ONTOLOGI KOMUNIKASI ISLAM
Oleh Hasnun Jauhari Ritonga
Staf Pengajar Fakultas Dakwah IAIN Sumatera Utara
(S.1 Manajemen Dakwah dan S.2 Komunikasi Islam IAIN Sumatera Utara)
ABSTRAK
Ontologi merupakan bagian dari filsafat ilmu yang membahas atau mengkaji tentang obyek material dan formal. Obyek material adalah benda atau hal yang menjadi obyek atau bidang ilmu. Sedangkan obyek formal adalah aspek atau sudut pandang suatu ilmu dalam melihat obyek ilmu, dan sebagainya.
Obyek material ilmu komunikasi Islam adalah umat manusia secara keseluruhan. Maksudnya, sesuai tujuan komunikasi Islam bahwa bukan saja umat Islam (muslim) yang menjadi obyeknya, tetapi juga seluruh umat manusia (berarti termasuk di dalamnya non-muslim). Jadi, ilmu komunikasi Islam, sebagaimana juga ilmu komunikasi umum, membahas tentang manusia.
Sementara itu, obyek formal ilmu komunikasi Islam tidak lain adalah segala pesan (message) yang sesuai dengan ajaran Islam dengan berdasarkan kepada Alquran dan Hadis Nabi Muhammad Saw. Tentu saja pesan yang menjadi kajian dalam ilmu komunikasi Islam adalah pesan yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan sesuai dengan pesan-pesan yang diinginkan oleh Alquran maupun Hadis Nabi Saw. Hal ini memang perlu ditekankan, sebab perbedaan mendasar antara komunikasi Islam dengan komunikasi umum lainnya terutama terletak pada latar belakang filosofisnya (Alquran dan Hadis Nabi Saw.) dan aspek etikanya yang juga didasarkan pada landasan filosofi tersebut.
Kata-Kata Kunci: Ontologi, Komunikasi Islam, Obyek Formal, Obyek Material
Pendahuluan
Bagi sebagian penulis atau pemerhati komunikasi masih terlihat keragu-raguannya terhadap keberadaan Komunikasi Islam. Hal itu terlihat dari tulisan-tulisan yang hanya menyebut atau menulis: “Komunikasi Islami, Komunikasi (Islam), Komunikasi Perspektif Islam”, dan sebagainya. Di samping itu, mengenai tergolong ke mana ilmu Komunikasi Islam, juga masih bervariasi. Ada yang menyebut sebagai komunikasi teokrasi, ada yang mengelompokkannya kepada dakwah, ada juga yang menyetarakannya dengan komunikasi religius, dan lain-lain. Tentu semua hal itu dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi peneliti ilmu Komunikasi Islam.
Tetapi, persoalan keilmuan Komunikasi Islam memang layak diperbincangkan untuk mencari dan membangun kerangkanya yang mapan. Hal ini akan terwujud melalui penelitian-penelitian. Boleh jadi, penelitian hanya terfokus ke dalam bangunan keilmuan tertentu saja, seperti ontologinya saja, epistemologinya saja, atau aksiologinya saja. Dan akan sangat membantu menjelaskan kepada masyarakat terutama akademisi jika penelitian dilakukan secara mendalam dan tuntas terhadap ketiga bangunan keilmuan dimaksud.
Wacana Komunikasi Islam memang masih agak sunyi kendati sebenarnya sudah bermunculan program studi atau konsentrasi keilmuan Komunikasi Islam, seperti di PPs IAIN Sumatera Utara. Pun diakui masih cukup muda dibandingkan dengan Komunikasi konvensional yang sudah mapan dan dikenal luas selama ini. Komunikasi Islam sendiri baru mendapat perhatian lebih serius dibanding sebelumnya terutama setelah diterbitkannya buku seperti Communication Theory: The Asian Perspective oleh The Asian Mass Communication Research and Information Centre, Singapura, tahun 1988. Di samping itu, Mohd. Yusof Hussain, menulis dalam Media Asia tahun 1986 dengan judul Islamization of Communication Theory, dan pada bulan Januari 1993, jurnal Media. Culture and Society yang terbit di London juga memberi liputan kepada Komunikasi Islam.[1]
Perhatian terhadap Komunikasi Islam sebagaimana di atas perlu mendapat respon positif dari umat Islam, khususnya akademisi yang terlibat langsung untuk mengusung dan membangun kerangka keilmuannya. Berangkat dari kepentingan itu, tulisan ini akan meliput tentang bagian tertentu dari bangunan keilmuan Komunikasi Islam, yaitu “Ontologi Komunikasi Islam”. Mudah-mudahan dapat memberikan sumbangsih bagi pembaca untuk kemudian menjadi motivasi mengembangkannya lebih lanjut.
Pengertian Ontologi
Istilah ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu “on” atau “ontos” artinya yang berada dan “logos” yang berarti ilmu pengetahuan atau ajaran. Dengan demikian secara etimologi, ontologi berarti ilmu pengetahuan atau ajaran tentang yang berada. Istilah ontologi dipopulerkan oleh Christian Wolff (1679-1714). Ontologi dipersamakan dengan istilah “metafisika”. Para ahli yang mempersamakan ontologi dengan metafisika adalah Nicolai Hartmann seorang ahli ontologi dan Gottfried Martin di dalam bukunya Allgemein Metaphysic.[2] Metafisika adalah sesuatu yang melampaui fisika atau hal-hal yang pertama dan terakhir.[3]
Ontologi merupakan salah satu cabang dari filsafat yang membicarakan tentang usaha untuk mendeskripsikan hakikat wujud tertinggi, yang esa, yang absolut, bentuk abadi yang sempurna. Pertanyaan-pertanyaan ontologi biasanya mempertanyakan ulang status realitas sesuatu. Misalnya: “Apakah obyek-obyek penginderaan atau persepsi itu nyata?”, “Apakah bilangan itu nyata?”, “Apakah pemikiran itu nyata?”, dan seterusnya.[4] Ada dua aliran penting yang membahas ontologi, yaitu yang berpaham dualisme dan yang berpaham monisme atau materialisme. Pemahaman dualisme menyebutkan bahwa alam ini terdiri dari dua macam hakikat sebagai sumbernya atau sering disebut “serba dua”; (1) yang ada sebagai potensi; (2) yang ada sebagai terwujud. Aristoteles menyebutnya dengan hule (materi) dan eidos atau morfe (bentuk). Pemahaman monisme (materialisme) menyebutkan bahwa sumber yang asal itu tunggal, yang sering diistilahkan dengan “serba tunggal”. Thales (625-545 SM) mengatakan bahwa hakikat semua yang ada di alam ini bersumber dari air. Air yang cair adalah pangkal pokok (principle) segala-galanya. Semuanya terjadi dari air dan semuanya kembali kepada air pula.[5]
Selain monisme dan dualisme, ada yang menambahkan pluralisme, nihilisme, dan agnotisisme sebagai aliran yang berkembang dalam pembahasan ontologi.[6] Paham pluralisme berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur, lebih dari satu atau dua entitas. Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah Anaxigoras dan Empedocles yang menyatakan bahwa substansi yang ada itu terbentuk dari 4 (empat) unsur, yaitu tanah, air, api, dan udara. Tokoh aliran pluralis pada zaman modern dipelopori oleh seorang psikolog dan filosof Amerika, William James (1842-1910) yang menyatakan, tidak ada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas dari akal yang mengenal. Sebab pengalaman kita berjalan terus, dan segala yang kita anggap benar dalam perkembangan pengalaman itu senantiasa berubah, karena dalam praktiknya apa yang kita anggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya.[7]
Aliran nihilisme yang diperkenalkan oleh filosof Yunani Kuno, Georgias (483-360 SM) memberikan 3 (tiga) proporsi tentang realitas. Pertama, tidak ada sesutau pun yang eksis. Realitas itu sebenarnya tidak ada. Sebab realitas itu sebenarnya tunggal dan sekaligus banyak, terbatas dan sekaligus pula tidak terbatas, dicipta dan sekaligus tidak dicipta. Karena kontradiksi tidak dapat diterima, maka pemikiran lebih baik tidak menyatakan apa-apa tentang realitas. Kedua, bila sesuatu itu ada, ia tidak dapat diketahui. Hal ini disebabkan karena penginderaan itu hanyalah sumber ilusi. Akal juga tidak mampu meyakinkan kita tentang bahan alam semesta ini karena kita telah dikungkung oleh dilema subyektif. Ketiga, sekalipun realitas itu dapat kita ketahui, ia tidak akan dapat kita beritahukan kepada orang lain.[8] Tokoh modern aliran nihilisme adalah Friedrich Nietszche (1844-1900) yang menyatakan bahwa “Tuhan telah mati”. Baginya, manusia telah terbebas dari nilai-nilai, dan yang ada adalah kebebasan dan kreativitas. Tetapi dengan pemahaman ini ia terjebak kepada bahaya nihilisme, sehingga ia harus menciptakan nilai-nilai baru, dengan transevaluasi semua nilai.[9]
Paham agnotisisme dalam pembahasan ontologi mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda, baik hakikat materi maupun ruhani. Karena manusia belum sepenuhnya mengenal dan mampu menerangkan secara konkret akan adanya kenyataan yang berdiri sendiri dan dapat kita kenal, maka ia selalu menyangkal adanya suatu kenyataan mutlak yang bersifat transendental. Aliran ini dikenal juga dengan filsafat eksistensialisme yang di antara penganutnya adalah Soren Kierkegaar, Heidegger, Sartre, dan Jaspers.[10]
Obyek Ilmu Komunikasi Islam
Sebelum membahas obyek ilmu komunikasi Islam, terlebih dahulu akan dikemukakan pengertian-pengertian dasar mengenai obyek itu sendiri. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia[11] pengertian obyek terdapat dalam 5 (lima) kategori. Pertama, obyek merupakan hal, perkara, atau orang yang menjadi pokok pembicaraan. Kedua, obyek diartikan sebagai benda, hal, dan sebagainya yang dijadikan sasaran untuk diteliti, diperhatikan, dan sebagainya. Ketiga, obyek digunakan pada nomina yang melengkapi transitif dalam klausa, misalnya “teh manis” dalam kalimat: “Kiki minum teh manis”. Keempat, obyek berarti hal atau benda yang menjadi sasaran usaha sambilan, misalnya: “Berdagang kain menjadi salah satu obyek orang-orang di kota ini. Kelima, obyek merupakan titik atau himpunan yang bertindak sebagai sumber cahaya bagi suatu lensa, cermin, atau bagi suatu sistem lensa.
Sementara itu, di dalam Kamus Filsafat[12], obyek dapat dilihat dari 3 (tiga) sisi. Pertama, obyek adalah apa yang tersaji bagi indera kita. Sesuatu yang dapat dilihat, dapat diraba, dapat dikecap, dan sebagainya. Kedua, obyek adalah apa yang tersaji bagi kesadaran dan yang karenanya kesadaran menjadi sadar. Obyek dapat menunjuk (a) benda (hal) di dunia luar yang ada secara independen yang merangsang indera atau kesadaran kita untuk memperhatikan benda (hal) ini atau (b) isi pikiran itu sendiri yang diperhatikan dalam kesadaran. Ketiga, obyek adalah apa saja yang dapat dibicarakan (karenanya dapat disebut), dan khususnya sebagai sebuah kata benda yang mempunyai eksistensi substantif.
Dalam arti luas, obyek adalah segala sesuatu yang menjadi sasaran pengarahan suatu tindakan sadar dari subyek. Dengan kata lain, obyek adalah sesuatu yang menjadi sasaran intensionalitas kekuatan jiwa, kebiasaan atau bahkan ilmu tertentu. Dari pengertian kebahasaan di atas, obyek yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah sesuatu yang dijadikan sebagai sasaran atau pokok pembicaraan dan penelitian.
Pada dasarnya, setiap ilmu memiliki dua macam obyek, yaitu obyek material dan obyek formal.[13] Obyek material adalah benda atau hal yang menjadi obyek atau bidang ilmu. Ada juga yang memberikan batasan bahwa obyek material adalah seluruh lapangan atau bahan yang dijadikan obyek penyelidikan suatu ilmu.[14] Obyek material dalam pembahasan filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan itu sendiri, yaitu pengetahuan yang telah disusun secara sistematis dengan metode ilmiah tertentu, sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara umum. Dengan pengertian itu, sangat jelas terlihat perbedaan mendasar antara pengetahuan dengan ilmu pengetahuan. Pengetahuan itu lebih bersifat umum dan didasarkan atas pengalaman sehari-hari, sementara ilmu pengetahuan lebih bersifat khusus dengan karakteristiknya yang sistematis, dengan menggunakan metode ilmiah tertentu, dan dapat diuji kebenarannya.[15] Sedangkan obyek formal adalah aspek atau sudut pandang suatu ilmu dalam melihat obyek ilmu, dan sebagainya.[16] Dalam filsafat Skolastik, obyek material adalah eksisten konkret seutuhnya yang merupakan sasaran intensionalitas subyek. Sedangkan obyek formal adalah ciri atau aspek khusus (bentuk) yang ditonjolkan untuk menyimak bentukan itu.[17]
Dengan mencermati pengertian atau pemahaman tentang obyek material sebagaimana di atas, maka yang menjadi obyek material ilmu komunikasi Islam adalah umat manusia secara keseluruhan. Maksudnya, sesuai tujuan komunikasi Islam bahwa bukan saja umat Islam (muslim) yang menjadi obyeknya, tetapi juga seluruh umat manusia (berarti termasuk di dalamnya non-muslim). Jadi, ilmu komunikasi Islam, sebagaimana juga ilmu komunikasi umum, membahas tentang manusia.[18]
Komunikasi ada pada semua aspek kehidupan manusia. Tidak ada bidang kehidupan bermasyarakat yang tidak ada komunikasinya. Dengan konteks inilah menurut Wilbur Schramm dan Edward Sapir (1973) sebetulnya ilmu komunikasi tidak memiliki tanah atau lahan yang khusus bagi dirinya sendiri. Ketika membahas suatu persoalan yang berkaitan dengan komunikasi, seperti pembahasan tentang dampak pesan, maka harus meminjam ilmu jiwa sosial atau psikologi, ketika ingin mendalami sejarah komunikasi, maka harus meminjam ilmu purbakala (arkeologi) dan antropologi. Dengan demikian, komunikasi harus meminjam metode-metode dari disiplin-disiplin ilmu lain untuk memahami teorinya sendiri.
Bagi Islam, komunikasi memang jelas sebagai salah satu fitrah manusia. Hal itu dapat dilihat pada Alquran surat ar-Rahmān/55, ayat 1-4. Firman Allah:
Artinya:
“(Tuhan) Yang Maha Pemurah, Yang telah mengajarkan al Quran. Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara.”
Kata-kata “al-bayan” di dalam salah satu ayat tersebut ditafsirkan As-Syaukani dalam tafsirnya Fath al-Qadir, sebagaimana dikutip Jalaluddin Rakhmat, diartikan sebagai kemampuan berkomunikasi.[19] Menurut Jalaluddin Rakhmat, selain kata “al-bayan”, kata kunci berkomunikasi yang dipergunakan di dalam Alquran juga terdapat perkatan “qaul” dalam konteks “amar” atau perintah. Paling tidak, yang menggunakan kata-kata “qaul” dengan berbagai variasinya di dalam Alquran terdapat pada Qs. an-Nisā’/4: 5, 9 dan 63, al-Isra’/17: 23 dan 28, Tāha/20: 44 serta al-Ahzāb/33: 70. (Terjemahannya secara berturut-turut di bawah ini):
Artinya:
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.”
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”
“Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.” (Qs. an-Nisā’/4: 5, 9 dan 63).
Artinya:
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”
“Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang pantas” (Q.s. al-Isra’/17: 23 dan 28).
Artinya:
“maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut." (Q.s. Tāha/20: 44).
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar” (Q.s. al-Ahzāb/33: 70)
Dari ayat-ayat tersebut dipahami bahwa obyek bahkan sekaligus yang menjadi subyek komunikasi Islam adalah manusia. Dengan demikian, obyek penelaahan ilmu komunikasi Islam juga manusia itu sendiri. Manusia yang menyampaikan pesan kepada sesamanya, bahkan ketika manusia berdo’a yang diyakini sebagai komunikasi antara manusia dengan Tuhan (komunikasi transendental) yang ditelaah adalah manusia itu sendiri, tentang bagaimana ia memanjatkan do’a, etikanya pada saat berdo’a, sampai kepada diterima atau tidaknya do’anya dengan melihat dampaknya terhadap dirinya atau yang dido’akannya. Kendati yang terakhir ini tentu saja sulit terdeteksi, tetapi paling tidak ada dampak yang dirsakannya mungkin daris sikap maupun perilakunya.
Sementara itu, berdasarkan pengertian dan pemahaman peneliti sendiri terhadap pengertian obyek formal sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, maka yang menjadi obyek formal ilmu komunikasi Islam tidak lain adalah segala pesan (message) yang sesuai dengan ajaran Islam dengan berdasarkan kepada Alquran dan Hadis Nabi Muhammad Saw.
Tentu saja pesan yang menjadi kajian dalam ilmu komunikasi Islam adalah pesan yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan sesuai dengan pesan-pesan yang diinginkan oleh Alquran maupun Hadis Nabi Saw. Hal ini memang perlu ditekankan, sebab perbedaan mendasar antara komunikasi Islam dengan komunikasi umum lainnya terutama terletak pada latar belakang filosofisnya (Alquran dan Hadis Nabi Saw.) dan aspek etikanya yang juga didasarkan pada landasan filosofi tersebut.[20]
Komunikasi umum (non-Islam, nonreligius) sebenarnya juga mengadopsi etika, tetapi sanksi atas pelanggaran komunikator terhadap etika kamunikasi hanya berlaku di dunia. Sedangkan sanksi atas pelanggaran terhadap etika komunikasi Islam berlaku sampai di akhirat. Ada hukuman akhirat dan hukuman di alam kubur. Banyak sekali ayat dalam Alquran yang menjelaskan akan adanya hukuman bagi pelanggar-pelanggar etika komunikasi, baik secara eksplisit maupun implisit. Tetapi sanksi itu akan tidak berlaku lagi jika si pelanggar suad bertaubat atau minta ampun, jika Tuhan telah mengampuninya.
Jika pesan merupakan bahan yang akan disampaikan kepada komunikan, maka sumber pesan dalam komunikasi Islam ada 3 (tiga) kelompok, yaitu:
a. Sumber primer, yaitu Alquran dan Hadis Nabi Muhammad Saw., sedangkan pada komunikasi umum (Barat) informasi yang bersifat primer didapatkan dari pemegang otoritas secara langsung (first hand information), seperti tesis, surat, jurnal, dan sebagainya.
b. Sumber sekunder, yaitu ijma’, qias, masālih al-mursalah, fatwa sahabat, amal penduduk Madinah, informasi dari tamaddun/peradaban lainnya, sedangkan pada komunikasi umum (Barat) yang menjadi sumber sekunder komunikasi adalah tulisan atau perkataan yang menjelaskan sumber primer, seperti indeks, abstraksi, bibliografi, dan sebagainya.
c. Sumber tertier, yaitu pesan/informasi atau ilmu yang dikembangkan dari sumber sekunder yang memunculkan ilmu-ilmu baru, sedangkan pada komunikasi umum (Barat) sumber tertiernya adalah suatu informasi tentang sesuatu yang hal yang berkaitan dengan informasi-informasi lainnya, seperti bibliografi untuk bibliografi, buku tahunan atau laporan tahunan, dan sebagainya.[21]
Oleh Hasnun Jauhari Ritonga
Staf Pengajar Fakultas Dakwah IAIN Sumatera Utara
(S.1 Manajemen Dakwah dan S.2 Komunikasi Islam IAIN Sumatera Utara)
ABSTRAK
Ontologi merupakan bagian dari filsafat ilmu yang membahas atau mengkaji tentang obyek material dan formal. Obyek material adalah benda atau hal yang menjadi obyek atau bidang ilmu. Sedangkan obyek formal adalah aspek atau sudut pandang suatu ilmu dalam melihat obyek ilmu, dan sebagainya.
Obyek material ilmu komunikasi Islam adalah umat manusia secara keseluruhan. Maksudnya, sesuai tujuan komunikasi Islam bahwa bukan saja umat Islam (muslim) yang menjadi obyeknya, tetapi juga seluruh umat manusia (berarti termasuk di dalamnya non-muslim). Jadi, ilmu komunikasi Islam, sebagaimana juga ilmu komunikasi umum, membahas tentang manusia.
Sementara itu, obyek formal ilmu komunikasi Islam tidak lain adalah segala pesan (message) yang sesuai dengan ajaran Islam dengan berdasarkan kepada Alquran dan Hadis Nabi Muhammad Saw. Tentu saja pesan yang menjadi kajian dalam ilmu komunikasi Islam adalah pesan yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan sesuai dengan pesan-pesan yang diinginkan oleh Alquran maupun Hadis Nabi Saw. Hal ini memang perlu ditekankan, sebab perbedaan mendasar antara komunikasi Islam dengan komunikasi umum lainnya terutama terletak pada latar belakang filosofisnya (Alquran dan Hadis Nabi Saw.) dan aspek etikanya yang juga didasarkan pada landasan filosofi tersebut.
Kata-Kata Kunci: Ontologi, Komunikasi Islam, Obyek Formal, Obyek Material
Pendahuluan
Bagi sebagian penulis atau pemerhati komunikasi masih terlihat keragu-raguannya terhadap keberadaan Komunikasi Islam. Hal itu terlihat dari tulisan-tulisan yang hanya menyebut atau menulis: “Komunikasi Islami, Komunikasi (Islam), Komunikasi Perspektif Islam”, dan sebagainya. Di samping itu, mengenai tergolong ke mana ilmu Komunikasi Islam, juga masih bervariasi. Ada yang menyebut sebagai komunikasi teokrasi, ada yang mengelompokkannya kepada dakwah, ada juga yang menyetarakannya dengan komunikasi religius, dan lain-lain. Tentu semua hal itu dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi peneliti ilmu Komunikasi Islam.
Tetapi, persoalan keilmuan Komunikasi Islam memang layak diperbincangkan untuk mencari dan membangun kerangkanya yang mapan. Hal ini akan terwujud melalui penelitian-penelitian. Boleh jadi, penelitian hanya terfokus ke dalam bangunan keilmuan tertentu saja, seperti ontologinya saja, epistemologinya saja, atau aksiologinya saja. Dan akan sangat membantu menjelaskan kepada masyarakat terutama akademisi jika penelitian dilakukan secara mendalam dan tuntas terhadap ketiga bangunan keilmuan dimaksud.
Wacana Komunikasi Islam memang masih agak sunyi kendati sebenarnya sudah bermunculan program studi atau konsentrasi keilmuan Komunikasi Islam, seperti di PPs IAIN Sumatera Utara. Pun diakui masih cukup muda dibandingkan dengan Komunikasi konvensional yang sudah mapan dan dikenal luas selama ini. Komunikasi Islam sendiri baru mendapat perhatian lebih serius dibanding sebelumnya terutama setelah diterbitkannya buku seperti Communication Theory: The Asian Perspective oleh The Asian Mass Communication Research and Information Centre, Singapura, tahun 1988. Di samping itu, Mohd. Yusof Hussain, menulis dalam Media Asia tahun 1986 dengan judul Islamization of Communication Theory, dan pada bulan Januari 1993, jurnal Media. Culture and Society yang terbit di London juga memberi liputan kepada Komunikasi Islam.[1]
Perhatian terhadap Komunikasi Islam sebagaimana di atas perlu mendapat respon positif dari umat Islam, khususnya akademisi yang terlibat langsung untuk mengusung dan membangun kerangka keilmuannya. Berangkat dari kepentingan itu, tulisan ini akan meliput tentang bagian tertentu dari bangunan keilmuan Komunikasi Islam, yaitu “Ontologi Komunikasi Islam”. Mudah-mudahan dapat memberikan sumbangsih bagi pembaca untuk kemudian menjadi motivasi mengembangkannya lebih lanjut.
Pengertian Ontologi
Istilah ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu “on” atau “ontos” artinya yang berada dan “logos” yang berarti ilmu pengetahuan atau ajaran. Dengan demikian secara etimologi, ontologi berarti ilmu pengetahuan atau ajaran tentang yang berada. Istilah ontologi dipopulerkan oleh Christian Wolff (1679-1714). Ontologi dipersamakan dengan istilah “metafisika”. Para ahli yang mempersamakan ontologi dengan metafisika adalah Nicolai Hartmann seorang ahli ontologi dan Gottfried Martin di dalam bukunya Allgemein Metaphysic.[2] Metafisika adalah sesuatu yang melampaui fisika atau hal-hal yang pertama dan terakhir.[3]
Ontologi merupakan salah satu cabang dari filsafat yang membicarakan tentang usaha untuk mendeskripsikan hakikat wujud tertinggi, yang esa, yang absolut, bentuk abadi yang sempurna. Pertanyaan-pertanyaan ontologi biasanya mempertanyakan ulang status realitas sesuatu. Misalnya: “Apakah obyek-obyek penginderaan atau persepsi itu nyata?”, “Apakah bilangan itu nyata?”, “Apakah pemikiran itu nyata?”, dan seterusnya.[4] Ada dua aliran penting yang membahas ontologi, yaitu yang berpaham dualisme dan yang berpaham monisme atau materialisme. Pemahaman dualisme menyebutkan bahwa alam ini terdiri dari dua macam hakikat sebagai sumbernya atau sering disebut “serba dua”; (1) yang ada sebagai potensi; (2) yang ada sebagai terwujud. Aristoteles menyebutnya dengan hule (materi) dan eidos atau morfe (bentuk). Pemahaman monisme (materialisme) menyebutkan bahwa sumber yang asal itu tunggal, yang sering diistilahkan dengan “serba tunggal”. Thales (625-545 SM) mengatakan bahwa hakikat semua yang ada di alam ini bersumber dari air. Air yang cair adalah pangkal pokok (principle) segala-galanya. Semuanya terjadi dari air dan semuanya kembali kepada air pula.[5]
Selain monisme dan dualisme, ada yang menambahkan pluralisme, nihilisme, dan agnotisisme sebagai aliran yang berkembang dalam pembahasan ontologi.[6] Paham pluralisme berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur, lebih dari satu atau dua entitas. Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah Anaxigoras dan Empedocles yang menyatakan bahwa substansi yang ada itu terbentuk dari 4 (empat) unsur, yaitu tanah, air, api, dan udara. Tokoh aliran pluralis pada zaman modern dipelopori oleh seorang psikolog dan filosof Amerika, William James (1842-1910) yang menyatakan, tidak ada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas dari akal yang mengenal. Sebab pengalaman kita berjalan terus, dan segala yang kita anggap benar dalam perkembangan pengalaman itu senantiasa berubah, karena dalam praktiknya apa yang kita anggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya.[7]
Aliran nihilisme yang diperkenalkan oleh filosof Yunani Kuno, Georgias (483-360 SM) memberikan 3 (tiga) proporsi tentang realitas. Pertama, tidak ada sesutau pun yang eksis. Realitas itu sebenarnya tidak ada. Sebab realitas itu sebenarnya tunggal dan sekaligus banyak, terbatas dan sekaligus pula tidak terbatas, dicipta dan sekaligus tidak dicipta. Karena kontradiksi tidak dapat diterima, maka pemikiran lebih baik tidak menyatakan apa-apa tentang realitas. Kedua, bila sesuatu itu ada, ia tidak dapat diketahui. Hal ini disebabkan karena penginderaan itu hanyalah sumber ilusi. Akal juga tidak mampu meyakinkan kita tentang bahan alam semesta ini karena kita telah dikungkung oleh dilema subyektif. Ketiga, sekalipun realitas itu dapat kita ketahui, ia tidak akan dapat kita beritahukan kepada orang lain.[8] Tokoh modern aliran nihilisme adalah Friedrich Nietszche (1844-1900) yang menyatakan bahwa “Tuhan telah mati”. Baginya, manusia telah terbebas dari nilai-nilai, dan yang ada adalah kebebasan dan kreativitas. Tetapi dengan pemahaman ini ia terjebak kepada bahaya nihilisme, sehingga ia harus menciptakan nilai-nilai baru, dengan transevaluasi semua nilai.[9]
Paham agnotisisme dalam pembahasan ontologi mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda, baik hakikat materi maupun ruhani. Karena manusia belum sepenuhnya mengenal dan mampu menerangkan secara konkret akan adanya kenyataan yang berdiri sendiri dan dapat kita kenal, maka ia selalu menyangkal adanya suatu kenyataan mutlak yang bersifat transendental. Aliran ini dikenal juga dengan filsafat eksistensialisme yang di antara penganutnya adalah Soren Kierkegaar, Heidegger, Sartre, dan Jaspers.[10]
Obyek Ilmu Komunikasi Islam
Sebelum membahas obyek ilmu komunikasi Islam, terlebih dahulu akan dikemukakan pengertian-pengertian dasar mengenai obyek itu sendiri. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia[11] pengertian obyek terdapat dalam 5 (lima) kategori. Pertama, obyek merupakan hal, perkara, atau orang yang menjadi pokok pembicaraan. Kedua, obyek diartikan sebagai benda, hal, dan sebagainya yang dijadikan sasaran untuk diteliti, diperhatikan, dan sebagainya. Ketiga, obyek digunakan pada nomina yang melengkapi transitif dalam klausa, misalnya “teh manis” dalam kalimat: “Kiki minum teh manis”. Keempat, obyek berarti hal atau benda yang menjadi sasaran usaha sambilan, misalnya: “Berdagang kain menjadi salah satu obyek orang-orang di kota ini. Kelima, obyek merupakan titik atau himpunan yang bertindak sebagai sumber cahaya bagi suatu lensa, cermin, atau bagi suatu sistem lensa.
Sementara itu, di dalam Kamus Filsafat[12], obyek dapat dilihat dari 3 (tiga) sisi. Pertama, obyek adalah apa yang tersaji bagi indera kita. Sesuatu yang dapat dilihat, dapat diraba, dapat dikecap, dan sebagainya. Kedua, obyek adalah apa yang tersaji bagi kesadaran dan yang karenanya kesadaran menjadi sadar. Obyek dapat menunjuk (a) benda (hal) di dunia luar yang ada secara independen yang merangsang indera atau kesadaran kita untuk memperhatikan benda (hal) ini atau (b) isi pikiran itu sendiri yang diperhatikan dalam kesadaran. Ketiga, obyek adalah apa saja yang dapat dibicarakan (karenanya dapat disebut), dan khususnya sebagai sebuah kata benda yang mempunyai eksistensi substantif.
Dalam arti luas, obyek adalah segala sesuatu yang menjadi sasaran pengarahan suatu tindakan sadar dari subyek. Dengan kata lain, obyek adalah sesuatu yang menjadi sasaran intensionalitas kekuatan jiwa, kebiasaan atau bahkan ilmu tertentu. Dari pengertian kebahasaan di atas, obyek yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah sesuatu yang dijadikan sebagai sasaran atau pokok pembicaraan dan penelitian.
Pada dasarnya, setiap ilmu memiliki dua macam obyek, yaitu obyek material dan obyek formal.[13] Obyek material adalah benda atau hal yang menjadi obyek atau bidang ilmu. Ada juga yang memberikan batasan bahwa obyek material adalah seluruh lapangan atau bahan yang dijadikan obyek penyelidikan suatu ilmu.[14] Obyek material dalam pembahasan filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan itu sendiri, yaitu pengetahuan yang telah disusun secara sistematis dengan metode ilmiah tertentu, sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara umum. Dengan pengertian itu, sangat jelas terlihat perbedaan mendasar antara pengetahuan dengan ilmu pengetahuan. Pengetahuan itu lebih bersifat umum dan didasarkan atas pengalaman sehari-hari, sementara ilmu pengetahuan lebih bersifat khusus dengan karakteristiknya yang sistematis, dengan menggunakan metode ilmiah tertentu, dan dapat diuji kebenarannya.[15] Sedangkan obyek formal adalah aspek atau sudut pandang suatu ilmu dalam melihat obyek ilmu, dan sebagainya.[16] Dalam filsafat Skolastik, obyek material adalah eksisten konkret seutuhnya yang merupakan sasaran intensionalitas subyek. Sedangkan obyek formal adalah ciri atau aspek khusus (bentuk) yang ditonjolkan untuk menyimak bentukan itu.[17]
Dengan mencermati pengertian atau pemahaman tentang obyek material sebagaimana di atas, maka yang menjadi obyek material ilmu komunikasi Islam adalah umat manusia secara keseluruhan. Maksudnya, sesuai tujuan komunikasi Islam bahwa bukan saja umat Islam (muslim) yang menjadi obyeknya, tetapi juga seluruh umat manusia (berarti termasuk di dalamnya non-muslim). Jadi, ilmu komunikasi Islam, sebagaimana juga ilmu komunikasi umum, membahas tentang manusia.[18]
Komunikasi ada pada semua aspek kehidupan manusia. Tidak ada bidang kehidupan bermasyarakat yang tidak ada komunikasinya. Dengan konteks inilah menurut Wilbur Schramm dan Edward Sapir (1973) sebetulnya ilmu komunikasi tidak memiliki tanah atau lahan yang khusus bagi dirinya sendiri. Ketika membahas suatu persoalan yang berkaitan dengan komunikasi, seperti pembahasan tentang dampak pesan, maka harus meminjam ilmu jiwa sosial atau psikologi, ketika ingin mendalami sejarah komunikasi, maka harus meminjam ilmu purbakala (arkeologi) dan antropologi. Dengan demikian, komunikasi harus meminjam metode-metode dari disiplin-disiplin ilmu lain untuk memahami teorinya sendiri.
Bagi Islam, komunikasi memang jelas sebagai salah satu fitrah manusia. Hal itu dapat dilihat pada Alquran surat ar-Rahmān/55, ayat 1-4. Firman Allah:
Artinya:
“(Tuhan) Yang Maha Pemurah, Yang telah mengajarkan al Quran. Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara.”
Kata-kata “al-bayan” di dalam salah satu ayat tersebut ditafsirkan As-Syaukani dalam tafsirnya Fath al-Qadir, sebagaimana dikutip Jalaluddin Rakhmat, diartikan sebagai kemampuan berkomunikasi.[19] Menurut Jalaluddin Rakhmat, selain kata “al-bayan”, kata kunci berkomunikasi yang dipergunakan di dalam Alquran juga terdapat perkatan “qaul” dalam konteks “amar” atau perintah. Paling tidak, yang menggunakan kata-kata “qaul” dengan berbagai variasinya di dalam Alquran terdapat pada Qs. an-Nisā’/4: 5, 9 dan 63, al-Isra’/17: 23 dan 28, Tāha/20: 44 serta al-Ahzāb/33: 70. (Terjemahannya secara berturut-turut di bawah ini):
Artinya:
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.”
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”
“Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.” (Qs. an-Nisā’/4: 5, 9 dan 63).
Artinya:
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”
“Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang pantas” (Q.s. al-Isra’/17: 23 dan 28).
Artinya:
“maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut." (Q.s. Tāha/20: 44).
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar” (Q.s. al-Ahzāb/33: 70)
Dari ayat-ayat tersebut dipahami bahwa obyek bahkan sekaligus yang menjadi subyek komunikasi Islam adalah manusia. Dengan demikian, obyek penelaahan ilmu komunikasi Islam juga manusia itu sendiri. Manusia yang menyampaikan pesan kepada sesamanya, bahkan ketika manusia berdo’a yang diyakini sebagai komunikasi antara manusia dengan Tuhan (komunikasi transendental) yang ditelaah adalah manusia itu sendiri, tentang bagaimana ia memanjatkan do’a, etikanya pada saat berdo’a, sampai kepada diterima atau tidaknya do’anya dengan melihat dampaknya terhadap dirinya atau yang dido’akannya. Kendati yang terakhir ini tentu saja sulit terdeteksi, tetapi paling tidak ada dampak yang dirsakannya mungkin daris sikap maupun perilakunya.
Sementara itu, berdasarkan pengertian dan pemahaman peneliti sendiri terhadap pengertian obyek formal sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, maka yang menjadi obyek formal ilmu komunikasi Islam tidak lain adalah segala pesan (message) yang sesuai dengan ajaran Islam dengan berdasarkan kepada Alquran dan Hadis Nabi Muhammad Saw.
Tentu saja pesan yang menjadi kajian dalam ilmu komunikasi Islam adalah pesan yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan sesuai dengan pesan-pesan yang diinginkan oleh Alquran maupun Hadis Nabi Saw. Hal ini memang perlu ditekankan, sebab perbedaan mendasar antara komunikasi Islam dengan komunikasi umum lainnya terutama terletak pada latar belakang filosofisnya (Alquran dan Hadis Nabi Saw.) dan aspek etikanya yang juga didasarkan pada landasan filosofi tersebut.[20]
Komunikasi umum (non-Islam, nonreligius) sebenarnya juga mengadopsi etika, tetapi sanksi atas pelanggaran komunikator terhadap etika kamunikasi hanya berlaku di dunia. Sedangkan sanksi atas pelanggaran terhadap etika komunikasi Islam berlaku sampai di akhirat. Ada hukuman akhirat dan hukuman di alam kubur. Banyak sekali ayat dalam Alquran yang menjelaskan akan adanya hukuman bagi pelanggar-pelanggar etika komunikasi, baik secara eksplisit maupun implisit. Tetapi sanksi itu akan tidak berlaku lagi jika si pelanggar suad bertaubat atau minta ampun, jika Tuhan telah mengampuninya.
Jika pesan merupakan bahan yang akan disampaikan kepada komunikan, maka sumber pesan dalam komunikasi Islam ada 3 (tiga) kelompok, yaitu:
a. Sumber primer, yaitu Alquran dan Hadis Nabi Muhammad Saw., sedangkan pada komunikasi umum (Barat) informasi yang bersifat primer didapatkan dari pemegang otoritas secara langsung (first hand information), seperti tesis, surat, jurnal, dan sebagainya.
b. Sumber sekunder, yaitu ijma’, qias, masālih al-mursalah, fatwa sahabat, amal penduduk Madinah, informasi dari tamaddun/peradaban lainnya, sedangkan pada komunikasi umum (Barat) yang menjadi sumber sekunder komunikasi adalah tulisan atau perkataan yang menjelaskan sumber primer, seperti indeks, abstraksi, bibliografi, dan sebagainya.
c. Sumber tertier, yaitu pesan/informasi atau ilmu yang dikembangkan dari sumber sekunder yang memunculkan ilmu-ilmu baru, sedangkan pada komunikasi umum (Barat) sumber tertiernya adalah suatu informasi tentang sesuatu yang hal yang berkaitan dengan informasi-informasi lainnya, seperti bibliografi untuk bibliografi, buku tahunan atau laporan tahunan, dan sebagainya.[21]
Sifat Ilmu Komunikasi Islam
Dalam ilmu komunikasi umum, jika ditinjau dari sifatnya, maka komunikasi dapat diklasifikasikan menjadi 4 (empat) macam, yaitu: verbal communication, nonverbal communication, face to face communication, dan mediated communication.[22] Dalam beberapa hal, tentu saja sifat ilmu komunikasi Islam dengan ilmu komunikasi yang bersifat umum ada banyak persamaan.[23] Bahkan yang menjadi perbedaan mendasar terletak pada latar belakang filosofinya, sedangkan cukup banyak aspek paradigmatis dan teoritis (perspektif)-nya adalah sama. Misalnya juga mengenai defenisi komunikasi baik defenisi etimologis maupun terminologisnya. Mungkin ada istilah atau perkataan lain menurut bahasa lain, tetapi istilah dari bahasa lain itu tetap mempunyai makna komunikasi atau berkomunikasi, yakni berbicara, menyampaikan pesan, pendapat, informasi, berita, pikiran dan perasaan dan sebagainya dari seseorang kepada yang lainnya dengan mengharapkan umpan balik (feedback).
Pada era informasi dan komunikasi sekarang ini, dunia Islam juga tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh-pengaruh teknologi yang berkembang. Teknologi informasi dan komuniksi (ICT = Information and Comunication Technology) merambah hampir ke seluruh penjuru bumi ini, maka mau tidak mau, suka tidak suka, umat Islam khususnya harus ikut serta memainkan peran di dalamnya. Dalam satu lokakarya yang diadakan oleh PPs IAIN Sumatera Utara[24] terungkap bahwa internet sebagai media komunikasi paling mutakhir harus juga dapat dimanfaatkan oleh umat Islam, jika tidak maka umat Islam secara sengaja dan sah telah membiarkan media ini dikuasai oleh pihak-pihak non-Muslim saja, sementara yang menjadi konsumen atau pemakainya sudah barang tentu banyak di antaranya mengaku sebagai Muslim. Lantas apakah adil rasanya jika umat Islam sendiri tidak mendapatkan informasi Islami dari media internet yang mereka sendiri bergelut dengannya? Artinya, umat Islam harus juga memanfatkan internet sebagai media komunikasinya. Bila mungkin, tentu saja sesuai dengan harapan Prof. Dr. H. Suwardi Lubis, MS, umat Islam harus berupaya: “Bagaimana meng-Islam-kan teknologi, dan bukan menteknologikan Islam”. Menurutnya, harapan itu hanya akan bisa diwujudkan bila teknologi itu dilembagakan sebagai bagian dari lembaga penyiaran Islam.[25] Jadi, pesan-pesan yang muncul pada layar internet tidak hanya yang non-Islami, tetapi juga pesan-pesan agama Islam.
Sejujurnya juga harus diakui, kendati media informasi dan komunikasi sudah demikian maju dan berkembang, tetapi cara-cara lain sebagaimana yang tersebut di atas, seperti face to face communication, verbal dan nonverbal communication juga tetap digunakan. Face to face communication diwujudkan dalam berbagai bentuk seperti konsultasi agama, memberikan nasehat kepada sesama, konsultasi keluarga, dan sebagainya. Masing-masing sifat-sifat komunikasi tersebut memiliki keunggulan dan kelemahannya masing-masing. Keunggulannya seperti adanya rasa kekeluargaan dan hubungan emosi yang dekat, sedangkan kelemahannya seperti sasarannya yang sangat terbatas dengan jangkauan yang terbatas pula.
Prinsip-Prinsip Komunikasi Islam
Mohd. Yusof Hussain, seorang warga Malaysia yang pernah menjadi narasumber dalam suatu seminar yang membahas tentang perkembangan Komunikasi Islam, mengemukakan bahwa Alquran sebagai sumber utama rujukan umat Islam telah memberikan prinsip-prinsip komunikasi yang dapat dijadikan sebagai kerangka atau landasan berpikir secara epsitemik dalam keilmuan komunikasi. Ia mengatakan bahwa komunikasi aepanjang merujuk kepada Alquran adalah sebagai proses penyampaian pesan Alquran dengan prinsip Alquran itu sendiri.[26] Ada berbagai macam pendapat yang mengemukakan tentang prinsip atau kaedah yang membahas tentang komunikasi Islam, apabila merujuk kepada sumber utama ajaran Islam itu sendiri, yaitu Alquran dan kemudian dengan menelaah hadis-hadis Nabi Saw. serta praktek-praktek keseharian para sahabat yang diyakini keabasahannya sebagai landasan dan rujukan pemikiran di dunia Islam.
Prof. Madya Dr. Saodah Wok, dkk., menyebutkan ada 12 (dua belas) macam prinsip dan kaedah komunikasi Islam.[27]
Pertama, memulai percakapan dengan “Assalamu’alaikum”. Prinsip ini didasarkan kepada anjuran Nabi saw yang menyuruh umatnya untuk mengucapkan salam kepada sesama umat Islam.
Kedua, berbicara dengan lemah lembut. Prinsip ini didasarkan kepada perintah Allah Swt dalam firman-Nya dalam Alquran pada surat Tā ha, ayat 43-44. Demikian juga dijelaskan dalam Surat Ali ‘Imrān, ayat 15.
Ketiga, menggunakan perkataan yang baik. Prinsip ini sesuai dengan anjuran Allah Swt. seperti yang tergambar di dalam Surat al-Isrā’, ayat 23 dan 53; dan Surat al-Baqarah, ayat 83, dan 263.
Keempat, menyebut hal-hal yang baik-baik tentang orang lain. Prinsip ini sejalan dengan perintah Rasulullah saw. yang menyatakan bahwa umat Islam harus selalu menyebutkan kebaikan orang lain, sebab semua orang pasti menyukai disebutkan keabikannya.
Kelima, bijaksana dalam memberikan nasehat kepada orang lain. Prinsip ini digambarkan Allah Swt.di dalam Alquran surat an-Nahl, ayat 125.
Keenam, berbicara benar, sesuai dengan petunjuk Allah Swt. di dalam firman-Nya dalam Alquran surat al-An’ām, ayat 152.
Ketujuh, menyesuaikan bahasa yang disampaikan dengan tingkat intelektual pendengar. Hal ini sesuai dengan perintah Nabi saw. yang menyebutkan agar berbicara dengan orang lain sesuai dengan kadar akalnya.
Kedelapan, berdialog dengan cara yang lebih baik. Alasan prinsip ini didasarkan kepada Alquran surat an-Nahl, ayat 125.
Kesembilan, memberikan stressing terhadap hal-hal yang penting. Maksudnya perkara-perkara yang penting sebaiknya dikatakan berulang-ulang sehingga lebih berkesan dan mendapat perhatian serius. Prinsip ini sejalan dengan amalan Rasulullah saw. di mana beliau sering mengulangi sebanyak tiga kali terhadap hal-hal yang penting.
Kesepuluh, menyesuaikan perkataan dengan perbuatan. Maksudnya, tidak munafik; mengatakan sesuatu tetapi ia sendiri tidak memperbuatnya. Dengan kata lain, lain di mulut lain pula dalam kenyataan atau di dalam hati, sebagaimana di dalam Alquran surat as-Saff, ayat 21.
Kesebelas, memahami persepsi dan pandangan orang lain. Maksudnya, bisa menyelami pemikiran orang lain, sehingga terlibat langsung dengan hal yang diperbincangkan. Bukan bersikap tak perduli, sebab ketidakperdulian akan menyebabkan lawan bicara merasa tidak dihargai terhadap pikiran dan pandangannya. Prinsip ini diintisarikan dari firman Allah di dalam Alquran surat asy-Syu’arā, ayat 3, dan surat Ali ‘Imrān, ayat 159.
Keduabelas, berdo’a kepada Tuhan jika memikul tanggung jawab komunikasi yang besar. Prinsip ini disarikan Alquran surat Tā ha, ayat 25-28.
Sementera itu, Ahmad Sufyan Che Abdullah dalam tulisannya “Beberapa Kaedah Komunikasi Islam: Menjamin Produktiviti Kerja” menyederhanakan prinsip-prinsip komunikasi Islam menjadi 5 (lima) saja, yaitu prinsip-prinsip ketepatan fakta, penyesuaian dengan penerima informasi, kekuatan bahasa dan kemahiran dalam menyampaikan informasi, bijaksana/hikmah, dan takwa.[28]
Prinsip Pertama: Ketepatan Fakta. Kaedah yang pertama dalam sistem komunikasi Islam ialah prinsip ketepatan fakta dalam penyampaian sesuatu informasi. Dalam Islam, fakta-fakta yang diterima hendaklah disaring dan diuji kebenarannya sebelum disampaikan kepada orang lain. Tugas menerima dan terus menyebarkan fakta kepada orang lain tanpa memeriksa dahulu ketepatan informasi adalah jelas menyalahi ajaran Islam. Maksud firman Allah di dalam Alquran berikut jelas menunjukkan betapa pentingnya selektifitas dan pengujian keabsahan informasi yang diterima: “Wahai orang-orang yang beriman! Jika datang kepada kamu seorang fasik membawa sesuatu berita, maka selidikilah (untuk menentukan) kebenarannya, supaya kamu tidak menimpakan sesuatu kaum dengan perkara yang tidak diingini dengan sebab kejahilan kamu (mengenainya) sehingga menjadikan kamu menyesali apa yang kamu telah lakukan” (Qs. al-Hujurāt, ayat 6). Fakta-fakta hendaklah disahkan daripada sumber berautoriti sebelum disebarkan kepada orang lain. Dengan cara ini, organisasi boleh mengawal komunikasi ‘grapevine’ daripada menyebarkan spekulasi yang lebih banyak memberikan kesan buruk berbanding kesan yang baik. Dalam kes ini juga, maklumat-maklumat yang masih spekulatif atau semata-mata sangkaan wajar dielakkan daripada disebarkan. Firman Allah: “Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah kebanyakan dari maklumat berupa sangkaan (supaya kamu tidak menyangka sangkaan yang dilarang) kerana sesungguhnya sebahagian dari sangkaan itu adalah dosa” (Qs. al-Hujurāt, ayat 12). Dengan ini, hanya maklumat-maklumat yang benar sahaja yang tersebar dan keadaan ini akan memantapkan lagi operasi sesebuah organisasi.
Prinsip Kedua Memilih Informasi Yang Sesuai Dengan Penerimanya. Kaedah kedua dalam komunikasi ialah pemilihan terhadap informasi yang ada sebelum disebarkan kepada orang lain. Jika anda seorang komunikator, tidak semua informasi yang anda terima perlu disebarkan, tetapi ketepatan memilih informasi berasaskan fungsi yang boleh dilakukan oleh penerima informasi. Informasi yang tepat, jika diberikan kepada penerima yang tidak tepat akan menyebabkan kesalahan dalam pengamalannya. Jika dilihat dalam sejarah Rasulullah, bagaimana beliau berkomunikasi dengan pelbagai jenis dan tingkatan manusia, adakalanya beliau menjelaskan perkara yang sama dengan informasi/pesan yang berbeda-beda, sesuai dengan fungsi yang dapat diamalkan oleh penerima tersebut. Dalam suatu keadaan Rasulullah menyatakan sebaik-baik amalan ialah beriman kepada Allah (HR. Bukhāri) dan dalam situasi yang lain Rasulullah menyatakan sebaik-baik amalan ialah mengerjakan sembahyang dalam waktunya dan berbuat baik kepada ibu bapa (HR. Bukhāri). Menurut seorang penulis, Stephen P. Robbin, kesalahan dalam memilih saluran dan informasi/pesan akan menjadi penghalang terbangunnya komunikasi efektif dan akan sangat mengganggu perjalanan sebuah organisasi. Seseorang yang menjadi komunikator/penyampai informasi perlu memilih pesan yang sesuai, atau memilih penerima yang sesuai untuk menerima pesan dimaksud.
Prinsip Ketiga Dalam Komunikasi Islam adalah Penggunaan Bahasa Yang Jelas dan Mudah Dipahami. Penggunaan bahasa yang jelas dan mudah dipahami merupakan salah satu daripada kaedah komunikasi yang ditunjukkan oleh Alquran dan Sunah. Dalam kisah dakwah Nabi Musa yang dijelaskan oleh Alquran, Nabi Musa pernah meminta kepada Allah, “Dan lepaskanlah simpulan dari lidahku, supaya mereka paham perkataanku; dan jadikanlah bagiku, seorang penyokong dari keluargaku. Yaitu Harun saudaraku” Qs. Tā ha: 27-30). Dari kisah ini, menurut Dr. Iqbal Yunus, dapat dipahami bahawa komunikasi efektif memerlukan kemahiran berbicara untuk menyampaikan pesan dengan jelas kepada penerima. Oleh karena itu, jika ingin menjadi komunikator yang baik, maka harus melatih diri supaya pandai menempatkan kata-kata dalam berbicara, sebagaimana Nabi Musa meminta Harun membantunya berdakwah kepada Fir’aun.
Prinsip Keempat adalah Bijaksana Dalam Berkomunikasi. Islam juga meletakkan prinsip hikmah dalam berkomunikasi. Firman Allah di dalam Alquran: “Serulah ke jalan Tuhanmu (wahai Muhammad) dengan penuh hikmah kebijaksanaan dan nasihat pengajaran yang baik, dan berdebatlah/berdiskusilah dengan mereka (yang engkau serukan itu) dengan cara yang lebih baik” (Qs. an-Nahl: 125). Dr. Yusuf al-Qaradhawi dalam salah satu kuliah Ramadan beliau menguraikan bahwa ayat ini memberi panduan dalam berkomunikasi dengan mereka yang sealiran dan yang tidak sealiran. Di mana-mana organisasi sering terjadi konflik. Maka Allah menyeru agar berbicara dengan penuh hikmah dengan memberi pengajaran yang baik kepada mereka yang sealiran dengan kita, apabila bertukar pikiran dan berdebat dengan cara terbaik pula dengan mereka yang berkonflik dengan kita. Konflik tidak boleh dibiarkan berlalu tetapi perlu diselesaikan dengan cara komunikasi yang baik dan bijaksana.
Prinsip Kelima adalah Takwa. Dalam organisasi, sistem komunikasi yang baik adalah dengan menggunakan berbagai saluran, baik saluran yang resmi maupun saluran yang tidak resmi. Problem biasanya akan lebih sering terjadi apabila saluran komunikasi tidak resmi tidak dikawal dengan nilai dan etika. Itulah sebabnya Islam meletakkan takwa sebagai salah satu kaedah atau prinsip yang sangat penting dalam berkomunikasi. Hal ini disebaban dalam organisasi ada pluralitas seperti perbedaan suku, budaya, pola pendidikan, watak, dan sebagainya, tetapi dengan adanya takwa, maka setiap individu akan menjaga batas-batas komunikasi mereka secara lebih berkesan. Firman Allah: “Wahai sekalian manusia! Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan Kami telah menjadikan kamu berbagai bangsa dan suku, supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah di antara kamu ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahuai.” (Qs. al-Hujurāt, ayat 13). Takwa berarti senantiasa mengambil langkah berhati-hati dalam melalukan segala sesuatu dengan menjauhkan diri dari perbuatan atau perkataan yang menimbulkan dosa dan sifat tercela. Islam mencela sifat memburuk-burukkan bangsa dan suku lain (Qs. al-Hujurāt, ayat 11), juga mengumpat dan membuka aib orang lain di depan umum (Qs. al-Hujurāt, ayat 12).
Saluran komunikasi tidak resmi di dalam sebuah organisasi bisa jadi berjalan sangat liar dan licin, sehingga tak kenal waktu terus dimanfaatkan untuk mengumpat dan memburuk-burukkan orang lain, maka dengan ketakwaan akan menjadikan seseorang itu senantiasa menjauhi sifat buruk sangka terhadap orang lain. Stephen P. Robbins juga pernah menyebutkan bahwa sifat buruk sangka ini sering menimbulkan suasana tidak kondusif dalam organisasi. Misalnya, ketika pimpinan suatu organisasi memuji seseorang pekerja di hadapan pekerja lain, maka orang yang buruk sangka akan menganggap pekerja yang dipuji itu suka “mencari muka” atau “menjilat” , padahal seharusnya akan lebih baik jika dia berprasangka baik dan mau berusaha pula untuk menjadikan dirinya yang terbaik juga.
Orang yang bertakwa dalam berkomunikasi senantiasa menjaga batas suara ketika berbicara, menghindarkan diri dari menipu dan berdusta, menggunakan perkataan yang manis dan menjaga adab-adab dalam berkomunikasi sesama manusia. Rasulullah bersabda dalam memberikan adab-adab komunikasi: “Tidak beriman seseorang itu sepenuhnya selagi dia berdusta ketika bergurau dan bertengkar dengan orang lain sekalipun ia benar” (HR. Ahmad). Dalam hadis lain Rasulullah bersabda: “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat maka dia hendaklah mengucapkan yang baik-baik atau pun dia hanya diam” (HR. Muslim). Di dalam Hadis Nabi Saw. yang juga sangat populer diketahui oleh masyarakat adalah penegasan tentang “menyampaikan sesuatu yang benar sekalipun terasa pahit”. Tentu saja hal ini juga merupakan salah satu prinsip Komunikasi Islam.
Sementara itu, sebagai prinsip yang diperpegangi, tentu hal ini menjadi dasar dikembangkannya Komunikasi Islam. Komunikasi Islam harus berdiri di atas prinsip-prinsip tersebut, yakni prinsip-prinsip yang diambil dari sumber Islam, Alquran dan Sunnah Nabi Saw. Secara bersamaan pula, prinsip-prinsip itu menjadi kritik terhadap validitas Komunikasi Islam.
Kritik Sumber dan Pesan
Di sisi lain untuk menguji keabsahan Komunikasi Islam dapat diperbandingkan dengan “Metodologi Kritik Hadis”, yang terdiri dari “Kritik Sanad (an-naqd ad-dakhilī) dan Kritik Matan (an-naqd a-kharjī)”. Kritik Sanad berarti penilaian terhadap keadaan setiap periwayat hadis yang bersangkutan dengan berbagai aspek, masa hidup, pengetahuan, guru dan murid, kejujuran, kesalehan, kekuatan ingatan, cara berfikir, dan aliran teologi yang dianutnya sehingga penilai dapat menentukan apakah riwayatnya dapat diterima atau tidak.[29] Sedangkan Kritik Matan berarti penilaian terhadap kebenaran informasi yang disampaikan, baik dari aspek kesesuaian dengan akal pikiran, tidak mengandung keraguan atau kebohongan, dan sebagaianya, sehingga informasi yang dikemukakan benar-benar begitu adanya.
Dalam ilmu komunikasi konvensional terutama dalam komunikasi massa dikenal dengan akurasi data dan validitasnya. Suatu informasi akan diterima apabila masih aktual dan faktual. Perhatian secara mendalam terfokus pada kevaliditasan informasi yang disampaikan dan hampir-hampir mengabaikan aspek-aspek yang terkait dengan pemberi informasi (komunikator). Paling-paling hanya dilihat dari sisi kesamaan makna antara komunikator dengan komunikan sehingga komunikasi itu berlangsung secara efektif. Memang benar, bahwa komunikasi akan dapat berlangsung secara efektif apabila antara komunikator dengan komunikan memiliki kesamaan makna. Komunikan bisa menangkap makna yang disampaikan komunikator sehingga akan timbul respon baik respon positif maupun sebaliknya.
Dalam ilmu Komunikasi Islam, sebagaimana dalam metodologi kritik hadis di atas, juga dikenal istilah “qudwah” (keteladanan). Komunikator akan menerima respon positif apabila dianggap memiliki kualifikasi dan integritas kepribadian untuk menyampaikan informasi tersebut. Dalam ilmu-ilmu keislaman yang lain telaah terhadap siapa yang menyampaikan juga sangat diperhatikan, seperti halnya dalam ilmu Ushūl Fiqh bahwa seorang mujtahid harus memenuhi kriteria yang sangat ketat untuk kemampuan berijtihad. Kendati demikian, dalam suatu hadis sering diungkapkan bahwa untuk menyampaikan kebenaran apabila telah dikuasainya sekalipun hanya “secuil” sangat dianjurkan. “Balligghū ‘annī walau āyatan” (sampaikanlah dari aku, kata Nabi Saw. walau hanya satu ayat)”. Tetapi inipun harus tetap memperhatikan ayat Alquran yang mencela bahkan melaknat seseorang yang hanya bisa menyampaikan tetapi tidak memperbuatnya. Firman Allah Swt:
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (Qs. Ash-Shāff/61:2-3).
Dengan demikian, titik temu antara kritik sanad dalam penelitian ilmu Hadis, Ushūl Fiqh tentang seorang yang boleh melakukan ijtihad, atau dalam ilmu Tafsīr tentang seorang Mufassir, dan seterusnya, yang begitu ketat menerapkannya, sedikit berbeda dengan Kritik terhadap pemberi informasi (komunikator) dalam ilmu Komunikasi yang agak longgar menerapkannya. Artinya, kendati tetap saja harus meneliti siapa pemberi informasi tetapi tidak sampai pada tingkat penelitian mendalam seperti harus mengenal aliran teologi yang dianutnya. Umar bin Khattab ra. berkata:
انظر ما قال ولا تنظر من قا ل(Perhatikan yang dikatakan, bukan yang mengatakannya).
Jika dalam hal kritik komunikator tidak terlalu ketat, maka kritik terhadap pesan atau informasi yang disampaikan (yang dalam ilmu Hadis disebut Kritik Matan), ilmu Komunikasi Islam menerapkannya dengan sangat ketat. Ilmu Komunikasi Islam dalam hal ini mengadopsi berbagai metode dari ilmu-ilmu keislaman lainnya, seperti ilmu Hadis, Tafsir, Etika atau Akhlak dan bahkan Filsafat. Jika informasi itu menyangkut tentang Hadis Nabi Saw., maka ia mempergunakan metodologi Kritik Matan, menyangkut Alquran, maka menggunakan metodologi Tafsir, dan seterusnya. Sedangkan menyangkut Etika atau Akhlak dapat dijadikan rujukan sebagaimana Alquran menjelaskan:
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar.
“Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: "Ini adalah suatu berita bohong yang nyata."
“Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi, maka mereka itulah pada sisi Allah orang-orang yang dusta.” (Qs. An-Nur/24: 11-13).
Dijelaskan bahwa penafsiran ayat tersebut di atas adalah mengenai berita bohong yang dialamatkan kepada istri Rasulullah s.a.w. 'Aisyah r.a. ummul Mu'minin, sehabis perang dengan Bani Mushtaliq bulan Sya'ban 5 H. Perperangan Ini diikuti oleh kaum munafik, dan turut pula 'Aisyah dengan Nabi berdasarkan undian yang diadakan antara istri-istri beliau. Dalam perjalanan mereka kembali dari peperangan, mereka berhenti pada suatu tempat. 'Aisyah keluar dari sekedupnya untuk suatu keperluan, kemudian kembali. Tiba-tiba dia merasa kalungnya hilang, lalu dia pergi lagi mencarinya. sementara itu, rombongan berangkat dengan persangkaan bahwa 'Aisyah masih ada dalam sekedup. setelah 'Aisyah mengetahui, sekedupnya sudah berangkat dia duduk di tempatnya dan mengaharapkan sekedup itu akan kembali menjemputnya. Kebetulan, lewat di tempat itu seorang sahabat Nabi, Shafwan ibnu Mu'aththal, diketemukannya seseorang sedang tidur sendirian dan dia terkejut seraya mengucapkan: "Inna lillahi wa inna ilaihi raji'ūn, isteri Rasul!" 'Aisyah terbangun. Lalu dia dipersilahkan oleh Shafwan mengendarai untanya. Syafwan berjalan menuntun unta sampai mereka tiba di Madinah. orang-orang yang melihat mereka membicarakannya menurut pendapat masing-masing. mulailah timbul desas-desus. Kemudian kaum munafik membesar-besarkannya, maka fitnahan atas 'Aisyah r.a. itupun bertambah luas, sehingga menimbulkan kegoncangan di kalangan kaum muslimin. Untuk menyanggah persangkaan yang hina terhadap isteri Nabi ‘Aisyah r.a. tersebut, maka turunlah ayat ini. Di dalamnya dijelaskan betapa pentingnya—bahkan wajib—meneliti informasi yang didapatkan, apalagi menyangkut persangkaan terhadap orang yang terhormat seperti itu yang jauh dari segala kejelekan dan kenistaan. Untuk mendukung segala macam tuduhan terhadap seseorang yang selama ini dianggap baik oleh masyarakat, maka harus mendatangkan 4 orang saksi. Jika tidak, semua tuduhan batal demi hukum.
Sementara itu, kritik pesan atau informasi dalam Komunikasi Islam dapat juga dilihat dari paradigma Filsafat. Seperti yang sudah sejak masa klasik bahwa logika yang dipersamakan dengan mantiq mrupakan kritik mendalam terhadap penggunaan bahasa. Mantiq adalah suatu bidang yang meliputi ungkapan dan makna. Di dalam kitab Kasyf azh-Zunūn karya Musthafa al-Qistantini[30] dijelaskan bahwa mantiq adalah sebagai alat yang bisa digunakan untuk memproteksi kesalahan makna yang diungkapkan oleh penutur.
Kendati mantiq digunakan sebagai alat untuk meproteksi kesalahan makna yang diungkapkan oleh penutur, tetapi ketika dijadikan sebagai standar berfikir (mi’yar al-aql) terkadang bisa menuai kesalahan. Misalnya, ketika para penganut tafsir Hermeunetika dalam memahamai Alquran yang menyatakan bahwa Alquran telah terperangkap dalam bahasa dan budaya Arab adalah suatu kesalahan. Ini merupakan konklusi yang dibangun dengan logika: “Wahyu Tuhan disampaikan kepada Nabi Saw. dalam bentuk parole, bahasa komunikasi yang hanya bisa dimengerti oleh Allah dan Nabi Muhammad Saw. Setelah berada di tangan Nabi untuk disampaikan kepada kaumnya, maka bahasa komunikasinya bukan bahasa parole lagi, melainkan langue, atau bahasa manusia sesama manusia. Transformasi dari parole ke langue ini tentu mengalami distorsi, dengan asumsi tidak semua bahasa parole itu bisa diwakili oleh langue. Bagi aliran Hermeunetika seperti ini, inilah yang memenjarakan wahyu. Pertanyaannya, dari mana mereka tahu bahwa bahasa komunikasi Allah dengan Nabi Saw. adalah parole, yang berbeda dengan langue? Inikan tak bisa dipastikan. Jadi, kesalahan mantiq ini terjadi karena proposisi pertama, bahwa bahasa komunikasi Allah dengan Nabi itu adalah bahasa parole bukan langue. Ini jelas merupakan proposisi yang keliru dan tidak bisa dibuktikan kebenarannya.
Dengan demikian, kritik komunikasi dengan menggunakan mantiq atau “logika” sangat perlu kendati harus tetap memperhatikan kaidah-kaidah yang sesuai, bukan mengandalkan penyimpulan yang sesungguhnya tidak tepat, apalagi penyimpulan yang hanya didasarkan pada asumsi saja.
Penutup
Landasan ontologi komunikasi Islam menjelaskan tentang obyek material dan formal. Obyek material komunikasi Islam pada dasarnya sama dengan komunikasi yang dikembangkan pihak Barat, yaitu manusia secara keseluruhan. Maksudnya, bukan saja manusia muslim, tetapi juga termasuk yang non-muslim. Sedangkan obyek formal komunikasi Islam adalah segala pesan (message) yang sesuai dengan ajaran Islam, yakni berdasarkan Alquran dan Hadis. Dengan kata lain, semua pesan yang tidak ada larangan untuk menyampaikannya kepada orang lain, maka yang demikian itulah obyek formal komunikasi Islam.
Jika demikian, akan sangat berbeda dengan obyek komunikasi Barat yang membuka kran kebebasan untuk menyampaikan pesan apa saja selama tidak berbenturan dengan kepentingan individu lain, sehingga muncul paham free flow of ideas by word and image, yang dalam komunikasi massa dikenal paham news free flow.
Referensi
[1] Syukur Kholil, “Komunikasi dalam Perspektif Islam”, dalam Hasan Asari & Amroeni Drajat (ed.) Antologi Kajian Islam (Bandung: Cita Pustaka Media, 2004), h. 251.
[2] Sudarsono, Ilmu Filsafat: Suatu Pengantar (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), h. 118.
[3] Jacques Derrida, Dekonstruksi Spritual: Merayakan Ragam Wajah Spritual (terj.) Firmansyah Argus (Yoryakarta: Jalasutra, 2002), h. 15.
[4] Ibid.
[5] Ibid, h. 121.
[6] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), h. 143-146.
[7] Ibid, h. 144.
[8] Ibid, h. 146.
[9] Ibid.
[10] Ibid, h. 147.
[11] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud), Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), h. 793.
[12] Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), h. 730.
[13] Bakhtiar, Filsafat Ilmu, h. 1.
[14] Rizal Mustansyir & Misnal Munir, Filsafat Ilmu (Pustaka Pelajar: 2001), h. 44
[15] Endang Saifuddin Ansari, Ilmu, Filsafat dan Agama (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), h. 50.
[16] Depdikbud, Kamus Besar, h. 793.
[17] Bagus, Kamus Filsafat, h. 731.
[18] A. Muis, Komunikasi Islami (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), h. 38.
[19] Jalaluddin Rakhmat, “Prinsip-Prinsip Komunikasi Menurut Al Qur’an” dalam kolom “Mimbar Agama” Majalah Pembina, Kanwil Depagsu, No. 324, h. 40.
[20] Muis, Komunikasi Islami, h. 34.
[21] Disearching dari http://ms.wikipedia.org/wiki/Maklumat_dalam_Islam, pada tanggal 1 Nopember 2007 pukul 11.00 WIB.
[22] Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), h. 53.
[23] Muis, Komunikasi Islami, h. 35.
[24] Kertas Kerja ”Lokakarya Penyiaran Islam Melalui Media Massa” yang dilaksanakan oleh PPs Program Studi Komunikasi Islam, 9 Desember 2006.
[25] Ibid, h.8.
[26] Mohd. Yusof Hussain, “Dua Lima Soal Jawab Mengenai Komunikasi Islam”, dalam Zulkiple Abd Ghani, Islam, Komunikasi dan Teknologi Maklumat (Selangor: Utusan Publications & Distributors SDN BHD, 2001), h. 3.
[27] Saodah Wok, et. al., Teori-Teori Komunikasi (Kuala Lumpur: PTS Publications & Distributors SDN BHD, 2004), h. 217-219.
[28] Disearching dari www.yahoo.com/http://ideologi.muamalat.net/Sabtu, 1 September 2007
[29] Ramli Abdul Wahid, Fikih Sunnah Dalam Sorotan (Medan: LP2IK, 2005), h. 55-56.
[30] Musthafa al-Qistantini, Kasyf azh-Zunūn (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), jilid I, h. 13.
kedudukan sistem informasi keagamaan dalam manajemen dakwah itu bagaimana yaa?????
BalasHapus