DUNIA ISLAM ABAD KE-20:
PEMBEBASAN DIRI DARI KOLONIAL BARAT
DAN PERIODE KEBANGKITAN ISLAM
Oleh: Ibrahim
NIM. 08 KOMI 1371
Makalah
Mata Kuliah:
Sejarah Peradaban Islam (SPI)
Dosen Pengampu:
Prof. Dr. H. Haidar Putra Daulay, MA
Dr. Katimin, M.Ag.
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SUMATERA UTARA
MEDAN
2008
Pendahuluan
Setelah pada abad ke-19 bahkan pada abad-abad sebelumnya dunia Islam menghadapi tantangan yang berat berupa penjajahan dari negara-negara Eropa, maka pada abad ke-20 dunia Islam bangkit memerdekakan negerinya. Periode ini diyakini sebagai abad kebangkitan kembali Islam setelah mengalami kemunduran pada peride pertengahan.
Pada periode abad ke-20 ini muncul pemikir-pemikir pembaharuan dalam Islam yang dimotivasi oleh dua hal, yaitu:
Pertama, timbulnya kesadaran di kalangan ulama bahwa banyak ajaran-ajaran asing yang masuk dan diterima sebagai ajaran Islam. Ajaran-ajaran itu justru bertentangan dengan semangat ajaran Islam yang sebenarnya. Ajaran-ajaran yang menyusup tersebut seperti bid’ah, tahayyul dan khurafat. Ajaran-ajaran inilah menurut para pembaharu abad-20 itu yang menjadi indikasi kemunduran Islam. Oleh karena itu, mereka mencoba bangkit untuk membersihkan ajaran atau paham itu. Gerakan ini selanjutnya disebut sebagai gerakan pembaharuan dalam Islam.
Kedua, pada periode ini Barat (Eropa dan Amerika terutama) mendominasi dunia di bidang politik dan peradaban. Persentuhan dengan barat ini akhirnya menyadarkan tokoh-tokoh Islam akan ketertinggalannya dibandingkan dengan Barat sendiri.
Dari latar belakang di atas, maka muncul permasalahan salah satu di antaranya adalah: “Bagaimana hubungan kolonialisme dengan semangat kebangkitan Islam pada abad ke-20?” Permasalahan ini akan dibahas pada bagian-bagian selanjutnya dari makalah ini. Pembahasan akan dimulai dari kekuasaan atau politik-militer dunia Islam pada masa kolonialimse dengan melihat negeri-negeri Islam, dilanjutkan dengan keberadaan dunia Islam pasca-kolonialisme Barat dan selanjutnya abad ke-20 sebagai abad kebangkitan kembali Islam.
Negeri-Negeri Islam Pada Masa Kolonialisme
Hingga berakhirnya Perang Dunia II hampir semua daerah-daerah muslim di dunia berada dalam kekuasaan Eropa. Negara-negara Islam yang pertama kali jatuh ke bawah kekuasaan politik Eropa adalah negara-negara yang jauh dari pusat kekuasaan Kerajaan Utsmani, karena kerajaan ini meskipun terus mengalami kemunduran, namun ia masih disegani dan dipandang masih cukup kuat untuk berhadapan dengan kekuatan militer Eropa pada waktu itu.
Adapun negari Islam yang pertama kali dapat dikuasai Barat adalah negeri-negeri Islam di Asia Tenggara dan Anak Benua India. Sementara negeri-negeri Islam yang berada di Timur Tengah dapat dikuasai oleh Eropa pada masa berikutnya.
A. Penjajahan Barat di Asia Tenggara
Pada abad ke-15 Malaka (sekarang disebut Malaysia) merupakan jalur perdagangan yang letaknya strategis dan merupakan kerajaan Islam kedua di Asia Tenggara setelah Samudera Pasai ditaklukkan Portugis tahun 1511 M. Kemudian daerah-daerah itupun jatuh ke tangan Inggris dan Belanda.
Pada tahun 1521 M, Spanyol datang ke Maluku dengan tujuan dagang. Spanyol berhasil menguasai Filipina, termasuk di dalamnya beberapa kerajaan Islam, seperti Kesultanan Manguindanao, Kesultanan Buayan dan Kesultanan Sulu.
Akhir abad ke-16 M, giliran Belanda, Inggris, Denmark, dan Perancis yang datang ke Asia Tenggara. Akan tetapi Denmark dan Perancis tidak berhasil menjajah negeri di Asia Tenggara dan datang hanya berdagang. Pada tahun 1595 M Belanda datang dan mampu memonopoli perdagangan di kepulauan Nusantara, bahkan mereka belum menguasai daerah-daerah yang jauh dari pantai, maka melalui pembesar-pembesar atau disebut juga tokoh-tokoh Bumi Putera mereka dapat menguasai dan memonopoli perdagangan dan sebagai implikasinya keamanan dan kesejahteraan pembesar Bumi Putera itu dijamin, namun di samping itu orang Portugis selalu berusaha menyebarkan agama Katolik dan Perancis menyebarkan agama Kristen kepada penduduk setempat, sedangkan bangsa Belanda dan Inggris, mereka tidak ikut campur dalam soal-soal agama Bumi Putera.
Sistem monopoli perdagangan ini diperluas dengan perluasan politik, ekonomi, dan penanaman modal, namun di samping itu didirikan pula sekolah dan pelayan sosial sebagaimana yang dilaksanakan di daerah mereka. Dampaknya, terjadilah perpindahan orang-orang Tionghoa dan India ke Indonesia atau Malaka. Salah satu reaksi dari adanya monopoli perdagangan ini, orang-orang Muslim di Asia Tenggara khususnya Malaysia dan Indonesia mengirimkan pelajar-pelajar ke Mekkah dan sekembalinya dari pendidikan, mereka pada umumnya melancarkan gerakan pendidikan dan pengajaran dalam arti yang seluas-luasnya.
Pada tahun 1803 M tiga orang sarjana kembali dari Mekah mengerjakan ibadah haji. Mereka mulai berdakwah dan berusaha memperbaharui praktek-praktek keagamaan yang menyimpang. Tetapi dakwah mereka mendapat tentangan dari pihak penguasa karena merusak keseimbangan hubungan yang ada antara pemimpin-pemimpin lokal dalam arti pemerintah dengan guru-guru keagamaan. Gerakan ini disebut oleh bangsa Eropa sebagai gerakan “Paderi”. Tetapi penduduk lokal menyebutnya sebagai gerakan “Kaum Puteh”, karena para juru dakwah tersebut mensyaratkan pakaian putih, jubah Arab, dan gerakan ini awalnya melalui persuasi. Sementara itu, setelah Inggris datang ke Asia Tenggara, ia menjadi kekauatan yang cukup dominan, menyaingi kekuatan Belanda. Kekuatan Inggris tertancap di semenanjung Malaya, termasuk Singapura sekarang, di Kalimantan Barat tgermasuk Brunei. Inggris bahkan juga sempat mengusasai seluruh wilayah Indonesia untuk jangka waktu yang tidak terlalu lama di awal abad ke-19 M.
Tidak hanya terhenti di situ saja, di Asia Tenggara kekuatan politik negara Eropa itu berlanjut terus sampai pertengahan abad ke-20 M, ketika negara-negara jajahan tersebut memerdekakan diri kekuasaan asing.
B. Penjajahan Barat di Anak Benua India
India ketika berada pada masa kemajuan pemerintahan Mughal adalah negeri yang kaya dengan hasil pertanian. Hal ini memotivasi Eropa untuk datang ke sana dalam rangka perdagangan. Di awal abad ke-17 M, Inggris dan Belanda mulai menginjakkan kaki di India. Pada tahun 1611 M, Inggris mendapat izin menanamkan modal, dan pada tahun 1617 M Belanda mendapatkan izin yang sama.
British East India Company (BEIC) merupakan kongsi dagang Inggris, mulai menguasai wilayah India bagian timur ketika ia merasa kuat. Penguasa-penguasa setempat berusaha mempertahankan kekuasaan dan berperang melawan Inggris pada tahun 1761 M. Pada permulaan abad ke-19, India berada dalam suasana kacau. Setelah satu abad pemberontakan dan peperangan, struktur pemerintahan kerajaan Mughal kurang efektif, Anak Benua India dibagi ke dalam negara-negara yang terlibat peperangan, dan Inggris secara perlahan dapat mempengaruhi dan menguasai mereka.
Pada tahun 1803 M Delhi ibu kota Kerajaan Mughal juga berada di bawah bayang-bayang kekuasaan Inggris, karena bantuan yang diberikan Inggris kepada raja Mughal ketika raja mengalahkan aliansi Sikh-Hindu yang berusaha menguasai kerajaan. Pada saat itulah Inggris dengan leluasa mengembangkan sayap kekuasaannya di Anak Benua India dan sekitarnya. Pada tahun 1842 M ke-Amiran Muslim Sind di India dikuasainya. Tahun 1857 M Kerajaan Mughal bahkan dikuasai penuh dan setahun kemudian rajanya yang terakhir dipaksa meninggalkan istana. Sejak saat itulah India berada di bawah kekuasaan Inggris yang menegakan pemerintahannya di sana. Dan selanjutnya, pada tahun 1879 M Inggris berusaha menguasai Afghanisatan dan kesultanan Muslim Buluchistan dimasukkan di bawah kekuasaan India-Inggris tahun 1899 M.
C. Ekspansi Barat ke Timur Tengah
Sejak kekalahan pertempuran di Wina tahun 1638 M, Kerajaan Utsmani mulai mengalami kemunduran dan di sis lain Barat mengalami kemajuan. Usaha-usaha pembaharuan mulai dilakukan dengan mengirim duta-duta ke negara-negara Eropa, terutama Perancis untuk mempelajari suasana kemajuan di sana dari dekat. Celebi Mehmed adalah salah satu yang dikirim ke Perancis pada tahun 1720 M, diinstruksikan untuk mengunjungi pabrik-pabrik, benteng-benteng pertahanan, dan isntitusi-institusi lainnya yang selanjutnya memberi laporan tentang kemajuan teknik, organisasi angkatan perang modern dan kemajuan lembaga-lembaga lainnya. Namun demikian, usaha-usaha pembaharuan ini bukan saja gagal menahan kemunduran Kerajaan Utsmani yang terus mengalami kemerosotan, tetapi juga tidak membawa hasil yang diharapkan. Penyebabnya karena kelemahan raja-raja Kerajaan Utsmani yang wewenangnya sudah jauh menurun, keuangan yang terus-menerus mengalami kebangkrutan sehingga tidak dapat menunjang usahabpembaharuan dan yang terpenting adalah ulama dan tentara Yenissari yang menguasai suasana politik Utsmani juga menghalang-halangi gerakan pembaharuan itu.
Ketika Sultan Mahmud II (1807-1839 M) membubarkan tentara Yenissari, perubahan barulah mengalami kemajuan. Struktur kekuasaan dirombak, pendidikan modern didirikan, buku-buku Barat diterjemahkan ke dalam bahasa Turki, mengirim siswa-siswa berbakat ke Eropa, dan yang terpenting sekolah-sekolah yang berhubungan dengan kemiliteran didirikan. Namun kemajuan-kemjuan yang dicapai belum bisa menghentikan gerak maju Barat yang semakin besar. Pada Perang Dunia I Turki bergabung dengan Jerman mengalami kekalahan, sejak itu Kerajaan Turki Utsmani semakin ambruk dan terjadi pemberontakan yang didalangi oleh Partai Persatuan dan Kemajuan yang dapat menghapus sistem kekhalifahan Utsmani dan membentuk Turki Modern tahun 1924 M.
Penetrasi Barat ke pusat Dunia Islam di Timur Tengah pertama-tama dilakukan oleh dua negara Eropa terkemuka, Inggris dan Perancis, yang memang sedang bersaing. Inggris terlebih dahulu pengaruhnya di India. Perancis merasa perlu memutuskan hubungan komunikasi antara Inggris di Barat dan India di Timur. Oleh karena itu, pintu gerbang ke India, yaitu Mesir, harus berada di bawah kekusaannya. Untuk maksud tersebut, Mesir dapat ditaklukkan Perancis tahun 1789 M. Persaingan antara Inggris dan Perancis di Timur Tengah memang sudah lama dan terus berlangsung. Persaingan ini terlihat dari penaklukkan wilayah Islam di Timur Tengah dan Afrika yang luas itu, sebagai berikut:
Tahun 1820 Oman dan Qatar di bawah protektor Inggris
Tahun 1830-1857 Penaklukkan Aljajair oleh Perancis
Tahun 1839 Aden dikuasai Inggris
Tahun 1881-1883 Tunisia diserbu Perancis
Tahun 1882 Mesir diduduki Inggris
Tahun 1898 Sudan ditaklukkan Inggris
Tahun 1900 Chad diserbu Perancis
Pada abad ke-20 M, Italia dan Spanyol ikut bersama Inggris dan Perancis memperebutkan wilayah-wilayah di Afrika.
Tahun 1906 Kesultanan Muslim di Nigeria Utara menjadi protektor Inggris.
Tahun 1912-1913 Kesultanan Tripoli dan Cytenaica diserbu Italia.
Tahun 1912 Maroko diserbu Perancis dan Spanyol
Tahun 1912-1914 Maroko melawan Spanyol
Tahun 1914 Kuwait di bawah protektor Inggris
Tahun 1919-1926 Maroko berjuang melawan Perancis
Tahun 1919-1921 Sicilia wilayah Turki diduduki Perancis
Tahun 1920 Irak menjadi protektor Inggris
Tahun 1920 Syria dan Libanon di bawah mandat Perancis
Tahun 1925-1927 Pemberontakan Druze melawan Perancis dan Syria
Tahun 1926-1927 Perebutan seluruh Somalia oleh Italia
Sementara itu, Rusia menggerogoti wilayah-wilayah Muslim di Asia Tengah, terutama setelah berhasil mengalahkan Turki Utsmani yang berakhir dengan perjanjian San Stefano dan perjanjian Berlin. Satu per satu pula negara-negara Muslim jatuh ke tangan Rusia, seperti berikut:
Tahun 1834 Pencaplokan Kaukasia oleh Rusia
Tahun 1837-1847 Perlawanan di Asia Tengah terhadap Rusia
Tahun 1853-1865 Serbuan pertama Rusia ke Khoakand an jatuhnya Tashkent
Tahun 1866-1872 Daerah-daerah sekitar Samarkand & Bukhara ditaklukkan Rusia
Tahun 1873-1887 Uzbekistan ditaklukkan Rusia
Tahun 1941-1946 Pendudukan Anglo-Rusia di Iran
Faktor utama yang mendorong Eropa menduduki wilayah-wilayah Muslim adalah ekonomi dan politik. Kemajuan Eropa dalam bidang industri menyebabkan mereka membutuhkan bahan-bahan baku, di samping rempah-rempah. Mereka juga membutuhkan negara-negara tempat memasarkan hasil industrinya. Untuk mewujudkan dan memenuhi kebutuhan tersebut, maka faktor politik sangat diperlukan. Akan tetapi persoalan agama seringkali terlibat dalam proses politik penjajahan Barat terhadap negeri-negeri Islam. Hal itu disebabkan taruma Perang Salib (Crusade) masih membekas pada sebahagian orang Barat, terutama Portugis dan Spanyol, karena dua negara ini untuk jangka waktu berabad-abad berada di bawah kekuasaan Islam.
Keberadaan Dunia Islam Pasca-kolonialisme
Kolonialisme, kendati memiliki hikmah yang besar dalam hal membukakan mata untuk bangkit dan melawan penindasan, serta sisi positif lainnya, bagaimanapun adalah perbuatan yang melanggar prikemanusiaan. Bagi umat Islam, kolonialisme ibarat dua sisi mata uang logam, di mana satu sisi menghancurkan bangunan-bangunan fisik karena lenyapnya peninggalan raja-raja dan tokoh-tokoh Muslim terdahulu, namun di sisi lain memberikan pengaruh yang psitif konstruktif bagi kelengahan kaum Muslim yang terbuai dengan kebodohan dan kesombongan individual dan komunal.
Berikut ini akan dikemukakan beberapa hal pokok yang menjadi hikmah di balik terjadinya kolonialisme Barat terhadap Dunia Islam, yaitu bangkitnya nasionalisme umat Islam dan tumbuhnya gerakan partai.
A. Bangkitnya Nasionalisme Umat Islam
Dengan adanya penjajahan terhadap negara-negara Islam, telah menyadarkan umat Islam untuk memiliki rasa kebangsaan atau “nasionalisme”. Nasionalisme atau semangat kebangsaan yang belum terpatri dalam sanubari umat Islam, dibangkitkan oleh kaum kolonialisme. Dengan adanya ekspedisi Napoleon Bonaparte ke Mesir telah membangkitkan kembali rasa kebangsaan bangsa Mesir yang sebelumnya selalu bersandar pada kesadaran seagama, sebagai warisan dari pemerintahan Mamluk yang menganut ajaran persamaan agama. Persamaan agama telah membuat bangsa Mesir terpecah-pecah, hal ini memudahkan kaum kolonial untuk menancapkan kekuasaan mereka di negara maupun daerah jajahannya. Dengan adanya rasanya kebangsaan telah mengikis sikap individualisme bangsa Mesir. Selain negara Mesir ada juga negara-negara di luar Mesir yang bangkit dari penjajahan, seperti Turki, India, maupun Aljajair.
Untuk keluar dari belenggu penjajahan Barat, sebagian negara Islam ada yang memasuki dunia politik, karena dengan memasukinya maka semangat nasionalisme dapat digaungkan. Sebagaimana yang dilakukan oleh Jamaluddin Al-Afghani dengan gagasannya “Pan-Islamisme” (Persatuan Islam se-Dunia) yang sebelumnya sebenarnya telah digaungkan oleh di Saudi Arabia dengan gerakan Wahhabiyah dan Sanusiyah. Jamaluddin Al-Afghani-lah yang pertama sekali menyadari tentang adanya dominasi Barat dan bahayanya bagi Dunia Islam. Untuk itu, dia mengabdikan dirinya untuk memperingatkan Dunia Islam akan hal tersebut dan melakukan usaha-usaha yang teliti untuk pertahanan. Menurutnya, umat Islam harus meninggalkan perselisihan-perselisihan dan berjuang di bawah panji bersama. Ia juga berusaha membangkitkan semangat lokal dan nasional negara-negara Islam, sehingga beliau dikenal sebagai “bapak nasionalisme dalam Islam”.
Gagasan nasionalisme sebenarnya datang dari Barat, kemudian masuk ke negara-negara Islam melalui persentuhan umat Islam dengan Barat yang menjajah mereka dan dipercepat oleh banyaknya Muslim yang menuntut ilmu ke Eropa atau lembaga-lembaga pendidikan Barat yang didirikan di negara-negara Muslim. Gagasan kebangsaan ini pada mulanya banyak mendapat tantangan dari pemuka-pemuka Islam, karena dipandang tidak sejalan dengan semangat ukhuwah Islamiyah. Akan tetapi rasa kebangsaan itu berkembang cepat setelah gagasan Pan-Islamisme redup di Mesir. Adapun benih-benih nasionalisme telah tumbuh sejak masa Al-Tahtawi (1801-1873 M) berkuasa di Kerajaan Turki Utsmani dengan tokoh pergerakannya yang terkenal adalah Ahmad Urabi Pasha.
B. Tumbuhnya Gerakan Partai
Munculnya gagasan nasionalisme ternyata diikuti dengan berdirinya partai-partai politik. Ini adalah modal utama umat Islam dalam perjuangan untuk mewujudkan negara merdeka dari politik Barat. Dalam realitasnya memang partai-partai politiklah yang berjuang melepaskan diri dari kekuasaan penjajah. Perjuangan mereka biasanya terwujud dalam beberapa bentuk kegiatan, seperti gerakan politik baik diplomasi maupun perjuangan bersenjata, pendidikan dan propaganda dalam mempersiapkan masyarakat menyambut dan mengisi kemerdekaan yang dicapai.
Di Indonesia, partai politik besar yang menentang penjajahan di antaranya Budi Utomo (1908), Sarekat Islam (1912), Partai Nasional Indonesia (1927), dan Persatuan Muslimin Indonesia (1932). Ada juga organisasi Islam yang berdiri pada masa itu di antaranya Jami’at Khair (al-Jam’iyat a-Khairat) yang anggotanya masyoritas orang-orang Arab, berdiri pada tahun 1905, Persyarikatan Ulama tahun 1911, Persatuan Islam tahun 1920, dan Partai Arab-Indonesia tahun 1934.
Negara (penduduk Muslim terbesar) yang pertama memproklamirkan kemerdekaan negaranya adalah negara Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 yang ketika itu diduduki oleh Jepang yang kalah perang oleh Sekutu. Akan tetapi Indonesia harus mempertahankan kembali kemerdekaannya dengan perjuangan selama lima tahun berturut-turut, karena Belanda yang didukung tentara Sekutu berusaha kembali mengambil kepulauan ini.
Selanjutnya banyak negara Islam yang menyatakan kemerdekaannya seperti di Timur Tengah, Pakistan (15 Agustus 1947), Mesir (23 Juli 1952), Irak (1932), Syria, Jordania dan Libanon (1946), dan lain-lain. Di Afrika seperti Libya (1951), Sudan dan Maroko (1956), dan lain-lain.
Periode Kebangkitan Kembali Islam
Dengan kemerdekaan yang diperoleh oleh negara-negara Islam, maka pada abad ke-20 yang lalu diyakini sebagai tonggak awal kebangkitan kembali Dunia Islam. Kebangkitan kembali masa kini, diakui oleh John O. Voll sebagaimana dikutip oleh John L. Esposito, adalah buah dari prngalaman sejarah masa lalu, terutama dengan munculnya gerakan-gerakan atau institusi-institusi keislaman di masa lalu.
Beberapa organisasi Islam mungkin saja baru, dan gerakan-gerakan kontemporer mungkin saja tidak memiliki hubungan kelembagaan langsung dengan kelompok-kelompok yang pernah ada di masa lampau. Namun demikian kegiatan-kegiatan mutakhir dari gerakan pembaharuan Islam tetap mencerminkan suatu dimensi sejarah Islam yang telah berlangsung lama dan sinambung.
Para peneliti melihat bahwa gerakan pembaharuan dalam Islam yang mengedepankan adanya tajdid (pembaharuan) dan islah (perubahan) adalah upaya sistematis untuk mewujudkan kembali kebangunan Islam di abad ini dan abad-abad berikutnya. Tajdid dan islah dalam konteks sosial dan historis telah bekerja untuk menciptakan suatu masyarakat yang didasarkan atas suatu penerapan kaku dari apa yang mereka percaya sebagai inti hakiki dari ajaran Islam. Ini telah mengembangkan suatu kewaspadaan diri terhadap kemungkinan bahaya-bahaya yang mengencerkan ajaran Islam, seperti munculnya sinkretisme. Jadi, intinya bahwa pembaharuan yang ditawarkan sebenarnya adalah kembali kepada otentisitas Alquran dan Sunnah sebagai sumber dan spirit perjuangan dan pergerakan Islam. Tentu saja hal ini penting ditekankan, karena diyakini bahwa penyebab kemunduran Islam bertolak belakang dengan kemajuan yang diperoleh oleh Barat. Umat Islam diyakini telah menyimpang dari Alquran dan Sunnah, menutup segala pintu ijtihad, dan mengagungkan acara-acara seremonial dan ritual-ritual yang tidak mengakar dalam ajaran Islam, seperti bid’ah, tahayyul, dan khurafat sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya. Sementara itu, kemajuan Barat diperoleh justru karena mereka berani menentang gereja (kitab mereka) yang tidak memberikan ruang untuk mengkritisi apa-apa yang diajarkan gereja, sekalipun tidak rasional.
Muhamamad Quthb dalam bukunya Islam: The Misunderstood Religion mempresentasikan satu aspek persoalan yang dihadapi umat Islam dewasa ini, yaitu banyak orang yang memandang Islam secara keliru, banyak kesalahpahaman yang beredar di seputar Islam. Untuk menghindari kesalahpahaman itu, maka ia menawarkan pentingnya studi keislaman.
Menurutnya, kemunduran peradaban Islam pada pertengahan abad ke-13, untuk sementara mempengaruhi intensitas pengkajian Islam, meskipun sama sekali tidak berhenti. Secara kuantitatif pengkajian Islam setelah periode kemunduran ini tidak kalah dibanding periode klasik sebelumnya. Akan tetapi banyak yang berpendapat bahwa dari sudut kualitas, pengkajian Islam saat itu mengalami setback yang cukup serius. Produk ilmiah masa ini dituding tidak orisinil dan tidak menggambarkan keberanian intelektual yang terasa dalam karya-karya ulama klasik. Suatu perubahan besar telah terjadi, sebagaimana disebutkan sebelumnya berkat munculnya penjajahan di Dunia Islam, umat Islam sadar perlunya bangkit kembali, itulah abad ke-19 dan 20 M. Selain terjadi perubahan besar di bidang pemikiran, kemajuan Islam juga terlihat dari kuantitas umat Islam yang semakin hari semakin bertambah, bukan saja di kantung-kantung Muslim, tetapi juga di negara-negara yang nota bene menentang Islam dan menakuti kemajuannya, seperti di Eropa dan Amerika.
Menurut pendataan yang dilakukan PBB tahun 1999, menunjukkan bahwa tahun 1989 dan 1998, jumlah penduduk Muslim di Eropa meningkat lebih dari 100 persen, dan terdapat sekitar 13 juta umat Islam tinggal di Eropa. Sedangkan di Amerika diperkirakan umat Islam berjumlah 8 hingga 10 juta atau sekitar 5 persen dari keseluruhan penduduknya. Bukti lain yang bisa dikemukakan bahwa abad ke-20 diyakini sebagai abad kebangkitan kembali umat Islam adalah bahwa di Eropa dan Amerika telah dibuka pula program Islamic Studies, seperti di University of California, George Town University, Washington University, University of London, McGill University of Montreal Canada, dan sebagainya.
Penutup
Pada masa kolonial, hampir semua negara atau kerajaan Islam jatuh ke tangan Barat, mulai dari Timur Tengah, Asia Tengah, Asia Tenggara, bahkan di kawasan Balkan dan Anak Benua India. Mereka menguasai politik dan ekonomi negara-negara jajahannya, bahkan juga berusaha menyebarkan agama Kristen dan Katolik yang mereka anut. Untuk mempermudah imperialisme mereka terhadap negara-negara Islam, pada umumnya diterapkan politik adu domba.
Barulah pada awal hingga pertengahan abad ke-20 negara-negara jajahan itu satu-satu memerdekakan diri. Tetapi penjajahan Barat membawa hikmah tersendiri bagi Dunia Islam, yaitu munculnya semangat kebangsaan dan munculnya partai-partai politik yang berjuang lewat diplomatis maupun konfrontasi.
Penjajahan dengan teknologi modern dan strategi perang modern juga menyadarkan umat Islam akan kemajuan Eropa di bidang itu, padahal abad pertengahan adalah milik umat Islam. Hal itu berarti bahwa Barat telah maju dalam bidang peradaban dan ilmu pengetahuan, sementara umat Islam terus-menerus mengalami kemunduran. Oleh karena itu muncul pemikiran akan pentingnya pembaharuan dan perubahan. Arahnya terhadap pemahaman keagamaan penganutnya, muncullah gerakan modernisme dalam Islam.
Dari gerakan modernisme dalam Islam diyakini abad ke-20 sebagai abad kebangkitan kembali Islam. Ditandai dengan dibukanya pintu ijtihad, digalakkannya pengkajian terhadap Islam (bahkan di Barat), dan melihat pertambahan umat Islam di seluruh dunia (negara-negara Islam sendiri maupun negara Eropa dan Amerika).
REFERENSI
Asmuni, Yusran. Dirasah Islamiyah II: Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1990.
Esposito, John L. (ed.), Voice of Resurgent Islam (terj.) Bakri Siregar, Dinamika Kebangunan Islam. Jakarta: Rajawali Press, 1987.
Hitti, Philip K. History of the Arabs. London: The Macmillan, 1974.
Ikram, S. M. Muslim Civilization in India. London: Cambridge University Press, 1977.
Jensen, G. H. Islam Militan. Bandung: Oustaka, 1980.
Muchtarom, Zaini. Santri dan Abangan di Jawa. Jakarta: INIS, 1988.
Morgan, Kenneth W. Islam Jalan Mutlak I (terj.) Abdussalam. Jakarta: Pembangunan, 1980.
Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang, 1988.
Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam Indonesia. Jakarta: LP3S, tt.
Sani, Abdul. Lintas Sejarah Pemikiran, Perkembangan Pemikiran dalam Islam. Jakarta: Rajawali Press, 1998.
Stoddard, L. Dunia Baru Islam. Jakarta: Bina Ilmu, 1996.
Syalabi, Ahmad. Imperium Turki Usmani. Jakarta: Kalam Mulia, 1988.
Qutb, Muhammad. Islam: The Misunderstood Religion. Kuwait: Darul Bayan Bookshop, 1964.
Voll, John Obert. Politik Islam Klengsungan dan Perubahan di Dunia Modern (terj.) Ajat Sudrajat. Yogyakarta: Titian Ilahi Press, cet. I.
Yahya, Harun. Islam Agama yang Paling Cepat Berkembang di Dunia dikutip dari http://harunyahya.com/indo/artikel/067.htm212/2005.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar