Senin, 14 Juni 2010

Misi Kerasulan & Peradaban

Refleksi Seminar Nasional:
"AKTUALISASI MISI KERASULAN NABI SAW DALAM MEMBANGUN PERADABAN"


Seminar Nasional: "Aktualisasi Misi Kerasulan Muhammad Saw Dalam Membangun Peradaban", di American Corner (Sabtu, 12 Juni 2010) dihadiri berbagai elemen, baik praktisi maupun akademisi (Dosen dan mahasiswa) di antaranya dihadiri oleh Dekan Ushuluddin IAIN-SU Prof.Dr.H.Hasyimsah Nasution, MA, Ketua MUI Kota Medan/Dosen Fakultas Dakwah IAIN-SU Prof.Dr.H.Mohd.Hatta, Prof.Dr.Bachtiar Fanani (USU), dan Prof.Dr.Alaidin Koto (UIN Susqa Pekanbaru). Tampil sebagai narasumber adalah Prof.Dr.H.Syahrin Harahap,MA (Dosen Ushuluddin/Rektor Univa Medan) dan Dr.H.Aswin Rose Jusuf, Sp.J (Ketua DPP Al-Jam'iyyatul Islamiyyah)/Dosen S.3 PPs IAIN-SU dengan dimoderatori oleh salah seorang Dosen UIN Alauddin Makasar.

Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari seminar tersebut adalah:
Pertama, Prof.Dr.H.Syahrin Harahap,MA mengatakan bahwa peradaban (dalam bahasa Inggris: "civilization, bahasa Arab: "hadlarah") tidaklah monopoli satu orang atau kelompok. Tidak disebut sebagai peradaban Barat, peradaban Islam, peradaban Cina, dan seterusnya. Peradaban adalah milik semua umat manusia. Oleh karena itu, Prof.Dr.H.Syahrin Harahap,MA mengkritik buku/tulisan/tesis Samuel P. Huntington yang menyebutkan "clash of civilization" (Perbenturan Peradaban). Istilah itu "kacau", sebab bukan peradaban yang berbenturan, tetapi boleh jadi kebudayaan (Inggris: "culture", Arab: "tsaqafah"). Dalam perspektif sejarah, peradaban yang ada sekarang ini dimulai dari upaya penerjemahan dan penyempurnaan oleh ilmuwan-ilmuwan Muslim di masa-masa awal terutama pada masa 'Umayyah dan 'Abbasyiyah terhadap karya-karya/khazanah keilmuan peninggalan Dinasti Romawi dan Yunani. Hingga abad ke-15 M kontribusi umat Islam terhadap upaya memajukan peradaban dunia masih diakui oleh dunia Barat, tetapi belakangan ada upaya "by pass" dari kalangan-kalangan ilmuwan Barat mendistorsinya. Mereka ingin menghilangkan peran penting ilmuwan Muslim tersebut, padahal mereka juga tetap memakai istilah "Averoisme", Avicenna, dan sebagainya. Hal itu tentu absurd, tertolak dan bahkan menyesatkan.

Kedua, Dr.H.Aswin Rose Jusuf, Sp.J yang begitu luas pengetahuannya tentang ayat-ayat Alquran dan Hadits Nabi Saw, di mana hampir semua hal yang terkait dengan sisi kehidupan umat manusia yang dibahasnya selalu dikaitkan dengan nomor surat dan ayat dalam Alquran--kadang-kadang dibacakannya teksnya, sekalipun dengan fashahah yang tidak memadai, menurutnya adalah menjadi manusia itu harus menghilangkan sifat keragu-raguan. Substansi manusia yang baik adalah ketika ia mampu mengabaikan keraguan dalam dirinya. Sebab keraguan itu adalah keingkaran. Oleh karena itu, ruh, di mana bagian inilah yang langsung berhubungan dengan Tuhan yang terpersonifikasikan dalam diri Nabi Saw, haruslah terdidik supaya ia sampai ke Tuhan. Ruh yang terdidik inilah yang akan menghadap Tuhan secara tenang. Tentu yang diharapkan adalah bahwa manusia atau umat Muhammad Saw tidak hanya mengenal nabinya secara fisik (dalam dimensi sejarah), tetapi juga harus mengenalnya secara lebih mendalam dalam aspek non-fisik. Bahwa Nabi Saw dalam dimensi fisik tidak berbeda dengan manusia pada umumnya; makan, minum, berkeluarga, bisa lelah, senyum, menangis, dan seterusnya. Tetapi pada aspek non-fisik bahwa beliau merupakan manusia yang dibimbing Tuhan, personifikasi ruh Tuhan yang mempunyai misi menyampaikan risalah agar umat manusia menghilangkan keragu-raguannya terhadap diri dan Tuhannya, menyampaikan kepada umat manusia bahwa ia membawa nur ilahiyah, mengangkat manusia dari "zulumat" kepada "nur" ilahiyah. Dalam perspektif sejarah, nur ini pernah terputus selama jarak Nabi Isa a.s. hingga kepada Nabi Muhammad Saw. Dalam masa ini banyak nilai-nilai ilahiyah yang dihilangkan, secara sengaja maupun tidak disengaja. Masa ini biasa disebut sebagai "aam al-fathrah", masa kekosongan wahyu. Inilah misi Nabi Saw. Wallahu a'lam!

4 komentar: