dipengaruhi faktor geografis, faktor royal cult, dan adanya mitos-mitos yang melingkupi Gong Kyai Pradah. Bentuk akulturasi Islam dengan budaya lokal dalam siraman ini ada dua kategori. Pertama adalah substitusi yaitu unsur lama diganti dengan unsur baru yang memenuhi fungsinya dengan melibatkan perubahan struktur yang kecil saja. Kedua adalah adisi, yaitu unsur yang baru ditambahkan pada unsur lama diikuti atau tanpa diikuti perubahan struktural.
Bedanya dengan penelitian ini adalah dari segi pendekatan dan teori yang digunakan, yaitu dengan pendekatan simbolisme untuk mengungkap makna yang terkandung dalam simbol-simbol atau artefak-artefak yang digunakan, dan teori fungsional di mana antara agama dan budaya memiliki hubunga dialektis yang terwujud dalam ritual.
H. Sistematika Pembahasan
Pembahasan dalam penelitian ini disusun secara sistematis yang terdiri dari 5 (lima) bab, di mana setiap bab akan diperkecil ke dalam sub-bab.
Bab I sebagai pendahuluan mengetengahkan secara terperinci tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, batasan istilah, tujuan penelitian dan kegunaan penelitian, penelitian terdahulu, dan sistematika pembahasan.
Pada bab II dikemukakan landasan teoretis dan konsep yang dibagi ke dalam sub-bab. Sub-bab dimaksud terdiri dari kerangka konsep dan rumusan teori.
Bab III menjelaskan tentang metodologi penelitian yang membahas seputar jenis dan pendekatan penelitian, lokasi penelitian, informan penelitian, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data, dan teknik keabsahan data.
Pada bab IV sebagai hasil penelitian dan pembahasan dikemukakan tentang gambaran umum lokasi penelitian, prosesi tradisi tolak, maka simbol-simbol dan artefak dalam pelaksanaan praktek tradisi tolak bala, dan nilai-nilai Islam yang terkandung dalam tradisi tolak bala pada masyarakat Mandailing Kecamatan Dolok Kabupaten Padang Lawas Utara, serta bagian terakhir dari bab ini dikemukakan tentang pembahasan terhadap hasil-hasil penelitian.
Sedangkan bab V sebagai penutup berisi tentang kesimpulan hasil penelitian yang telah dilaksanakan dan penyampaian saran-saran yang berdasarkan kepada hasil penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Harsojo, Pengantar Antropologi. Bandung: Bina Cipta, 1984
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, Essai-Essai Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai StrukturalismeTransendental. Bandung: Mizan, 2001.
Nugroho, Anjar “Dakwah Kultural: Pergulatan Kreatif Islam dan Budaya Lokal”, dalam Jurnal Ilmiah Inovasi, No.4 Th.XI/2002
Mark R. Woodward, Islam Jawa : Kesalehan Normatif Versus Kebatinan. Yogyakarta : LKIS, 1999.
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007.
Schraf, Betty R. Kajian Sosiologi Agama, Ter. Machnun Husein. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1995.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar