Kamis, 27 Mei 2010

Penelitian

PERENCANAAN DAKWAH IKHWANUL MUSLIMIN



RISET
Diajukan sebagai syarat dan tugas
untuk Usulan Edukatif
dalam mata kuliah Manajemen Organisasi


Oleh:
Hasnun Jauhari Ritonga
NIP. 150 378 717











FAKULTAS DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SUMATERA UTARA
MEDAN
2007

KATA PENGANTAR



“Don’t wait tomorrow
be do today”


Syukur Alhamdulillah atas segala nikmat yang telah dikaruniakan Allah swt. kepada hamba-hamba-Nya. Shalawat dan salam ke haribaan Baginda Rasulullah saw. yang diutus ke permukaan bumi sebagai rahmatan lil ‘alamin.

Berkat ridha Allah swt. dan kerja keras akhirnya penelitian ini dapat terselesaikan dengan baik. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para pembaca dalam memperluas wawasan keilmuan khususnya dalam bidang manajemen yang salah satu fungsinya adalah perencanaan.

Dalam menyelesaikan penelitian ini penulis sangat berterima kasih kepada semua pihak yang tidak henti-hentinya memberikan bantuan baik moril maupun materil hingga akhirnya penelitian ini tersusun sebagaimana adanya di tangan pembaca. Berkat dorongan yang telah diberikan, peneliti merasa tertantang untuk tidak mudah menyerah terhadap tugas apapun yang akan dikerjakan. Terngiang dalam ingatan satu peribahasa: “Don’t wait tomorrow be do today” (Jangan tunggu esok, apa yang bisa anda kerjakan hari ini). Pepatah Arab juga menjelaskan: “al-waqtu ka as-saif” (Waktu itu ibarat pedang), bahwa waktu tidak akan pernah berulang; ia diumpamakan pedang, jika tidak dipergunakan, maka akan menggorok leher kita. Semoga pepatah ini menjadikan penulis untuk lebih kreatif dan dapat mengelola waktu secara baik.
Akhirnya, penulis menyadari bahwa hasil penelitian ini masih sangat jauh dari sempurna, karena itu kritik dan saran yang konstruktif untuk perbaikan ke depan sangat diharapkan.


Medan, Maret 2007
Peneliti,


Hasnun Jauhari Ritonga


DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN …………………………… 1
A. Latar Belakang Masalah …………………… 1
B. Rumusan Masalah …………………………… 4
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian …………… 4
D. Batasan Istilah …………………………… 5
E. Metode Penelitian …………………………… 6
F. Sistematika Pembahasan …………………… 7
BAB II PROFIL IKHWANUL MUSLIMIN …… 9
A. Latar Belakang Kelahiran Ikhwanul Muslimin …... 9
B. Perkembangan Ikhwanul Muslimin …………… 13
C. Aktivitas Dakwah Ikhwanul Muslimin …………… 17
BAB III DAKWAH IKHWANUL MUSLIMIN …… 25
A. Pengertian Dakwah Bagi Ikhwanul Muslimin …… 25
B. Tujuan Dakwah Ikhwanul Muslimin …………… 26
C. Faktor Keberhasilan Dakwah Ikhwanul Muslimin…28
BAB IV PRINSIP DAN PERENCANAAN
DAKWAH IKHWANUL MUSLIMIN …… 31
A. Prinsip Dakwah Ikhwanul Muslimin …………… 31
B. Perencanaan Dakwah Ikhwanul Muslimin …… 34
C. Pelaksanaan Dakwah Ikhwanul Muslimin …… 42
D. Hasil-Hasil Pencapaian Dakwah Ikhwanul Muslimin 52
BAB V PENUTUP …………………………………… 60
A. Kesimpulan …………………………………… 60
B. Saran-Saran …………………………………… 61
DAFTAR PUSTAKA …………………………………… 63
DAFTAR RIWAYAT HIDUP …………………… 65


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Persoalan dakwah dewasa ini dihadapkan kepada arus informasi yang semakin mengglobal. Manusia yang mem-butuhkan informasi memang memiliki kebebasan untuk memilih informasi yang menurut anggapan dirinya relevan untuk diikuti, tetapi di lain pihak terkadang manusia tidak bisa melepaskan dirinya dari ketergantungan terhadap lingkungan sosialnya. Sementara itu perubahan sosial sebagai akibat dari perkembangan teknologi dan sains juga menawarkan normanya sendiri yang bisa saja bertentangan dengan nilai atau norma ideal dan fitrah yang ada pada setiap individu manusia itu sendiri.
Dengan demikian, problematika dakwah sudah demi-kian kompleks. Ini menunjukkan bahwa tugas dakwah yang merupakan tugas mulia dan suci itu tidak boleh dianggap sepele. Berdakwah tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, untuk itu profesionalisme da’i sangat dibutuhkan. Jika tidak, keberhasilan dakwah tidak akan dapat terwujud secara baik sesuai dengan yang diharapkan.
Dalam menghadapi masalah-masalah dakwah yang sedemikian berat dan terus mengalami peningkatan itu, maka pelaksanaan dakwah harus selalu berorientasi pada peningkatan kualitas dan kuantitas. Peningkatan kualitas berarti berusaha mencapai hasil yang maksimal secara tepat dan benar, sehingga pesan dakwah dapat diterima dengan baik pula. Adapun peningkatan kuantitas dimaksudkan untuk mengupayakan pelaksanaan dakwah pada semua aspek kehidupan. Maksudnya, berdakwah tidak hanya dipahami dengan berpidato atau berceramah saja. Paling tidak, selain secara lisan, juga harus terus diupayakan dengan tulisan dan keteladanan. Untuk itulah, tugas dakwah tidak masanya lagi dikerjakan oleh orang per-orang atau secara sendiri-sendiri, tetapi harus dikerjakan secara berjamaah. Para pelaksana dakwah harus saling bekerjasama dalam kesatuan-kesatuan yang teratur rapi, dengan terlebih dahulu dipersiapkan dan direncanakan semaksimal mungkin serta mempergunakan sistem kerja yang efektif dan efisien (Shaleh, 1993: 3).
Pelaksanaan dakwah lebih luas dari sekedar praktek ekonomi atau bisnis, karena itu dibutuhkan perencanaan yang matang sebelum melaksanakannya. Perencanaan juga menjadi lebih penting karena dakwah itu merupakan suatu proses. Sebagai suatu proses tentu harus dilaksanakan secara ber-kesinambungan, tidak boleh berhenti pada satu titik. Jika berhenti pada satu titik akibatnya pencapaian tujuan akan terkendala. Sebagai suatu proses, dakwah juga harus dilaksanakan secara bertahap. Drs. Abd. Rosyad Shaleh mengemukakan :
Sebagai suatu proses, usaha atau aktiva dakwah tidaklah mungkin dilaksanakan secara sambil lalu dan seingatnya saja. Melainkan harus dipersiapkan secara matang, dengan memperhitungkan segala segi dan factor yang mempunyai pengaruh bagi pelaksanaan dakwah. Demikian pula …… tidak mungkin dapat diharapkan mencapai apa yang menjadi tujuannya dengan hanya melakukan sekali perbuatan, …..(1993: 10).
Ikhwanul Muslimin (selanjutnya terkadang disebut “Ikhwan” saja) sebagai suatu organisasi atau gerakan Islam aktif mendakwahkan ajaran Islam berdasarkan Alquran dan Sunnah secara ketat dalam kehidupan umat juga melihat perencanaan sebagai sesuatu yang sangat diperlukan dalam pelaksanaan dakwah (Tim Penulis IAIN Syahid, 1992: 411). Dr. Yusuf al-Qaradhawi (1999: 17) mengemukakan: “Dakwah yang baik atau yang sukses atau dakwah yang sempurna harus mempunyai unsur-unsur atau pilar-pilar yang diperlukan, agar misi dakwah dapat dicapai baik yang bersifat membangkitkan dan mencerahkan, atau pembangunan dan pengembangan, atau penyatuan dan kesatuan”.
Perpaduan dan pengelolaan unsur-unsur atau pilar-pilar dakwah yang dimiliki oleh Ikhwan dijadikan sebagai pondasi awal atau fundamen dalam setiap gerakannya. Oleh karena itu tidak heran jika gerakan ini cukup disegani oleh—baik—kawan maupun lawan. Perkembangannya juga sangat pesat. Semula hanya beranggotakan hanya penduduk pedesaan yang tergolong rakyat biasa atau jelata, kemudian meluas ke golongan menengah seperti pedagang, guru, dokter, pengacara, hakim, pegawai negara, anggota angkatan bersenjata dan mahasiswa (Sadzali, 1991 : 145).
Begitu pesatnya perkembangan organisasi Ikhwan ditambah pula keprihatinan yang mendalam terhadap nasib para buruh di kawasan Terusan Suez (sebagai wilayah kelahirannya), maka jika semula gerakan ini ditujukan kepada lapisan bawah, akhirnya berubah haluan menjadi gerakan politik, jadilah Ikhwan organisasi keagamaan yang bergerak di bidang politik. Proyek mega yang diinginkan adalah ‘Mendirikan Negara Islam’ yang tidak terikat dengan sekat-sekat geografis, akan tetapi menyeluruh yang disebut sebagai “Supra Nasional” (Sadzali, 1991: 152). Uniknya, mereka tidak menentang pemerintahan atau kekuasaan yang ada, karena bagi mereka adalah suatu keberuntungan besar masih memiliki pemimpin seorang muslim. Namun demikian, mereapun harus tetap selalu mengajukan nasehat-nasehat kepada para pemimpin termasuk pemerintah yang berkuasa jika terdapat penyimpangan (Khaliq, 1996 : 194).
Agaknya sulit diterima akan mendapatkan sambutan yang positif, jika hanya berupa ide di atas kertas, akan tetapi haruslah mempunyai persiapan yang matang. Apalagi menyangkut tujuan jangka panjang merealisasikan ‘Negara Islam’. Keseriusan untuk mewujudkan proyek-proyek yang mereka canangkan tidak terlepas dari keatuan-kesatuan prinsip yang ditanamkan oleh pemimpinnya—terutama pencetus dan pendiri gerakan ini—Hasan al-Banna. Kesemuanya telah dipersiapkan atau direncanakan sedemikian rupa dan yang lebih penting sudah pula ditanamkan ke dalam relung hati para anggota Ikhwan.
Bukan saja Hasan al-Banna melalui Ikhwannya yang merencanakan terlebih dahulu kegiatan dakwahnya, Syaikhul Islam Ibn Taimiyah juga melakukan pertimbangan untung rugi yang mungkin terjadi sebagai ekses dari suatu kegiatan dakwah. Dengan pertimbangan itu akan terlihat akibat yang mungkin muncul, apakah lebih besar maslahatnya ataukah mafsadatnya. Demikian juga akan lebih memungkinkan untuk menetapkan langkah-langkah pelaksanaannya, menyangkut skala prioritas maupun alternatif (Hamid, 1996 : 178).
Beranjak dari persoalan keberadaan perencanaan dalam proses pelaksanaan dakwah dengan mengambil praktek yang dikembangkan Ikhwanul Muslimin, penulis memilih judul penelitian ini dengan ‘PERENCANAAN DAKWAH IKHWANUL MUSLIMIN’

B. Rumusan Masalah
Permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
1. Apa saja prinsip yang mendasari kegiatan dakwah Ikhwanul Muslimin?
2. Bagaimana sistem perencanaan dakwah yang dijalankan Ikhwanul Muslimin?
3. Apakah kegiatan pelaksanaan dakwah yang dilaksanakan Ikhwanul Muslimin sesuai dengan perencanaan yang telah ditetapkan?
4. Apa saja hasil yang dicapai dalam kegaiatan dakwah Ikhwanul Muslimin?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui:
1. Prinsip dakwah Ikhwanul Muslimin.
2. Perencanaan dakwah Ikhwanul Muslimin.
3. Kesesuaian pelaksanaan dakwah Ikhwanul Muslimin dengan perencanaan yang telah ditetapkan.
4. Hasil-hasil yang dicapai dalam kegiatan dakwah yang dilaksanakan oleh Ikhwanul Muslimin.
Sementara itu, kegunaan penelitian ini adalah:
1. Untuk dijadikan sebagai in put (masukan) bagi masyarakat pada umumnya dan organisasi-organisasi pelaksana dakwah khususnya.
2. Untuk dijadikan sebagai bahan komparasi (perbandingan) bagi para peneliti yang memiliki antusiasme terhadap manajemen terutama fungsi perencanaan.

D. Batasan Istilah
Untuk tidak mengganggu pemahaman dan interpretasi serta memudahkan penulisan penelitian ini diperlukan pembatasan istilah.
1. Perencanaan
Secara bahasa perencanaan diartikan sebagai “proses, perbuatan, cara merencanakan atau merancang, sedangkan secara istilah para ahli mendefenisikan perencanaan dengan redaksi yang berbeda-beda. Prof. Dr. Mr. S. Prajudi Atmosudirdjo (1987: 117) mengemukakan bahwa perencanaan atau planning adalah perhitungan dan penentuan dari pada apa yang akan dijalankan di dalam rangka mencapai suatu prapta (objektif) tertentu, di mana, bilamana, oleh siapa, dan bagaimana tata caranya.
2. Dakwah
Kata dakwah isim mashdar dari: “ ﺓﻭﻋﺩ -ﻭﻋﺪﻴ - ﻉﺩ “, dalam Kamus Munawwir (1984: 439) diartikan dengan “do’a, seruan, panggilan, ajakan, undangan, dan permintaan. Dakwah di sini ditujukan kepada “ ﷲﺍ ﻰﻠﺍ ﺓﻭﻋﺩﻠﺍ ” atau “ ﻢﻼﺴﻹﺍ ﻰﻠﺍ ﺓﻭﻋﺩﻠﺍ ”. Adapun yang dikehendaki dari kegiatan dakwah, sebagaimana disebutkan Asmuni Syukir (tt : 20), adalah untuk ‘pembinaan’ dan ‘pengembangan’. Pembinaan berarti usaha mem-pertahankan, melestarikan dan menyempurnakan umat manusia agar mereka tetap beriman kepada Allah, dengan menjalankan syari’at-Nya sehingga mereka menjadi manusia yang hidup bahagia di dunia maupun akhirat. Sementara yang diharapkan dari pengembangan adalah usaha mengajak umat manusia yang belum beriman kepada Allah swt. agar mentaati syari’at Islam (memeluk agama Islam) supaya nantinya dapat hidup bahagia dan sejahtera di dunia maupun akhirat. Dengan kata lain, pembinaan berarti aktivitas dakwah yang ditujukan ke dalam (internal) umat Islam, sedangkan pengembangan berarti ke luar (eksternal) umat Islam.
3. Ikhwanul Muslimin
Ikhwanul Muslimin yang biasa disebut “Ikhwan” atau “Gerakan Islam” saja adalah suatu organisasi pergerakan yang didirikan oleh Hasan al-Banna pada bulan Maret 1928 M bertepatan dengan bulan Dzulqa’dah 1347 H di kota Ismailiyah, Mesir dengan nama “Jam’iyat al-Ikhwan al-Muslimin” (Tim Penulis IAIN Syahid, 1992: 411).
Jadi, maksud “Perencanaan Dakwah Ikhwanul Muslimin” adalah meneliti sejauhmana perencanaan berperan dalam aktivitas dakwah yang dilaksanakan Ikhwanul Muslimin.

E. Metode Penelitian
1. Penelitian ini menggunakan metode Library Research (Penelitian Kepustakaan), di mana sumber data dikumpulkan berdasarkan bacaan dari sumber-sumber tertulis, seperti buku, majalah, surat kabar, dan sebagainya.
2. Sumber-sumber pengumpulan data dari hasil bacaan berbagai literatur terdiri dari sumber data primer dan sekunder. Maksud sumber data primer adalah literatur yang merujuk langsung kepada buku yang dikarang oleh penggagas dan pendiri Ikhwan yaitu Hasan al-Banna. Buku dimaksud adalah Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Anis Matta, Lc., dkk., dan diterbitkan oleh Penerbit Era Intermedia pada tahun 1999 di kota Solo. Sedangkan sumber data sekunder adalah segala literatur yang oleh peneliti dijadikan sebagai bahan bacaan dan keberadaannya mendukung pembahasan dalam penelitian ini. Di antara buku-buku tersebut adalah:
a. 70 Tahun al-Ikhwan al-Muslimun: Kilas Balik Dakwah, Tarbiyah, dan Jihad ditulis oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi, diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh H. Mustolah Maufur, MA & Abdurrahman Husain, MA yang diterbitkan di Jakarta dengan Penerbit Pustaka Al-Kautsar pada tahun 1999.
b. Lima Dasar Gerakan al-Ikhwan ditulis oleh Prof. Dr. Muhammad Ali Garishah, diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh H. Salim Basyarahil yang diterbitkan di Jakarta dengan Penerbit Gema Insani Press pada tahun 1994.
c. Manajemen Dakwah ditulis Drs. Abd. Rosyad Shaleh diterbitkan di Jakarta dengan Penerbit Bulan Bintang pada tahun 1993.
3. Setelah data terkumpul, maka disajikan dalam bentuk tulisan menjadi suatu informasi. Kemudian peneliti akan menganalisanya dengan menyimpulkannya secara deduktif, yakni melihat kasus yang sifatnya khusus dengan penyimpulan yang bersifat umum, kemudian akan disajikan ke dalam pembahasan secara umum dan deskriptif. Dengan kata lain, setelah ditarik kesimpulan dari khusus ke umum, hasilnya disajikan dalam bentuk pola pikir dengan tinjauan dari berbagai aspek.
4. Langkah-langkah yang akan ditempuh dalam penelitian adalah mengumpulkan bahan-bahan bacaan. Setelah terkumpul, penulis membacanya dengan seksama untuk kemudian mengambil kesimpulan dan seterusnya menuangkannya dalam bentuk tulisan.

F. Sistematika Pembahasan
Untuk memberikan gambaran secara umum dan mempermudah penulisan, penelitian ini disusun secara sistematis dengan membaginya ke dalam lima bab dan setiap bab diklasifikasikan pula ke dalam sub bab yang lebih kecil.
Bab pertama pendahuluan yang berisikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, batasan istilah, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab kedua profil Ikhwanul Muslimin yang terdiri dari kelahiran Ikhwanul Muslimin, perkembangan Ikhwanul Muslimin, dan aktivitas dakwah Ikhwanul Muslimin.
Bab ketiga membahas tentang dakwah Ikhwanul Muslimin dengan sub bahasan terdiri dari pengertian dakwah, tujuan dakwah Ikhwanul Muslimin, dan faktor keberhasilan dakwah Ikhwanul Muslimin.
Bab keempat merupakan inti dari penelitian ini dengan topik prinsip dan perencanaan dakwah Ikhwanul Muslimin. Pembahasan ini memuat sub bab-sub bab prinsip, perencanaan, pelaksanaan, dan hasil-hasil dakwah Ilkhwanul Muslimin.
Bab kelima merupakan pembahasa penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran.


BAB II
PROFIL IKHWANUL MUSLIMIN

A. Latar Belakang Kelahiran Ikhwanul Muslimin
Al-Ikhwan al-Muslimun, apabila disalin secara harfiah ke dalam Bahasa Indonesia berarti “saudara-saudara sesama Muslim” (Sadzali, 1991: 145) adalah suatu gerakan Islam yang aktif mempromosikan dan menerapkan ajaran agama berdasarkan Alquran dan Sunnah dalam kehidupan umat (tim Penulis IAIN Syahid, 1992: 411). Organisasi ini didirikan pada bulan Dzulqa’dah tahun 1347 H atau bertepatan dengan Maret 1928 M dengan anggota 6 (enam) orang (Hamid, 1996: 19). Kemungkinan besar keenam anggotanya itu adalah teman-temannya sendiri. Al-Banna pernah mengemukakan: “Tidak berlebihan kiranya, jika dalam kerja besar ini saya harus menyebut nama alm. Ahmad Basya Taimur—semoga Allah melapangkan dalam surga-Nya—saya tidak melihatnya, kecuali dia adalah sosok yang melambangkan cita-cita yang tinggi dan ghirah (semangat) yang selalu menyala” (al-Banna, 1999: 220).
Selanjutnya al-Banna juga menyebutkan nama-nama temannya yang berperan, seperti dalam komentarnya:
Saya juga mengarahkan konsentrasi kepada rekan-rekan dan sudara-saudaraku seiman, yang akau dipersatukan dengan mereka oleh kesamaan keinginan, kejujuran, dan kasih saying. Pada diri mereka saya dapati kesiapan yang baik. Orang yang memperhatikan menyambut ajakan saya untuk bersama-sama mengemban amanah ini dan yang paling memahami akan wajibnya beramal di atas jalan ini adalah saudara-saudara saya yang mulia, Al-Ustadz Ahmad Afani Asy-Syukri, Al-Akh (almarhum) Syaikh Hamid Askariah, --semoga Allah menempatkannya di surga--, Al-Akh Syaikh Ahmad Abdul Hamid, dan masih banyak lagi yang lain … (1999: 220).

Dari pemaparan di atas dipahami bahwa pendiri Ikhwan ada enam orang yaitu Hasan al-Banna, Ahmad Basya Taimur, Al-Ustadz Ahmad Afani Asy-Syukri, Al-Akh (almarhum) Syaikh Hamid Askariah, Al-Akh Syaikh Ahmad Abdul Hamid, dan satu lagi peneliti tidak mendapatkan informasinya dari literatur-literatur yang ditelusuri.
Para pendiri Ikhwan, selain mengagendakan pendirian negara Islam dengan pembentukan Daulah Islamiyah, juga menjalankan agenda-agenda lainnya, di antaranya:

1. Bidang Keagamaan
Para pendiri Ikhwan memperhatikan keadaan masyarakat ketika itu sudah banyak yang menyimpang dari ajaran Islam. Hal ini terutama disebabkan karena pengaruh budaya barat atau Eropa yang menjajah wilayah-wilayah Islam, termasuk Mesir sebagai tempat kelahiran Ikhwan. Kaum wanita dari kalangan atas sudah meninggalkan penutup kepala (cadar sebagai bagian dari budaya yang diparktekkan di wilayah Islam itu), tetapi sudah meniru pakaian Eropa dan secara bebas saja mengunjungi perkumpulan-perkumpulan sosial tanpa ada hijab antara pria dan wanita (Jamilah, 1993: 135). Mesjid-mesjid juga semakin sunyi dari pengunjung. Kriminalitas meningkat drastic, bahkan penjara lebih banyak mengalumnikan napi ketimbang sekolah-sekolah meluluskan pelajarnya (al-Banna, 1992: 208). Ini semua diyakini sebagai pengaruh westernisasi dari berbagai segi; pemikiran, budaya dan sosial (al-Qaradhawi, 1999: 21).
Penyimpangan yang berkembang itulah yang membangkitkan semangat para pendiri Ikhwan untuk bergerak dalam suatu organisasi. Al-Banna (1999: 220) mengungkapkan:
Tidak ada yang tahu kecuali Allah, berapa malam telah kami lewatkan untuk mengungkapkan kondisi umat dan berbagai fenomena yang melekat pada kehidupan mereka, mendiagnosa berbagai cela dan penyakit-penyakitnya, kemudian merancang pengobatan dan pemberantasan terhadap penyakitnya. Begitu sedihnya kami, sampai-sampai menetes air mata ini kala memikirkan mereka.

2. Bidang Politik
Sejak tahun 1882 Mesir berada di bawah pendudukan Inggris. Inggris mendirikan rezim politik yang disipakan untuk monarki konstitusional yang berparlemen, berpemilu, dan berpartai politik. Setelah itu berkembanglah perjuangan politik di kalangan istana raja dan partai politik dengan lawannya Inggris. Perjuangan ini terfokus pada dua permasalahan, yaitu memodifikasi batas-batas kemerdekaan Mesir dan keseimbangan kekuasaan antara istana dengan partai nasionalis, terutama partai yang paling berpengaruh ketika itu, Wafd, yang pemimpin terpopulernya adalah Sa’d Zaghlul. Penguasaan politik ini berpengaruh pula terhadap dominasi budaya, sehingga Mesir telah terbaratkan. Sebagian besar masyarakat Mesir telah bergaya hidup kebarat-baratan dan berpikiran sekuler layaknya orang-orang barat, sekalipun untuk itu harus mengorbankan dan mengesampingkan praktik tradisional Islam (Rahmena, 1996: 128).
Penguasaan politik dan budaya oleh barat ini membuka mata sebagian tokoh Mesir, sehingga muncullah penentangan. Dengan kata lain, sekularisme dan westernisme yang berkembang di Mesir menjadi alasan bagi Al-Banna untuk membuat gerakan penghalau. Kendati al-Banna menentang sekularisme dan westernisme, bukan berarti ia menolak modernisme (Esposito, 1996: 139). Terbukti ketika al-Banna mendirikan organisasi, ia mengelolanya secara modern. Institusi-institusi di bawah naungannya juga dikelola secara modern. Pelayanan pendidikan dan kesejahteraan sosial menggunakan teknologi modern dan komunikasi massa untuk menyebarluaskan pesan-pesan dan memobilisasi dukungan masyarakat (Esposito, 1996: 135).
Selain penentangan al-Banna karena pengaruh dari luar, ia juga menentang praktek-praktek pemerintah Mesir (dari dalam). Penguasa menggunakan aturan kerajaan secara sewenang-wenang terhadap rakyatnya, cenderung korup dan nepotis dan membuat undang-undang yang memberikan keleluasaan terhadap pihak asing. Hal ini disebabkan karena para penguasa tidak memahami dan memperhatikan ketentuan-ketentuan Allah. Mereka lebih banyak mendapatkan pendidikan dari sekolah-sekolah Eropa.
Al-Qaradhawi (1999: 27) mengemukakan:
Demikian keadaan negeri Mesir dan rakyatnya. Sebuah negeri yang mengalami keterasingan, satu bangsa yang terpuruk dalam kebodohan dan ketidakberdayaannya, di bawah pengaruh penjajah asing maupun local, terbuka maupun terselubung yang menguasai sumber-sumber alamnya. Raja mereka asing dari rakyatnya secara bahasa, pikiran maupun aspirasinya. Para pejabat pemerintahannya juga asing dari rakyatnya, dan mereka adalah kelompok minoritas yang menguasai sumber-sumber kekayaan secara illegal.
Sekalipun Ikhwan mencita-citakan berdirinya negara Islam, tetapi secara tegas ia mengatakan bahwa tujuan mereka suci demi meniti kebenaran yang telah digariskan Allah swt. Al-Banna mengutip ayat suci Alquran untuk mendukung komitmen mereka. “Katakanlah, “Inilah jalan (agama)-ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kamu kepada Allah dengan hujah yang nyata. Maha Suci Allah dan aku tidak termasuk orang yang musyrik” (QS. Yusuf, ayat 108). Al-Banna juga mengatakan: “Kami tidak mengharapkan sesuatu pun dari manusia; tidak mengharapkan harta benda atau imbalan yang lainnya tidak juga popularitas, apalagi sekedar ucapan terima kasih. Yang kami harap hanyalah pahala dari Allah, Dzat yang telah menciptakan kami” (al-Banna, 1999: 30).

3. Bidang Ekonomi
Telah dikemukakan di atas perekonomian Mesir pada masa pendudukan Inggris hanya dikuasai oleh segelintir orang saja, yakni berputar hanya pada mereka yang berada di sekitar sumbu lingkaran kekuasaan. Undang-undang yang mengatur perekonomian negara juga lebih menguntungkan pihak asing (non-pribumi) ketimbang rakyat Mesir (pribumi), sehingga 60 % penduduk Mesir hidup di bawah garis kemiskinan. Pada masa ini Mesir menghadapi kerumitan masalah ekonomi. Al-Banna (1999: 208) menggambarkan :
Di Mesir terdapat 320 buah perusahaan asing yang memonopoli segala kepentingan umum dan kebutuhan pokok rakyat di seluruh penjuuru negeri. Pusat-pusat bisnis, industri-industri hulu, dan sumber-sumber ekonomi penting semuanya berada di tangan para investor asing. Kepemilikan kekayaan dengan cepat berpindah dari penduduk pribumi kepada mereka.
Sementara itu, Mesir termasuk deretan pertama negara di dunia yang banyak menderita wabah penyakit dan hama. Lebih dari sembilan 90 % penduduk Mesir menderita kelemahan fisik, cacat inderawi, dan berbagai macam penyakit lainnya. Hingga kini, Mesir juga masih tergolong negara dengan angka buta huruf yang besar, tidak sampai 20 % penduduknya yang bisa menikmati bangku sekolah. Hal ini terbukti, lebih dari 500. 000 penduduknya hanya sampai pada tingkat pendidikan dasar, yang targetnya hanya bisa baca-tulis.
Keprihatinan al-Banna terhadap permasalahan ekonomi di Mesir ini membuka matanya untuk berupaya mengatasinya. Apalagi ketika menyaksikan nasib para buruh di Terusan Suez yang terus menerus menderita untuk mencari penghidupan yang layak. Atas dasar ini pulalah yang melatarbelakangi gerakan Ikhwan berubah menjadi suatu gerakan politik.
Itulah beberapa hal yang mendorong lahirnya gerakan Ikhwanul Muslimin pada awal perempatan kedua abad ke-20 yang silam.

B. Perkembangan Ikhwanul Muslimin
Tidak diragukan lagi, Ikhwan mendapat sambutan yang baik di Mesir sejak awal pendiriannya. Hal ini terlihat dari pesatnya perkembangan Ikhwan ke depan dengan pengikutnya yang terus bertambah.
Corak dan aktivitas gerakan Ikhwan dibagi menjadi 3 (tiga) fase, yaitu fase konsolidasi, masa puncak aktivitas, dan masa pasang surut (Tim Penulis IAIN Syahid, 1992: 411-413).
Fase pertama (tahun 1928-1936) merupakan masa konsolidasi yang bercorak keagamaan dan sosial. Masa ini difokuskan pada pembentukan jaringan, yakni dengan mendirikan cabang-cabang di berbagai wilayah. Tahap ini juga merupakan tahap menyaksikan langsung keadaan masyarakat. Bahkan hingga Perang Dunia (PD) I, gerakan ini masih merupakan gerakan politik bawah tanah dan bersifat rahasia. Empat tahun sejak berdirinya, mereka sudah memiliki cabang-cabang di seluruh Terusan Suez. Ikhwan juga mulai mendirikan mesjid-mesjid, sekolah-sekolah, pusat-pusat pengajian, dan industri-industri rumah tangga. Pada tahun 1932 Ikhwan sudah memiliki 15 cabang dan secara terus menerus aktif mencari dukungan. Pada fase ini diadakan dua kali muktamar, tahun 1933 dan 1936.
Fase kedua (tahun 1936-1952) merupakan puncak aktivitas Ikhwan secara terbuka. Perjanjian yang melibatkan Mesir dengan Inggris pada tahun 1936 mendorong al-Banna menyurakan dukungannya terhadap perjuangan penduduk Palestina. Hal itu membuat al-Banna menjadi lebih disegani di wilayah Timur Tengah, terutama Syiria. Perayaan ulang tahun Ikhwan yang kesepuluh sekaligus Muktamar III pada tahun 1939 membuat sejarah baru bagi Ikhwan di mana mereka mulai bergerak secara politik. Perjuangan politik Ikhwan terfokus pada dua hal. Pertama, memerdekakan Mesir dan negara-negara Islam lainnya dari cengkeraman kekuasaan masing-masing. Kedua, mendirikan pemerintahan Islam berdasarkan Alquran dan Sunnah yang di dalamnya berlaku hukum Islam seutuhnya. Agenda politik Ikhwan didukung sepenuhnya oleh 500 cabang bentukannya pada tahun 1940, dan 2000 cabang pada tahun 1949 (Hoeve, 1994: 1996). Pada fase ini terjadi perubahan pimpinan kekuasaan di Mesir. Di bawah raja Farouq, perdana menteri Mesir dijabat oleh An-Naqrasyi Pasha (ada yang menulis dengan ‘Nokhrasyi Pasha’) menangkap para aktivis Ikhwan termasuk al-Banna sendiri dan akhirnya membubarkan Ikhwan. Bahkan perdana menteri ini mengatur pembunuhan al-Banna, hingga akhirnya pada tanggal 12 Februari tahun 1949 al-Banna pun dibunuh oleh intelijen-intelijen Pemerintah Mesir (al-Qaradhawi, 1999 : 197). Namun pada tahun 1951 Ikhwan kembali diizinkan beroperasi dengan syarat tidak mengembangkan keagresifannya sebagaimana sebelumnya (Tim Penulis IAIN Syahid, 1992 : 412).
Fase ketiga (semenjak kudeta tahun 1952) merupakan masa pasang surut bagi Ikhwan. Mesir ketika itu dipimpin oleh Jamal Abdul Nasir (sebagian pengarang menuliskan « Gemal Abdel Nasser »), Ikhwan juga—pasca terbunuhnya al-Banna—dipimpin oleh Hasan al-Hudaibi (wafat tahun 1973) (Hoeve, 1994 : 196). Kepada pemimpin yang baru, Ikhwan mengharap ada programnya yang dijadikan program nasional, tetapi ternyata tidak terwujud, sehingga Ikhwan mengkritik keras kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Mesir (Tim Penulis IAIN Syahid, 1992 : 413). Pemerintah Mesir merasa kegerahan, hingga pada tanggal 13 Januari 1954, dipicu oleh bentrok antara mahasiswa Ikhwan di Universitas Al-Azhar dengan pendukung pemerintah, akhirnya Ikhwan dibekukan kembali. Para aktivis Ikhwan kembali menjadi ‘bulan-bulanan’ Pemerintah Mesir ; banyak yang ditangkap dan kemudian dipenjarakan termasuk di dalamnya Yusuf al-Qaradhawi (al-Qaradhawi, 1999 : 199). Merasa dikejar-kejar Pemerintahan Mesir, aktivis Ikhwan melancarkan protes dan puncaknya oknum Ikhwan melakukan percobaan pembunuhan terhadap Nasir, tetapi mengalami kegagalan. Pemerintah semakin gencar melakukan intimidasi terhadap Ikhwan hingga akhirnya al-Hudaibi yang memimpin Ikhwan ketika itu ditangkap dan dhukum mati. Gerakan Ikhwan—sekalipun hanya merupakan gerakan “bawah tanah”—terus melakukan perlawanan. Pada tahun 1965 Pemerintahan Nasir kembali melakukan penindasan secara sadis terhadap anggota Ikhwan, bahkan pada masa ini kaum wanita juga tidak luput dari sasaran (al-Qaradhawi, 1999: 200). Barulah pada tahun 1970 hingga 1991 Ikhwan kembali bisa bernapas lega dan menyusun kembali organisasinya yang sudah porak-poranda. Pada dekade ini Ikhwan dipimpin oleh Tilmassani mencoba secara sukarela memformulasikan kebijaksanaan reformis moderat di bawah pemerintahan Anwar Sadat dan penerusnya Hosni Mubarok. Ikhwan menjaga diri untuk tidak bersikap konprontatif. Ternyata sikap Ikhwan ini membawa mereka lebih maju yang akhirnya pada tahun 1980-an gerakan ini menjadi kekuatan terbesar dan terkuat di Mesir. Bahkan pada tahun 1990-an Ikhwan terus mampu menjadi yang terdepan dalam menyuarakan perubahan sosial-politik yang efektif (Esposito, 1996: 154).
Kendati Ikhwan dikenal luas di dunia Islam, popularitasnya bukan karena idenya ingin mengembalikan kekuasan Islam ke dalam satu “khilafah” sebagai tujuan utama gerakannya, tetapi lebih kepada gerakannya yang progresif dan bahkan tidak terlepas dari tindakan-tindakan anarki untuk mencapai tujuan-tujuan lainnya, terutama pada kurun 1945-1965 (Esposito, 1996: 146).
Beberapa tokoh yang namanya mendunia yang muncul dan turut serta memajukan Ikhwan di antaranya Yusuf al-Qaradhawi, Sayyid Quthb, Muhammad Quthb, Manna’ Qaththan, dan Said Ramadhan. Bahkan yang tersebut terakhir—menantu al-Banna—telah mendirikan Pusat Kajian Islam di Jenewa, Swiss.
Pada kurun waktu permulaan hingga era 60-an, Ikhwan cukup banyak menghadapi cobaan, sehingga pasang surut gerakan ini menjadi gelombang yang layak ditulis dalam sejarah. Di negeri sendiri mereka dikejar-kejar hingga mereka banyak yang melakukan hijrah dan menyebar di berbagai penjuru Timur Tengah seperti Syiria, Yordania, Libanon dan Sudan (Jamilah, 1993: 148). Sebagian lagi lari ke Eropa Barat dan Timur, Amerika Utara dan Selatan, Australia, Jepang dan negeri Timur Jauh lainnya (al-Qaradhawi, 1999: 34). Maryam Jamilah (1993:149) mengutip pendapat Chaudri Chulam Muhammad mengemukakan:
Adalah keliru konsepsi yang menyatakan bahwa ideologi al-Ikhwan al-Muslimun telah mati. Penulis artikel ini telah pergi ke Mesir dan Suria dan melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana dampak dari pergerakan tersebut sekarang. Tidak hadirnya organisasi tersebut di atas pentas untuk sementara waktu hanyalah karena situasi yang dibuat-buat, bukan berarti ia sudah mengendur. Pergerakan-pergerakan yang bersifat ideologi tak akan semudah itu mati. Pesan yang disampaikannya masih terus menyebar. Dalam bidang-bidang intelektual, sosial, dan kebudayaan, malah sekarang ideologi pergerakan tersebut mengalami kemajuan dan menaklukkan daerah-daerah baru. Dan manakala tembok-tembok pembatas yang dicanangkan tirani telah tiada, insya Allah ia akan muncul kembali ke permukaan dengan lebih kuat perkasa. Inilah keadaan sebenarnya dari Ikhwan. Akan tetapi bagaimana halnya dengan partai-partai sekuler di Mesir? Misalnya, di mana partai Wafd berada sekarang? Cobalah para pemikir di negeri ini sekali-kali pergi ke Mesir dan carilah sendiri jawabannya, ketika malapetaka menimpa mereka di bawah kekuasaan suatu rezim yang berwenang, siapakah yang berhasil membuktikan dirinya lebih kekal?

Firman Allah swt. menjelaskan:
Artinya: “Janganlah engkau kira mati, orang-orang yang telah terbunuh pada jalan Allah, bahkan mereka itu hidup di sisi Allah, Tuhannya, serta diberi rezeki” (Q.S. Ali ‘Imran, 4: 169).

C. Aktivitas Dakwah Ikhwanul Muslimin
Ikhwan yakni ajaran Islam sungguh sempurna, universal dan konperehensif. Ajaran Islam tidak terbatas pada ritualitas ibadah semata melainkan mencakupi segala aspek kehidupan manusia (al-Banna, 1999: 36), karena itu Ikhwan mendasarkan diri pada gerakan dakwah yang lebih luas dari sekedar berceramah, berpidato, atau berkhutbah.

1. Bidang Pemikiran (Fikrah).
Bagi Ikhwan fikrah yang benar hanyalah satu, yaitu fikrah yang menyelamatkan dunia dari penindasan, membimbing manusia yang bimbang dan menunjukkannya ke jalan yang lurus. Fikrah itu adalah Islam yang hanif, tiada cacat di dalamnya, tiada setitik noda menyelimutinya, dan tidak akan sesat bagi yang mengikutinya (al-Banna, 1999: 129).
Inti dakwah Ikhwan adalah fikrah dan akidah yang ditanamkan dalam jiwa-jiwa manusia, sehingga opini umum di masyarakat terwarnai oleh fikrah dan akidah tersebut. Fikrah dan akidah juga harus diyakini oleh hati manusia, agar jiwa-jiwa mereka bersatu di bawah naungan-Nya (al-Banna, 1999: 182). Dari penjelasan ini, Ikhwan sebenarnya mencoba menanamkan ke dalam jiwa masyarakat fikrah dan akidah yang bersatu padu. Ikhwan menghendaki hubungan yang sinergi antara kewajiban-kewajiban individu, seperti shalat dan puasa, dengan kewajiban-kewajiban sosial. Dengan pemahaman ini berarti da formula kebijakan yang seimbang dan sempurna (al-Banna, 1999: 70). Inilah yang biasa disebutkan sebagai penekanan terhadap relevansi Islam dengan aspek-aspek sosial duniawi (Rahmena, 1996: 136). Pemikiran ini ditanamkan melalui pendekatan ruhani, sentuhan batiniah dan kekuatan hati. Fikrah Ikhwan tidak mengesampingkan persoalan ekonomi, karena kebangkitan suatu umat dipengaruhi oleh perekonomian yang mapan. Al-Banna mengemukakan bawah persoalan ekonomi adalah persoalan yang paling penting di masa kini. “Sistem ekonomi yang baik—apapun namanya dan darimanapun sumbernya—akan dapat diterima oleh Islam. Umatpun akan didorong untuk mendukungnya, meskipun kitab fikih sendiri telah sarat dengan hukum-hukum ekonomi berikut rincian penjelasnnya, sehingga tidak perlu lagi tambahan dari konsep ekonomi yang lain” (al-Banna, 1999: 109).
Fikrah Ikhwan juga menyentuh aspek sosial kebudayaan dan ilmiah. Hal ini terlihat dari jaminan Islam terhadap moralitas publik dengan dilarangnya prostitusi, alcohol dan perjudian. Ikhwan juga meninjau kembali kurikulum pendidikan dan menetapkan kurikulum agama sebagai materi pokok di setiap sekolah dan perguruan tingginya (al-Banna, 1999: 119-121). Dijelaskan bahwa fikrah Ikhwan di bidang ini mengacu kepada fikrah Islam yang konkret yang menekankan adanya jaminan terhadap moralitas publik (Rahmena, 1996: 142).
Ikhwan juga menanggapi rentannya umat Islam terhadap perbedaan pendapat (khilafiyah) dalam masalah furu’ atau cabang (fikih). Bagi Ikhwan perbedaan pendapat dalam bidang ini adalah suatu kemestian, tidak harus dihindari, karena pondasi Islam terdiri dari Alquran dan hadis-hadis Rasulullah serta amal terkadang dipahami beragam oleh banyak pikiran. Perbedaan pendapat bukanlah aib atau cela, namun yang merupakan cela atau aib tidak lain apabila terdapat di dalamnya sifat ta’assub (fanatik) terhadap suatu pendapat (al-Banna, 1999: 230). Jika demikian halnya berarti kita harus berlapang dada bahwa kini masih terjadi dan akan terjadi terus hingga hari akhirat nanti (Hamid, 1996: 76).
Itulah beberapa point pemikiran Ikhwan yang mereka kembangkan dalam perjuangan mereka. Pemikiran itupun belum mencakup sebahagian kecil dari pemikiran-pemikiran yang mereka (al-Banna) kembangkan. Sekian banyak pemikiran yang mereka kembangkan tentang berbagai segi kehidupan baik dalam bidang agama, politik, maupun ekonomi.

2. Pembinaan Mental (Keagamaan).
Bagi Ikhwan hanya ada dua pilihan: “kegelapan atau cahaya”, “setan atau Tuhan”, “kejahilan (baca: bukan Islam) atau Islam”. Inti ajaran Ikhwan dalam pembinaan mental adalah emmberikan keyakinan bahwa Islam merupakan hidayah Ilahi yang menjadi alternatif satu-satunya, bukan memilih kapitalisme barat ataupun Marxisme (Esposito, 1996: 136). Pembinaan mental harus dimulai dengan membangkitkan amal yang melibatkan pribadi, keluarga dan masyarakat (al-Banna, 1999: 175).
Berkenaan dengan hal di atas, maka pokok pikirannya adalah sebagai berikut:
Ajaran Islam harus dimulai diri sendiri sehingga menjadi figur ideal sebagaimana yang dikehendaki Islam itu sendiri. Jika individu telah mantap akan berpengaruh bagi perbaikan keluarga, karena keluarga menrupakan kumpulan individu, dan apabila sudah terbangun keluarga yang saleh, umat pun akan menjadi saleh, karena umat merupakan kumpulan keluarga (al-Banna, 1999: 175-177).

Tujuan pembinaan mental yang diterapkan Ikhwan dalam gerakan-gerakannya itu adalah untuk mengarahkan umat Islam kepada tatanan hidup dalam bernegara yang berlandaskan kepada konsepsi Islam sejati, sebagaimana yang dipahami Ikhwan sendiri. Al-Banna (1999: 177) menjelaskan pula:
Jika keyakinan terhadap apa yang kami paparkan mulai menguat dan menuju pencapaian hasil yang telah kami gariskan—sehingga system Islam yang terkait dengan individu, keluarga, dan masyarakat terlaksana--, maka risalah pun akan sampai ke setiap telinga dan hati manusia. Hal itu berarti fikrah kami telah diterima masyarakat, dan dakwah kami mendapat sambutan dari umat. Allah tidak menghendaki, kecuali akan menyempurnakan cahaya-Nya.

Terlihat bahwa dengan pembinaan mental keagamaan tersebut, Ikhwan ingin mengarahkan setiap individu Muslim dan masyarakat Muslim kepada cahaya Islam bukan kegelapan, bukan pula ke arah setan, dan bukan pula berkiblat ke barat. Pembinaan mental ini diarahkan juga kepada rasa kebersamaan sesama Muslim tidak hanya dibatasi oleh nasionalisme yang sempit, atau karena kondisi geografis yang berbeda, demikian juga tidak membedakan sesama karena status sosial tertentu. Ikhwan menghendaki terbangunnya nasionalisme yang sesungguhnya, yakni berdasarkan ikatan akidah, bukan ikatan territorial (wilayah) negara dan batas-batas geografis (al-Banna, 1999: 40).
Bidang lain sebagai sasaran pembinaan mental adalah mengobarkan semangat perjuangan (jihad). Ikhwan yakin dengan tumbuhnya semangat jihad dalam diri setiap muslim akan mampu menembus jantung pertahanan musuh dan mampu mengalahkan kekuatan “raksasa”, kendati memiliki senjata paling mutakhir sekalipun (al-Banna, 1999: 149). Komentar al-Banna (1999: 149-150) sebagai berikut:
Orang-orang yang mendengar uraian ini akan berkata bahwa itu adalah hayalan dan impian belaka.
Bagaimana mungkin orang-orang yang tidak memiliki kekuatan apapun kecuali iman dan semangat jihad dapat mengalahkan kekuatan raksasa yang memiliki senjata beraneka ragam?
Bagaimana mungkin mereka dapat menembus jantung pertahanan musuhnya padahal ia berada di antara dua taring harimau?
Banyak orang mengatakan ungkapan serupa ini …….. Sesungguhnya para pendahulu kami, yang telah membebaskan berbagai wilayah bumi dan telah Allah swt kokohkan kedudukannya, tidaklah besar bilangan personilnya dan tidak pula melimpah bekal persiapannya, namun mereka beriman dan sungguh-sungguh dan berjihad.

Al-Qaradhawi (1999: 190) mengemukakan, pembinaan semangat jihad tidak berhenti pada jihad internal melawan nafsu dan setan, tetapi juga berani memberikan perlawanan terhadap penjajah di luar dan kezaliman penguasa lokal. Kezaliman merupakan kemungkaran yang harus dicegah.
Nabis saw. bersabda:
Artinya: “Barang siapa di antara kamu melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubah (mencegah)-nya dengan tangan (kekuasaan)-nya; apabila ia tidak sanggup, hendaklah (dicegah) dengan lidah (nasehat)-nya; apabila tidak sanggup pula hendaklah (ada pemberontakan dalam) hatinya, itulah selemah-lemah iman”.

3. Aktivitas Konkret (Bersifat Fisik).
Aktivitas dakwah Ikhwan secara konkret atau fisik dapat dilihat dalam bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan pusat-pusat peribadatan (mesjid).
a. Bidang ekonomi
Dalam bidang ekonomi, Ikhwan mendirikan suatu perkumpulan yang bertugas meningkatkan taraf hidup masyarakat pedesaan dan pembinaan wilayah pedesaan di Mesir. Ada yang memberikan makanan kepada para fakir miskin dan menyantuni anak yatim, mereka juga menyediakan kesempatan kerja sesuai dengan usia mereka serta membantu yang lemah dan cacat. Tujuan yang paling khusus dalam bidang ekonomi ini adalah mengangkat derajat kehidupan masyarakat Mesir yang lebih dari 60 % hidupnya di bawah garis kemiskinan di bawah penghidupan yang layak (al-Qaradhawi, 1999: 86).
b. Bidang pendidikan
Selain mereka membangun sekolah-sekolah, mereka juga menggagas agar di sekolah-sekolah umum diberikan porsi yang cukup pelajaran agamanya. Adapu data yang konkret tentang jumlah dan tempat sekolah yang mereka bangun, penulis tidak memperolehnya. Sedangkan jenjang pendidikan di sekolah-sekolah Ikhwan mulai dari taman kanak-kanak sampai jenjang berikutnya. Pada tahun-tahun selanjutnya, Ikhwan juga mendirikan sekolah-sekolah untuk jenjang sekolah dasar, mengengah dan teknik, di samping ada sekolah khusus wanita. Untuk para pekerja dan petani, Ikhwan membuka kursus mahaiswa untuk membantu mereka lulus ujian (Rahmena, 1999: 150). Demikianlah Ikhwan sudah berusaha meningkatkan taraf pendidikan masyarakat Mesir.
Ketika itu penduduk Mesir yang terpelajar tidak lebih dari 20 % dan hanya seratus ribu orang lebih sedikit yang bisa tamat sekolah dasar. Tetapi setelah kelahiran Ikhwan dengan perhatiannya yang serius terhadap pendidikan, sedikit demi sedikit taraf pendidikannya semkain meningkat.
Ikhwan juga turut serta memperluas kesempatan belajar, bukan hanya kalangan mereka sendiri, melainkan juga untuk non-Ikhwan. Untuk membantu memberantas buta huruf, Ikhwan mendirikan sejumlah sekolah terbuka bagi para karyawan dan petani, pelajarannya juga tidak mengenai agama saja akan tetapi juga bidang-bidang umum lainnya. Hampir tidak ada cabang Ikhwan yang tidak memiliki sekolah (Jamilah, 1999: 140).
c. Bidang kesehatan
Sementara di bidang kesehatan, Ikhwan juga memperhatikan bidang kesehatan masyarakat. Ketika itu, Mesir negara yang terbanyak menderita wabah penyakit di dunia, sehingga kurang lebih 90 % warga Mesir terancam mengalami struktur tubuh yang kurang prima, kurang sempurna dan rawan terhadap penyakit (al-Qaradhawi, 1999: 86).
Dari data itu, rumah sakit-rumah sakit pemerintah telah menerima 7. 241. 383 pasien. 1 juta dari jumlah tersebut menderita bilharzia, lebih dari ½ juta jiwa menderita Anglostama, 1 ½ juta mendrita penyakit mata (al-Qaradhawi, 1999 : 97). Untuk tujuan ini dibangunlah rumah sakit-rumah sakit dan klinik-klinik kesehatan. Mengenai jumlah dan tempat berdirinya rumah sakit maupun klinik, sejauh ini penulis belum mendapatkan datanya.
d. Pembangunan sarana peribadatan
Ikhwan juga mendirikan mesjid-mesjid di seluruh pelosok negeri, tanah bangunannya disumbangkan oleh sebagian dari anggotanya sedangkan biaya pembangunannya oleh para donatur dari kalangan mereka juga, sehingga seluruh cabang Ikhwan hampir semuanya memiliki mesjid sendiri (Jamilah, 1993 : 139-141).
Ketika al-Banna melakukan perjalanan ke berbagai pelososk di negeri itu untuk memberikan kulai dan menyampaikan pesan, ia sering mengumpulkan sumbangan untuk pembangunan mesjid. Di cabang pertama Ikhwan di Ismailiyah, al-Banna mengumpulkan sumbangan untuk membangun mesjid dan sekolah, sehingga kompleks mesjid-mesjid menjadi cirri khas seluruh cabang Ikhwan (Rahmena, 1996 : 150). Dengan demikian, pada saat Ikhwan berusia 10 tahun dengan jumlah cangan sekitar 2000-an, mesjid atau mushallanya juga hampir sebanding dengan jumlah tersebut.
Ikhwan tidak hanya berdakwah melalui lisan dan tulisan, tetapi juga aktivitas konkret. Al-Banna (1999: 217) mengemukakan: “Sebenarnya saya ingin senantiasa beramal dan tidak banyak berbicara. Kepada amal saja kami pembahasan tentang ikhwan dan langkah-langkahnya”. Memang benar, perbuatan Ikhwan yang bersifat konkret sangan efektif dalam membangun keberagamaan masyarakat, sebab dakwah seperti itu bisa memberi solusi terhadap persoalan-persoalan yang muncul sehingga pada akhirnya dapat membukakan hati mereka terhadap kebenaran Islam. Pendekatan inilah yang banyak dipraktekkan oleh pelaku pengembangan masyarakat di dunia, termasuk di Indonesia, yakni mendekati masyarakat melalui pengabdian : pengo-batan, pemberian bantuan kepada kaum lemah dan mendidik putra-putri mereka.
Kita pantas mengagumi aktivitas dakwah Ikhwan yang sangat rapi dan menyentuh berbagai problema umat. Itulah yang menjadikan mereka mendapatkan dukungan positif dari berbagai kalangan ; kawan maupun lawan.
Penyebaran ide-ide Ikhwan ini dilakukan dengan berbagai cara, sebagaimana dikemukakan al-Banna (1999 : 35) :
Sarana-sarana propaganda saat ini pun dengan sebelumnya. Kemarin propaganda disebarkan melalui khutbah, pertemuan atau surat-surat. Tetapi sekarang seruan atau propaganda kepada isme-isme yang lain disebarkan melalui penerbitan majalah, koran film, panggung teater, radio, dan media-media lain yang beragam. Saran-sarana itu telah berhasil menembus semua jalan menuju akan dan hati khalayak, baik pria maupun wanita, di rumah-rumah, di toko-toko, di pabrik-pabrik, bahkan di sawah-sawah mereka.
Dijelaskan pula bahwa Ikhwan memiliki surat kabar harian dan lebih dari setengah lusin jenis majalah, antara lain majalah bulanan «Al-Manar» di samping mingguan-mingguan seperti at-Ta’aruf, ash-Shu’a, an-Nadzhir, ash-Shihab (meteor), al-Mabahits, ad-Da’wah, dan al-Muslimun. Selain itu, mereka juga menyebarluaskan ide-ide mereka melalui pamflet-pamflet, artikel-artikel, surat-surat dan memorium-memorium (Jamilah, 1993 : 142). Itulah beberapa sarana yang mereka pergunakan untuk menyeru kepada Islam.


BAB III
DAKWAH
MENURUT IKHWANUL MUSLIMIN

A. Pengertian Dakwah Bagi Ikhwanul Muslimin
Makna dakwah bagi Ikhwan tidak dapat dilukiskan, tetapi hanya dipahami dengan pemahaman integral terhadap kata “Islamiyah”. Dengan makna yang luas dari kata tersebut, maka dakwah juga mencakup segala aspek yang ada di dalamnya.
Jika ingin memahami dakwah Islamiyah yang dilaksanakan Ikhwan, tidak lain adalah seruan agar tetap berpedoman kepada Kitabullah, Sunnah Rasulullah saw. dan sirah salafush shalih (jalan hidup yang shalih) dari kaum muslimin (al-Banna, 1999: 37). Di sisi lain, bagi Ikhwan, sebagaimana yang dikemukakan tokoh pendirinya al-Banna, dakwah itu adalah menyeru manusia untuk menentang atau melawan tirani materialisme dan kembali atau bersandar kepada Allah swt. serta selalu merasa dalam pengawasan-Nya. Secara tegas al-Banna (1999: 165) menyebutkan:
Sebagaimana dakwah kami ini memiliki karakter rabbaniyah—yang menyeru manusia untuk menjauhi, menentang, melawan tirani materialisme, dan kembali beriman kepada Allah, bersandar kepada-Nya, dan selalu merasa dalam pengawasan-Nya pada setiap amal—maka dakwah kami juga mempunyai karakter insaniyah yang mengajak kepada persaudaraan di antara sesama manusia dan berusaha membahagiakan mereka, karena dakwah ini bersifat Islamiyah, dan Islam itu diperuntukkan bagi sekalian manusia, bukan untuk jenis tertentu atau untuk bangsa tertentu saja.
Pengertian dakwah yang telah dikutip di atas, pada dasarnya adalah kegiatan mengajak atau menyeru kepada ajaran Islam, beriman kepada Allah, dan mendasarkan tingkah laku berangkat dari petunjuk-Nya. Kegiatan mengajak atau menyeru manusia ke jalan Islam merupakan suatu proses yang membutuhkan persiapan atau perencanaan yang matang, bahkan perencanaan itu sendiri merupakan bagian dari kegiatan dakwah Islamiyah.
Sejalan dengan kejelasan sikap Ikhwan terhadap Islam, bagi mereka ideologi Islam merupakan jalan menuju pembebasan, kebahagiaan, dan ketenangan dalam hidup ini, maka ideologi ini sangat berpengaruh terhadap perencanaan dakwahnya (al-Banna, 1999: 34). Unik juga, sekalipun sikap Ikhwan itu sangat berpengaruh terhadap perencanaan dakwahnya bukan berarti menjadikan gerakan mereka menjadi sangat mutlak tanpa tawar menawar dan karena itu akan kaku, tetapi mereka juga terbuka terhadap pihak lain dan menerima perkembangan dan perubahan (al-Qaradhawi, 1999: 220).
Bagi mereka:
Amal jama’i harus terorganisir, berdiri pada kepemimpinan yang bertanggung jawab, landasan yang kokoh, konsep-konsep yang jelas, yang memberi batasan hubungan antara kepemimpinan dan landasan aturan yang berasas pada musyawarah dan ketaatan yang berangkat dari kesadaran. Islam tidak mengenal jamaah tanpa aturan, jamah kecil dalam salat pun berasas pada aturan (al-Qaradhawi, 1999: 38).
Dari pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa gerakan Ikhwan juga menerapkan perencanaan dalam segala aktivitasnya, termasuk dalam pelaksanaan dakwah. Apalagi ketika Ikhwan berbicara mengenai ‘tadaruj’ (bertahap dalam langkah), semakin jelas terlihat penerapan perencanaan dakwah dalam kegiatannya. Mereka menjalankan dakwah melalui tiga tahapan, yaitu tahap pengenalan, pembentukan dan pelaksanaan (al-Banna, 1999: 232).

B. Tujuan Dakwah Ikhwanul Muslimin
Tujuan dakwah Ikhwan adalah menyadarkan umat Muslim akan pentingnya kembali kepada ajaran Islam yang syamil, di mana manusia tidak mungkin menemukan kebahagiaan kecuali bersamanya (al-Banna, 1999: 61).
Al-Qaradhawi (1999: 78-81) menjelaskan bahwa tujuan Ikhwan tidaklah semu atau tidak jelas, melainkan seperti terangnya matahari. Tujuan yang ingin dicapai tidak hanya dari aspek pemikiran saja, juga tidak terbatas pada aspek spritual, apalagi sosial ekonomi saja, politik saja, akan tetapi mencakup seluruh makna reformasi yang menyeluruh seperti sifat kekonperehensifan ajaran Islam.
Dari pemahaman Ikhwan terhadap Islam yang konperehensif itu muncullah berbagai tujuan dakwah yang diprogramkan Ikhwan, yaitu: (1) mengikis sikap taklid; (2) memperbaiki hukum; (3) memperbaiki wajah sosial; (4) memerangi hedonisme (al-Banna, 1999: 77-79).
Untuk merealisasikan tujuan-tujuan dakwah sebagaimana di atas, maka segala aktivitas dan gerakan pelaksanaan dakwah Ikhwan mengacu kepada perencanaan yang telah ditetapkan. Ketika di antara anggota Ikhwan ada yang memiliki semangat tinggi tetapi tergesa-gesa dalam langkah-langkahnya, al-Banna tidak akan menerimanya. Ia berpesan: “Sebenarnya jalan kalian ini terencana langkah-langkahnya, dibuat kredor-kredornya. Aku tidak menentang kredor-kredor ini yang aku yakini benar bahwa itu adalah jalan paling aman untuk sampai tujuan” (al-Qaradhawi, 1999: 106).
Bagi Ikhwan persiapan (i’dad) harus dilakukan sejak dini untuk mengadapi medan yang senantiasa sulit, di sisi lain juga perlu kesabaran dalam persiapan itu sendiri. Para da’i harus sabar melangkah di atas tahapan yang sesuai dengan karakter alam (kaun) dan sunnatullah (Hamid, 1996: 185). Sekalipun mereka telah mempersiapkan segala sesuatunya secara matang, tetapi prinsip yang ditanamkan kepada seluruh anggota Ikhwan harus diserahkan kepada Allah dalam arti bertawakkal kepada-Nya dengan terlebih dahulu diawali dengan ketakwaan, rasa takut, dan mensyukuri nikmat-Nya (Garishah, 1994: 55).
Dengan rendah hati, al-Banna (1999: 182) mengomentari persiapan atau perencanaan mereka: “Kami tidak mengatakan bahwa Ikhwan telah sepurna usahanya di sisi ini. Akan tetapi, kami hendak mengatakan bahwa mereka (Ikhwan) telah merintissuatu langkah yang lapang menuju kesempurnaan. Allah-lah Dzat Pemberi taufik dan tempat memohon pertolongan”.
Salah satu bentuk keseriusan Ikhwan membuat per-siapan atau perencanaan terlihat jelas ketika mewajibkan setiap anggotanya terlebih dahulu mengikuti program pelatihan dan pendidikan ideologi yang menitikberatkan pada pembinaan ketahanan moral dan jasmani “agar lebih mampu memperta-hankan dalam membela Islam” (Sadzali, 1991: 145).
Demikianlah tujuan kegiatan dakwah Ikhwan yang menempatkan persiapan atau perencanaan sebagai pondasi awal dalam meniti langkah-langkah berikutnya. Perencanaan yang matang ternyata membuahkan hasil yang gemilang, di mana Ikhwan merasakan hangatnya sambutan masyarakat atas segala aktivitas dakwah yang mereka laksanakan.

C. Faktor Utama Keberhasilan Ikhwanul Muslimin
Ada beberapa unsur pokok sebagai penentu keberhasilan dakwah Ikhwan. Pertama, mereka selalu berterus terang dalam segala tindakan, artinya kegiatan yang mereka laksanakan tidak ditutup-tutupi, tetapi dijelaskan secara terbuka; siapa yang mereka, apa tujuan mereka, dan seterusnya. Metode dakwah yang mereka kembangkan merujuk kepada metode dakwah Rasulullah saw. dan para salafush-shalih. Oleh karena itu, aktivitas dakwah Ikhwan tidak ada yang perlu disembunyikan. Kedua, mereka memiliki tujuan yang suci. Ikhwan tidak mencampuradukkan kesucian niat mereka dengan berbagai ambisi pribadi, bersih dari kepentingan dunia, dan bersih dari hawa nafsu. Al-Banna mengemukakan: “Kami tidak mengharapkan sesuatupun dari manusia, tidak mengharap harta benda atau imbalan lainnya, tidak juga popularitas, apalagi sekedar ucapan terima kasih. Yang kami harap hanyalah pahala dari Allah, Dzat yang telah menciptakan kami” (1999: 30). Ketiga, Ikhwanul Muslimin mengutamakan kasih saying sesama umat Islam. Ikhwan mencintai saudara seagamanya seperti mencintai diri sendiri, bahkan lebih mencintai saudaranya yang seiman daripada sekedar mencintai diri mereka sendiri. Karena itu kejadian-kejadian yang menimpa umat Islam di belahan bumi ini, mereka merasa tercabik-cabik dengan segala tragedi yang menimpa saudara-saudara yang seiman dengan mereka. Keempat, rela berkorban demi tegaknya dakwah. Beban dakwah sebenarnya hanya dapat dipikul oleh mereka yang telah memahami dan bersedia memberikan semua yang kelak dituntut oleh Ikhwan, baik waktu, kesehatan, harta, bahkan darah (al-Banna, 1999 : 33). Karena dakwah itu sendiri tidak mengenal sikap ganda. Ia hanya mengenal satu sikap totalitas. Motivasi terhadap dakwah ini dikemukakan oleh al-Banna (1999: 34 ):
Siapa yang bersedia untuk itu, maka ia harus hidup bersama dakwah dan dakwah pun melebur dalam dirinya. Sebaliknya, barang siapa yang lemah dalam memikul beban ini, ia terhalang dari pahala besar mujahid dan tertinggal bersama orang yang duduk-duduk. Lalu Allah swt. akan mengganti mereka dengan generasi lain yang lebih baik dan sanggup memikul beban dakwah ini.
Kelima, menyadari bahwa semua keutamaan adalah milik Allah. Bagaimanapun suksesnya kegiatan dakwah yang dilakukan semua itu tidak terlepas dari kekuasaan Allah dan manusia hanya mengusahakan sebatas potensi yang diberikan Allah swt. kepadanya. Bagi Ikhwan, sikap seperti tersebut di atas adalah sikap yang harus diperpegangi dan dikembangkan. Mereka tidak menganggap dakwah yang utama itu adalah milik mereka seutuhnya, melainkan keutamaan yang diberikan oleh Allah swt.
Firman Allah swt.:
Artinya: “Sebenarnya Allah, Dialah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjuki kamu pada keimanan jika kamu adalah orang-orang yang benar” (Q.S. al-Hijir, ayat 17).
Sikap mereka tidak lain hanyalah berbuat di jalan Allah demi kemaslahatan manusia, lebih banyak daripada yang mereka lakukan untuk diri mereka sendiri (al-Banna, 1999: 29-34).
Selain kelima poin di atas, al-Qaradhawi mengemukakan bahwa kehadiran Ikhwan juga tepat waktu di mana saat itu masyarakat Islam sangat membutuhkan dakwah. Masyarakat membutuhkan format dakwah yang actual untuk memperbaharui akal pikiran mereka dengan pemahaman dan kesadaran baru, memperbaharui kehidupan masyarakat dengan pencerahan iman yang mendalam, memperbaharui kehidupan dengan komitmen yang tulus, menghadang gelombang pemikiran destruktif dan seruan-seruan yang menyimpang serta gerakan-gerakan yang menyesatkan (1999: 18).
Dalam kerangka mendukung aktivitas-aktivitas Ikhwan, mereka memperpegangi prinsip-prinsip umum, yaitu iman yang dalam, pembentukan pribadi muslim yang sejati, dan melakukan amal yang berkesinambungan (al-Banna, 1999: 209). Dari prinsip-prinsip ini mereka kemudian memancangkan kaki untuk mencapai sasaran-sasaran yang tepat. Al-Banna (1999: 208) berpesan:
Bagaimana kita sampai kepada sasaran-sasaran ini?
Khutbah, tulisan, materi pelajaran, ceramah, identifikasi penyakit, pemberian obat, itu saja belum cukup dan tidak sampai pada sasaran yang diinginkan. Namun dakwah mempunyai wasail (perangkat) yang harus dipegangi dan dilaksanakan.
Setelah Ikhwan mempertimbangkan dan memper-kirakan atas segala kenyataan yang ada, barulah mereka men-jalankan dakwahnya. Kegiatan-kegiatan yang pokok adalah perhatian yang amat besar terhadap pendidikan, kesejahteraan scheduled seperti bidang kesehatan dan ekonomi, di samping mendirikan masjid-masjid sebagai pusat-pusat pergerakan dan pertemuan mereka. Adapun untuk menyebarluaskan cita-cita mereka, Ikhwan cukup aktif di lapangan penerbitan. Tujuan utamanya untuk menyampaikan ajaran-ajaran Islam yang sesuai dengan zaman modern untuk membuktikan bahwa Islam merupakan keyakinan dan cara hidup terbaik kepada mereka, merukunkan kembali pendapat-pendapat berbagai mazhab pemikiran Islam agar tercipta kesatuan umat Islam (Jamilah, 1993: 141).
Akhirnya, dengan perencanaan yang matang diharapkan akan terwujud pelaksanaan dakwah yang teratur dan terarah sehingga mendapatkan hasil yang gemilang dan mampu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari baik sebagai pribadi, di dalam keluarga, di tengah-tengah masyarakat, dan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
BAB IV
PRINSIP DAN PERENCANAAN DAKWAH
IKHWANUL MUSLIMIN

A. Prinsip Dakwah Ikhwanul Muslimin
Pada dasarnya, setiap orang maupun lembaga (organisasi, badan) mempunyai prinsip di mana ia mendasari setiap kegiatan yang dilakukan. Prinsip juga merupakan suatu fundamental dari setiap orang atau lembaga. Bahkan prinsip merupakan suatu ketentuan dalam usaha melaksanakan kerja yang dipandang penting untuk diikutsertakan dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditentukan oleh orang atau badan tersebut (Hatta, 1995: 27). Prinsip dapat diartikan sebagai asas atau kebenaran yang menjadi pokok dasar orang (sekelompok orang); berpikir, bertindak, dan sebagainya (Poerwadarminta, 1984: 768).
Dari kerangka dan pengertian di atas, jika dikaitkan dengan aktivitas dakwah berarti asas atau kebenaran yang menjadi pokok dasar dilaksanakannya kegiatan dakwah tersebut. Dengan kata lain, prinsip dakwah dimaksudkan sebagai dasar berpijak di atas mana dakwah itu dilaksanakan.
Dr. Yusuf al-Qaradhawi dalam bukunya Menuju Kesatuan Fikrah Aktivis Islam yang diterjemahkan oleh A.Najiyullah, menulis 20 (dua puluh) prinsip dakwah yang diperpegangi Ikhwanul Muslimin, yang mereka sebut dengan al-ushul al-isyriyyun. Prinsip-prinsip itu adalah:
1. Islam adalah sebuah sistem universal yang mencakup seluruh aspek hidup dan kehidupan.
2. Alquran dan Sunnah adalah referensi setiap Muslim dalam mengambil hukum-hukum Islam.
3. Iman yang tulus, ibadah yang benar dan mujahadah itu bercahaya, serta mempunyai rasa manis yang Allah percikkan ke dalam kalbu siapa saja dari hamba-Nya yang dikehendaki-Nya.
4. Jimat, mantra, makam keramat, ramalan, perdukunan, mengaku tahu yang ghaib, dan yang sejenisnya adalah suatu kemunkaran yang harus diperangi. Kecuali yang berasal dari “Ayat Alquran atau do’a yang ma’tsur.
5. Pendapat imam atau wakilnya yang tidak ada nashnya, tetapi mengandung kemungkinan mashlahah (mashalih mursalah) boleh diamalkan selama tidak bertentangan dengan akidah dan syari’ah.
6. Pendapat seseorang boleh diikuti atau ditinggalkan, kecuali Rasulullah saw. (maka ia harus diterima) karena ia adalah ma’shum, namun demikian tidak boleh menyerang pendapat tersebut—dalam masalah khilafiyah—karena bagaimanapun ia telah mengemukakan pandangannya.
7. Apabila seseorang mampu menjadi mujtahid, maka ia boleh mencapai ke sana, tetapi bila tidak ia pun boleh mengikuti salah satu imam (madzhab).
8. Perbedaan pendapat dalam masalah fikih (furu’) jangan dijadikan sebagai sebab perpecahan atau permusuhan.
9. Melibatkan diri terhadap masalah-masalah yang bukan untuk diamalkan atau kerjakan adalah perbuatan yang sia-sia. Seperti, banyak memecahbelah cabang hukum yang tidak realistis, mengutak-atik ayat-ayat Alquran yang sains belum mampu mencapainya.
10. Mengimani, mengesakan dan menyucikan Allah swt. merupakan peringkat akidah Islam yang paling luhur.
11. Setiap bid’ah yang dilakukan oleh manusia atas dasar hawa nafsunya dalam masalah agama, haruslah diberantas sampai ke akar-akarnya, tetapi harus pula mencegahnya dengan cara yang terbaik jangan sampai akibatnya lebih fatal dari semula.
12. Menambah amalan dari kadar yang ditetapkan oleh syara’ (bid’ah dihafiyah), menguranginya (bid’ah tarkiyah) dan membiasakan diri melakukan sesuatu bentuk ibadah tertentu yang tidak dicontohkan Rasulullah (bid’ah iltizham) dalam hal peribadatan secara mutlak diperselisihkan hukumnya oleh para ulama. Masing-masing ada pendapat dan alasan mengenainya sendiri, maka boleh dilacak kebenarannya berdasarkan dalil dan bukti.
13. Mencintai orang-orang shalih, menghormati mereka, menyanjung mereka atas dasar amal baiknya yang telah diketahui dekat kepada Allah swt.
14. Ziarah kubur, bagaimanapun adalah sunnah yang disyari’atkan dengan cara-cara yang ma’tsur. Tetapi meminta-minta kepada ahli kubur, memanggil-manggil mereka, bernadzar demi mereka adalah bid’ah besar yang harus dikikis habis. Demikian pula membangun, menembok dan mengatapi dan meneranginya; bersumpah selain Allah adalah dosa besar yang harus diperangi; tetapi memintakan ampunan bagi yang mati tidak termasuk dalam masalah ini.
15. Berdo’a kepada Allah, apabila dibarengi dengan tawassul pada salah seorang hamba-Nya adalah masalah khilafiyah (boleh atau tidaknya) dan itu tidak termasuk dalam masalah akidah.
16. Tradisi yang keliru itu tidak merubah hakikat lafadz syar’i bahkan boleh harus dikukuhkan dalam batas-batas makna maksudnya, dan berhenti sampai di situ.
17. Akidah adalah pondasi amal.Amaliyah kalbu lebih penting daripada amal fisik, sedangkan berusaha untuk mencapai masing-masing kepada kesempurnaan adalah dituntut, meskipun kadar tuntutannya berbeda.
18. Islam memberi kebebasan dan mendorong akal untuk memandang alam semesta, mengangkat derajat ilmu dan ulama, ramah terhadap semua orang yang menyumbangkan kebaikan dan kemanfaatan.
19. Masing-masing dari pandangan syar’i dan rasio kadang-kadang mencakup apa yang tidak masuk dalam wilayah yang lain. Tetapi keduanya tidak bertentangan dalam hal-hal yang sudah pasti (qath’i).
20. Kita tidak boleh mengkafirkan seorang Muslim yang telah mengikrarkan Dua Kalimah Syahadat, mengamalkan segala konsekuensi logisnya, dan menjalankan segala kewajiban yang telah ditentukan padanya, sekalipun ia masih suka mengerjakan kemaksiatan.Kecuali apabila ia menyatakan diri kafir atau mengingkari suatu ketentuan yang sudah dipastikan oleh agama. Atau mendustakan Alquran atau menafsirkannya dengan tafsiran yang tidak dibenarkan.
Prinsip-prinsip tersebut di atas mencerminkan betapa Ikhwan terikat oleh norma-norma yang berlandaskan akidah ke-islam-an sebagaimana mereka yakn bahwa dengan akidah yang murni tersebutlah Islam akan mampu menandingi isme-isme yang lain. Betapa tidak, semua isme yang berkembang di dunia dewasa ini hanyalah ukiran tangan dan olahan fikiran manusia. Jika hanya olahan/rekayasa manusia lambat laun akan usang ataupun ketinggalan zaman. Sebab tidak seorang pun yang memungkiri kedinamisan pola fikir dan kebutuhan manusia.
Menurut al-Qaradhawi dua puluh prinsip ditujukan kepada dua kelompok masyarakat: pertama, terbatas pada al-Ikhwan yang aktif dalam dakwah al-Ikhwan al-Muslimun. Hal ini dimasukkan karena di dalam tubuh Ikhwan itu sendiri terdapat latar belakang profesi dan faham (madzhab) yang saling berbeda. Kedua, yang diwakili kelompok-kelompok agama yang terdapat dipermukaan masyarakat Mesir pada saat al-Banna menulis prinsip-prinsip ini. Pada saat itu mereka saling menjelekkan bahkan sampai pada tingkat saling mengkafirkan (1999:157).

B. Perencanaan Dakwah Ikhwanul Muslimin
Prinsip-prinsip Ikhwan yang telah dikemukakan pada bagian sebelumnya mendasari setiap gerakan mereka, terutama dalam hal kegiatan dakwah yang mereka lakukan. Dari prinsip-prinsip itu mereka menentukan segala sesuatu yang akan mereka kerjakan. Dari prinsip-prinsip itu mereka mengembangkan fikrah. Dan dari prinsip-prinsip itu pula, akhirnya Ikhwan membuat perencanaan yang matang untuk setiap aktivitas yang akan mereka perbuat.
Ada beberapa hal yang perlu disoroti untuk menjelaskan lebih jauh tentang perencanaan dakwah Ikhwan, yaitu perhatian terhadap kondisi objektif medan dakwah, penetapan sasaran dan tujuan, petunjuk pelaksanaan kegiatan, metode yang sesuai, lokasi atau tempat kegiatan dakwah dilaksanakan, dan dana yang menjadi penunjang kegiatan dilaksanakan.
1. Memperhatikan kondisi objektif medan dakwah.
Beranjak dari latar belakang kelahiran Ikhwan, yakni keprihatinan terhadap kondisi keagamaan masyarakat di mana mereka lebih mengedepankan sekularisme (al-Banna, 199: 168), maka masyarakat sangat membutuhkan pemikiran segar untuk mengembalikan pemahaman keagamaan yang konperehensif dan universal (Rahmena, 1996: 135) termasuk di dalamnya mengikusertakan politik kenegaraan (al-Banna, 1999: 63) sebagai ajaran agama yang tidak bisa terlepas dari dalamnya. Ikhwan juga memperhatikan kondisi perekonomian yang carut-marut ketika itu; kondisi ekonomi yang menyedihkan, masyarakat kebanyakan berprofesi hanya sebagai buruh-buruh kasar padahal sebenarnya mereka layak menikmati hasil buminya sendiri secara lebih baik (al-Qaradhawi, 1999: 27), bedasarkan keprihatinan ini pula, maka Ikhwan kemudian membuat arah pemikiran dan gerakan kepada ideologi Islam yang utuh, sembari membuat perencanaan secara baik untuk mengatasi problema tersebut. Inilah tolak ukur perhitungan mereka untuk membuat suatu perencanaan yang baik untuk menatap ke depan membangun masyarakat yang Islami yang dimulai dari pribadi-pribadi, untuk selanjutnya diharapkan akan teraktualisasi dalam lingkungan keluarga, dan pada gilirannya akan terwujud pada tatanan masyarakat secara lebih luas. Ajaran Islam diharapkan akan didengan dan hidup pada telinga setiap orang (individu), keluarga, dan masyarakat, serta dalam berbangas dan bernegara (al-Banna, 1999: 206).
2. Mengenali sasaran dakwah.
Ikhwan menyadari bahwa tugas mereka sangat berat dan penuh dengan tantangan. Al-Banna memperingatkan agar aktivis Ikhwan menyadari akan beratnya tugas yang mereka emban dan juga rentan terhadap tantangan dan rintangan (al-Banna, 1999: 206), karena itu Ikhwan harus siap sedia. Untuk itu pula, al-Qaradhawi (1979: 162) mengemukakan akan ada masyarakat yang:
a. Beriman dan meyakini kebenaran dakwah, mengagumi akan prinsip-prinsipnya dan melihat di dalamnya ada suatu kebaikan yang dapat menentramkan hatinya. “Tugas kita adalah mengajak mereka untuk bergabung”.
b. Ragu-ragu, belum jelas arah yang hendak dituju dan belum mengenal makna ikhlas dan faedahnya terhadap semua Ikhwan. “Tugas kita adalah agar sering mempelajari tentang Ikhwan melalui buku-buku, tulisan-tulisan, maupun mengunjungi pertemuan-pertemuan Ikhwan”.
c. Hanya mencari keuntungan, tidak mau memberi pertolongan kecuali jika mereka mengetahui akan mendapatkan hasil yang bersifat duniawi dan keuntungan materi yang diinginkannya.”Tugas kita adalah mendo’akan mereka supaya Allah membukakan hati mereka dan mengetahui apa yang lebih baik dan kekal, jika mereka telah tahu semoga mereka ikut pula bergabung dan mau mengorbankan hartanya di jalan Allah”.
d. Suka menentang, buruk sangka dan penuh ragu terhadap Ikhwan. Mereka memandang Ikhwan dengan kaca mata hitam kelam dengan tidak berbicara dengan kami melainkan dengan kata-kata yang menunjukkan keraguan dan was-was.”Tugas kita adalah mendo’akan mereka semoga Allah memberikan petunjuk dan hidayah, dengan begitu mereka pun akan turut serta bergabung memperjuangkan Islam”.
Setelah dikemukakan klasifikasi masyarakat sebagai sasaran dakwah Ikhwan, mereka kemudian mempersiapkan jiwa yang baik, penuh toleran dan hati yang besar untuk menghadapinya.
3. Merencanakan tujuan-tujuan yang hendak dicapai.
Dalam menghadapi masyarakat, Ikhwan menetapkan tujuan-tujuan yang hendak dicapai. Secara umum tujuan Ikhwan adalah membimbing manusia kepada hakikat Islam dan bida mengamalkannya (al-Banna, 1999: 219).
Rincian tujuan-tujuan Ikhwan dapat dikelompokkan menjadi:
a. Tujuan menurut jangka waktu, yakni jangka pendek dan jangka panjang. Tujuan jangka pendek adalah rekruitmen anggota sebanyak-banyaknya untuk bergabung bersama mereka, dan hal itu sudah terlihat sejak Ikhwan muncul dengan aktivitasnya yang bersifat umum. Sedangkan tujuan jangka panjang yang dicanangkan Ikhwan adalah mengupayakan bisa memberikan kontribusi bagi kemaslahatan umum serta pengabdian kepada masyarakat. Untuk itu, Ikhwan dituntut agar membersihkan diri, meluruskan perilaku, mempersiapkan diri secara mental, fisik, dan spritual, di mana setiap juga pribadi harus mengajak keluarga, sahabat-sahabat dan lingkungannya kepada hal yang sama.
b. Tujuan pokok Ikhwan adalah reformasi total dan utuh yang melibatkan partisipasi umat seluruhnya, yang dinantikan umat selruhnya, dan mencakup masalah-masalah yang membutuhkan perubahan dan penggantian. Al-Qaradhawi berkomentar: “ Al-Ikhwan al-Muslimun menyerikan dengan dakwah dan meyakini satu jalan, membela satu akidah dan bekerja untuk mengarahkan manusia kepada jalan menuju satu sistem sosial yang mencakup semua bidang kehidupan yang namanya Islam” (1999: 84).
c. Ikhwan juga membagi tujuan-tujuannya kepada tujuan umum dan khusus. Tujuan umum bagi Ikhwan adalah membebaskan negara-negara Muslim dari dominasi asing dan untuk selanjutnya menegakkan dawlah Islamiyah yang menerapkan hukum Islam, merealisasikan sistem sosialnya, mendeklarasikan prinsip-prinsipnya yang lurus, dan menyampaikan dakwahnya yang bijak kepada seluruh manusia. Sementara yang menjadi tujuan khusus Ikhwan adalah mengangkat derajat perekonomian rakyat Mesir. Mereka tidak seharusnya lapar di negeri sendiri akibat penguasaan asing terhadap segala sumbu perekonomian, juga tidak layak menderita wabah penyakit dan hama, apalagi karena kemiskinan itu meningkatkan angka kriminalitas, maka untuk mengikis pathologi sosial itu Ikhwan membenahi kurikulum pendidikan dan pengajaran, memerangi kemiskinan, kebodohan, memberantas penyakit, mengikis tindak kriminal, dan membentuk sebuah masyarakat ideal yang loyal kepada syari’at Islam (al-Banna, 1999: 207-208).
d. Tujuan global dan tujuan detail (terperinci; terbatas). Tujuan global Ikhwan ialah menghadang gelombang dahsyat peradaban materialistik dan hedonistik yang melanda dunia Islam. Ikhwan dituntut menghidupkan kembali nilai-nilai Islam yang luhur untuk menyingkirkan fenomena peradaban materialistik dan hedonistik yang dating dari Barat. Sedangkan tujuan detailnya ialah mengaktualisasikan ajaran Islam yang telah digariskan oleh Alquran dalam kehidupan sehari-hari, baik dari segi politik dan hubungan internasional, perundang-undangan dan peradilan, pertahanan atau militer, ekonomi, kebudayaan dan pendidikan, sistem kehidupan individu dan masyarakat (keluarga dan rumah tangga) (al-Qaradhawi, 1999: 87-88).
4. Merencanakan langkah-langkah yang sesuai untuk ditempuh.
Ikhwan menempuh langkah-langkahnya secara bertahap, tidak meloncat. Hal ini dimaksudkan agar sesuai dengan hukum alam (natural law) atau sunnatullah al-kauniyyah dan juga syar’iyyah (aturan hukum) (al-Banna, 1999: 232; al-Qaradhawi, 1999: 104).
Tahapan-tahapan langkah yang ditempuh Ikhwan adalah:
a. Fase ta’rif, yaitu fase penyampaian, pengenalan, dan penyebaran fikrah, sehingga bisa sampai kepada khalayak dalam segala tingkatan sosial.
b. Fase takwin (pembentukan), yaitu seleksi terhadap aktivis yang sudah direkruit, mengkoordinasikan dan memobilisasikan untuk berinteraksi dengan objek dakwah.
c. Fase tanfidz, yaitu tahap pelaksanaan amal menuju produktivitas kerja dakwah yang optimal (al-Banna, 1999: 232).
Al-Banna menyebutkan bahwa mereka telah sampai pada fase yang pertama dengan derajat yang sangat memuaskan. Selanjutnya mereka akan meniti perjalanan fase berikutnya. “Sudah menjadi kewajiban kami untuk meniti fase kedua, yakni fase seleksi, pembentukan, dan mobilisasi” (1999: 233).
5. Merencanakan metode dakwah yang sesuai untuk digunakan
Perencanaan dakwah yang dilakukan Ikhwan juga menyangkut penentuan metode atau pendekatan yang sesuai dengan kegiatan dakwah yang dilaksanakan. Di antara metode dakwah yang dilaksanakan Ikhwan adalah bil-lisan, bil kitabah, dan bil hal. Hal itu terlihat dari kegiatan-kegiatan dakwah mereka dari mesjid ke mesjid untuk mengajak orang lain mengikuti mereka (Hoeve, 1994: 195), sedangkan untuk lebih menyebarkan fikrah-fikrahnya, Ikhwan menyalurkannya melalui tulisan-tulisan di media massa; surat kabar, majalah, pamflet-pamflet, dan buku-buku (Jamilah,1993:142), Sementara secara bil hal; selain mereka berupaya memperlihatkan ajaran Islam dalam kehidupan mereka,juga melayani usaha-usaha kemanusiaan, seperti pendirian gedung-gedung pendidikan, rumah-rumah sakit, klinik-klinik, membantu ekonomi masyarakat baik pertanian, perdagangan dan sebagainya. Di sisi lain, jika diperbandingkan dengan metode dakwah Rasullullah saw. yang menempuh dakwah di bawah tanah, kemudian secara terang-terangan, kemudian secara politik, surat menyurat, dan pada akhirnya ada juga peperangan (Shaleh, 1993: 151-6), maka Ikhwan menjalani hal tersebut secara fluktuatif. Pada awalnya Ikhwan bergerak secara rahasia, setelah mengalami kemajuan, mereka bergerak secara terbuka. Bahkan pada tahun 1939 secara resmi sebagai organisasi politik yang membuka kesempatan bagi mereka untuk berdakwah melalui saluran politik (Hoeve, 1994:196). Karena banyak hal yang menurut Ikhwan harus direformasi terutama menyangkut kebijakan-kebijakan pemerintah, mereka pun mengirimkan surat kepada pemerintah, seperti pada tahun 1939 permohonan mereka (al-Banna) agar menjauhkan cara-cara hidup orang Barat dan melaksanakan hukum-hukum Islam (Jamilah, 1993: 130). Benturan fisik (peperangan) juga tidak terhindarkan yang mengakibatkan banyak koarban terutama di pihak Ikhwan sendiri. Bahkan mereka jadi bulan-bulanan pemerintah yang seringkali ditangkap dan dipenjarakan. Misalnya pada tahun 1954 ketika terjadi bentrok antara mahasiswa Ikhwan dengan mahasiswa yang pro-pemerintah. Di sini juga Ikhwan harus mau menerima bahwa mereka menjadi organisasi terlarang kembali (al-Qardhawi, 1999: 199).
6. Mengenai lokasi atau tempat.
Adapun yang menjadi jangkauan gerakan dakwah Ikhwan, maka al-Banna memperkenalkan “Tiga Sudut Pandang” (1999: 274-277). Sudut pandang pertama adalah perhatian utama terhadap Mesir sebagai tempat kelahiran Ikhwan. Di sana telah terjadi kerusakan yang sudah merembet ke semua bidang kehidupan masyarakat, maka kehadira Ikhwan adalah untuk mereformasinya. Sedangkan sudut pandang kedua adalah realitas yang terjadi saat itu di negara-negara Arab dan Islam lainnya, seperti Palestina, Pakistan, Indonesia, Libya, yang sebenarnya tidak lebih baik dari Mesir, mereka juga terjangkit aneksasi dan invasi kolonial. Dengan demikian yang ada di Timur pada umumnya merasakan kegelisahan yang sama. Sementara sudut pandang ketiga adalah mengenai pola berfikir para pemimpin dunia, rakyat, dan meraka yang kebetulan kebagian peluang untuk memegang tampuk kepemimpinan pasca-Perang Dunia II yang memperlihatkan pereduksian bahkan pendistorsian sistem nilai. Idealisme telah dikalahkan oleh keserakahan, bahkan menjadi kompetesi antara negara-negara yang menang; Rusia, Amerika, dan Inggris. Dampak penyimpangan ini—lambat laun dikhawatirkan—akan menjadi penyulut terjadinya Perang Dunia III, karena itu kehadiran Ikhwan adalah untuk menegakkan “umat dakwah yang baru” yang membawa risalah kebenaran dan kedamaian, sehingga akibat yang fatal; kehancuran dan kepunahan tidak terjadi.
Dari “Tiga Sudut Pandang” tersebut, pada dasarnya Ikhwan tidak membatasi lokasi gerakannya pada satu tempat.
7. Pembiayaan atau pendanaan kegiatan dakwah Ikhwan.
Dana penunjang kegiatan dakwah Ikhwan diperoleh dari sumbangan ikhlas para anggota dan donatur. Al-Banna (1999: 62-63) menjelaskan:
Saudara-saudara yang kami cintai itu—yang kami memantau perkembangan Ikhwanul Muslimun secara teliti dan berkesinambungan—bertanya, “Dari mana sumber dana yang kami pakai untuk dakwah yang telah meraih sukses demikian besar ini, sementara kondisi ekonomi sedang sulit dan jiwa-jiwa manusia sedang pelit?”
Saya senang untuk mengatakan kepada mereka bahwa dakwah-dakwah agama bertumpu pada iman dan akidah, sebelum harta dan kekayaan dunia yang fana. Di mana ada seseorang mukmin yang benar, di situ akan selalu ditemukan seluruh sarana menuju sukses. Sebenarnya dana kami tidak terlalu banyak. Setiap anggota Ikhwanul Muslimin selalu menyisihkan anggaran belanja keluarga untuk dakwah, dengan mengirit sesederhana mungkin dalam pemenuhan kebutuhan pokok bagi keluarga dan anak-anaknya. Mereka melakukan itu dengan senang hati dan penuh kemurahan. Bahkan seseorang di antara mereka tidak menemukan harta untuk diinfakkan, mereka akan berbalik dengan air mata bercucuran disebabkan kesedihan yang amat dalam karena tidak menemukan sesuatu yang dapat mereka infakkan.
Namun alhamdulillah, dengan dana yang sedikit—tapi dengan kebesaran iman—dia telah menjadi sarana meraih kesuksesan bagi hamba-hamba Allah yang senantiasa yang beribadah dan bekerja dengan penuh kejujuran dan kesungguhan.Dan sesungguhnya Allah, Dzat yang memiliki segala sesuatu akan memberkahi satu Qirsy (mata uang Mesir) dari Qirsy-Qirsy yang diinfakkan oleh Ikhwanul Muslimin. Sebagaimana firman Allah swt.
Artinya: “Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan pahalanya” (Q. S. Ar-Rum, ayat 39).
Dengan keikhlasan mereka untuk bersedekah demi tegaknya dakwah Islamiyah, maka mereka banyak membangun sarana-sarana sosial seperti sekolah-sekolah, rumah sakit-rumah sakit, dan sebagainya. Bahkan mereka mau menyumbangkan tanah-tanah mereka untuk pembangunan sarana dan prasarana pendukung lainnya (Jamilah, 1993: 141).

C. Pelaksanaan dakwah Ikhwanul Muslimin
Berikut akan diberikan deskripsi pelaksanaan dakwah yang dilakukan Ikhwan dengan beranjak dari perencanaan yang telah mereka tetapkan sebelum kegiatan dilakasnakan.
Sebagai hasil dari pemahaman konperehensif atas ajaran Islam, maka fikrah dan aktivitas Ikhwan juga melingkupi semuanya. Fikrah mereka melingkupi seluruh aspek “islahul ummah” (perbaikan masyarakat) dan tercermin di dalamnya setiap unsure berbagai pemikiran dalam rangka perbaikan.
Pelaksanaan dakwah Ikhwan akan terlihat dalam dua hal, yaitu bentuk dan sasarannya.

a. Bentuk pelaksanaan dakwah Ikhwan terdiri dari:
1. Dakwah salafiyah; di mana mereka melaksanakan dakwah yang menyerukan agar kembali kepada Islam dari sumbernya yang asli; Kitabullah dan Sunnah Rasul.
2. Thariqah sunniyah; di mana mereka membawa jiwa untuk beramal dengan sunnah yang suci, terutama dalam masalah akidah dan ibadah selama ditemukan jalan untuk itu.
3. Hakikat shufiyah; di mana Ikhwan memahami bahwa asal kebaikan adalah kesucian jiwa, keberhasilan hati, kontinuitas amal, berpaling dari ketergantungan kepada makhluk, cinta kepada Allah (mahabbah fillah), dan mengikat diri kepada kebajikan.
4. Hai’ah siyasiyah; di mana Ikhwan menuntut perbaikan dari dalam terhadap hukum pemerintahan, meluruskan persepsi yang terkait dengan hubungan umat Islam terhadap bangsa-bangsa lain di luar negeri dan membina rakyat menuju kejayaan (‘izzah), dan menjaga identitasnya.
5. Jama’ah riyadhiyah; di mana mereka sangat memperhatikan kebugaran fisik dan memahami bahwa mukmin yang kuat lebih baik daripada mukmin yang lemah. Nabi Muhammad SAW menjelaskan dalam sabdanya:
Artinya: “Sesungguhnya badanmu mempunyai hak atas dirimu (untuk kamu perhatikan)”.
Demikian juga bahwa semua kewajiban dalam Islam tidak mungkin dapat terlaksana dengan sebaik-baiknya tanpa didukung oleh fisik yang kuat dan sehat. Shalat, puasa, zakat, dan haji juga harus dilakukan dengan fisik yang kuat dan sehat.
6. Rabithah ‘ilmiyah tsaqafiyah (ikatan ilmu pengetahuan dan kebudayaan); karena Islam telah menjadikan menuntut ilmu sebagai kewajiban bagi muslim, baik laki-laki maupun perempuan, maka untuk itulah majelis-majelis atau forum-forum Ikhwan pada kenyataannnya merupakan sekolah-sekolah yang menyelenggarakan proses belajar mengajar untuk peningkatan wawasan fisik, mental, maupun rohani.
7. Syirkah iqtishadiyah (usaha ekonomi); karena Islam sangat memperhatikan pemerolehan harta dan pendistribusiannya. Nabi Muhammad SAW dalam berbagai kesempatan menjelaskan:
Artinya:”Sebaik-baik harta adalah (yang dipegang) oleh seorang yang saleh”. Dalam hadis yang lainya Nabi saw., artinya: “Barang siapa yang terbekali oleh hasil keringatnya sendiri, ia menjadi orang yang diampuni” (al-Banna, 1999: 154).
8. Fikrah ijtima’iyah (konsep kemasyarakatan); di mana mereka memberi perhatian pada segala penyakit sosial (pathologi social) yang ada atau yang dialami oleh masyarakat Islam dan berupaya untuk memberi terapi agar terbebas dari penyakit sosial tersebut (al-Banna, 1999:227-229, al-Qaradhawi, 1999:153-155).
Al-Banna (1999: 229) berkomentar:
Demikianlah, kita bisa melihat bahwa integralitas makna kandungan Islam menyatu dengan fikrah kami.Integralitas yang menyentuh semua sisi pembaharuan, dan aktivitas Ikhwan mengarah kepada pemenuhan semua sisi ini. Pada saat orang-orang selain mereka hanya menggarap satu sisi dengan mengabaikan sisi-sisi yang lainnya, maka Ikhwan berusaha menuju kepada sisi-sisi itu semuanya. Ikhwan memahami bahwa Islam memang menuntut mereka untuk memberikan perhatian kepada semua sisi itu.
Dari pelaksanaan dakwah Ikhwan seperti yang telah dikemukakan di atas, selintas akan memunculkan pemahaman bahwa antar sisi yang satu dengan lainnya terdapat hal-hal yang bersifat kontradiktif, tetapi jika diselami dari fikrah Islamiyah mereka secara lebih mendalam di mana mereka meyakini Islam secara konperehensif, maka tidaklah terdapat sisi-sisi yang kontradiktif, bahkan satu dengan lainnya saling mendukung dan memperkuat (al-Banna, 1999: 229).
Kadang-kadang aktivis Ikhwan terlihat sedang khusu’ di Mesjid bahkan sampai menangis sambil berzikir. Tidak lama kemudian ia terlihat sedang mengajar dengan penuh semangat. Apalagi setelah itu ia terlihat pula sudah di lapangan bermain bola atau melatih orang lain lompat jauh atau berenang. Setelah itu ia terlihat lagi sedang tekun di tokonya atau sedang me-nekuni kerajinan tangan. Inilah yang selintas dipandang orang bertentangan; kontradiktif, padahal sebenarnya tidak, tetapi ti-dak lain bahwa ini semua dipertemukan atau dipadukan oleh ajaran Islam, sehingga di dalam ajaran Islam terwujud kese-rasian, keselarasan, dan keterkaitan (al-Qaradhawi, 1999: 155).
Dengan demikian, sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, Ikhwanul Muslimin memfokuskan dakwahnya kepada aspek-aspek Islam yang di antara misinya telah terlupakan karena disengaja ataupun karena tak tahu, seperti negara dan umat, jihad dan ekonomi, kebudayaan dan perundang-undangan, dan seterusnya (al-Qaradhawi, 1993: 68).
Untuk lebih jauh melihat pelaksanaan dakwah yang dilaksanakan oleh Ikhwan, maka bagian-bagian berikut akan dideskripsikan hubungan antara pelaksanaan dakwah Ikhwan dengan berbagai aspek. Hubungan tersebut adalah sasaran dakwah Ikhwanul Muslimin. Namun sebelum sampai kepada pembahasan yang dimaksud terlebih dahulu dikemukakan bahwa sejak semula kelahirannya, kegiatan dakwah tidak hanya dilakukan oleh kaum laki-laki saja, akan tetapi Ikhwan juga mengikutsertakan kaum perempuan di dalamnya. Cabang-cabang “Fatayat” (Persaudaraan Wanita Islam) memiliki cita-cita yang sama dengan kaum laki-laki, hanya saja disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan kewanitaan mereka untuk meningkatkan setinggi-tingginya derajat, harkat dan martabat mereka. Aktivitas fatayat ini dipusatkann pada bidang pendidikan dan kesejahteraan social berdasarkan cita-cita Islam (Jamilah, 1993: 142).

b. Sasaran dakwah Ikhwanul Muslimin, di antaranya adalah:
1. Dakwah Ikhwan dengan pemerintah.
Dengan jelas al-Banna merinci gerakan Ikhwan dalam segala langkahnya, harapan-harapan dan keinginannya ingin mewujudkan Islam sebagaimana yang mereka pahami. Bagi Ikhwan, pemerintahan sebagai tiang utama (pilar) sebagai penyanggahnya, dan eksistensinya sangat tergantung pada penggunaannya. Ikhwan memahami, Rasulullah saw. telah menjadikan pemerintahan pada masanya sebagai kerangka acuan pemerintahan, sebagaimana al-Banna (1999: 248-249) mengungkapkan:
Rasulullah saw. sendiri telah menjadikan pemerintahan sebagai salah satu ikatan Islam. Ia telah dijelaskan dalam buku-buku induk fikih dan akidah, ….
Oleh karena itu jika seorang pembaharu Muslim yang sudah merasa puas hanya menjadi seorang ahli ilmu dan penasehat, menetapkan keputusan hukum, menggelar kajian ushul fiqh dan fikih praktisnya, sementara ia biarkan pemerintah memberlakukan hukum yang tidak diridhai oleh Allah, dan mendorong rakyatnya untk melanggar pemerintah-pemerintah-Nya, maka suara sang pembaharu tadi laksana teriakan di tengah lembah.
Ini adalah kalimat yang telah jelas, dan kalimat itu bukan datang dari kami sendiri. Kami hanya mempertegas apa-apa yang telah ditetapkan hukum Islam itu sendiri. Oleh karena itu, Ikhwanul Muslimin tidak menuntut tegaknya pemerintahan untuk kepentingan dirinya dan kelompoknya.
Dalam kaitan ini, ada satu hal yang ingin saya katakan bahwa Ikhwanul Muslimin belum melihat suatu pemerintahan—baik pemerintahan sekarang maupun yang lalu—yang bisa mengemban amanat dan menunjukkan kesiapannya untuk menegakkan nilai-nilai Islam. Masyrakat hendaknya memahami hal ini dan menuntut kepada pemerintah untuk mendapatkan hak-hak keislamannya. Dan Ikhwanlah yang selama ini bekerja untuk itu.

Untuk mengemban tugas pemerintahan, maka perlu terlebih dahulu menyiapkan masyarakat secara mental, moral dan spritual. Inilah pelaksanaan dakwah Ikhwan dalam hubungannya dengan pemerintahan, sehingga yang diharapkan muncul daripadanya aspirasi masyarakat dan menciptakan kondisi atas pilihan mereka (bottom up), bukan keputusan dari atas (top down) yang dikenakan kepada mereka. Dengan kata lain, pemerintah haruslah memperhatikan aspirasi yang muncul dari bawah (masyarakat). Untuk tujuan ini, Ikhwan sering mengajukan nasehat atau kritikan kepada pemerintah, sekalipun dengan kritikan itu, Ikhwan memperoleh kecaman yang paling pahit, seperti ditangkap dan dipenjarakan, bahkan banyak yang dihukum mati dan diusir dari negeri kelahirannya (Jamilah, 1993: 147).
Dengan demikian, dakwah Ikhwan sesungguhnya tidak hanay ditujukan kepada golongan-golongan menengah ke bawah, tetapi juga ditujukan kepada golongan atas dan elit pemerintahan.

2. Dakwah Ikhwan dalam masalah konstitusi.
Sikap Ikhwan dalam menanggapi konstitusi yang ada adalah bahwa tidak mungkin orang Islam memakai undang-undang yang bertentangan dengan ajaran agamanya, Alquran dan Sunnah Nabi saw. (al-Banna, 1999: 252).
Menurut al-Banna, konstitusi 1923 Mesir sah karena menegaskan bahwa semua perundang-undangan harus selaras dengan prinsip Islam. Di dalamnya dijelaskan jaminan atas kebebasan pribadi, prinsip konstitusi, dan tanggung jawab penguasa kepada rakyat, namun di sisi lain al-Banna juga menyadari bahwa konstitusi itu tidak semuanya baik, karena itu perlu direvisi untuk menjamin penerapan hukum Islam. Misalnya, konstitusi itu tidak secara tegas melarang perjudian, alcohol, prostitusi, dan riba (Rahmena, 1996: 137).
Bagi al-Banna jika konstitusi saja sudah tidak memberikan penjelasan yang tegas tentang prinsip-prinsip yang baik dan tidak baik, maka konstitusi itu sangat lemah dan ambivalen, dari situlah akan terbuka peluang menyalahgunakannya. Untuk itulah, menurut Ikhwan, konstitusi itu harus: pertama, membutuhkan penjelasan, pembatasan dan keterangan; kedua, cara penerapan undang-undang dasar ini agar mencapai tujuan pemerintahan di Mesir merupakan cara yang telah terbukti akan kegagalannya sehingga rakyat kecil tidak memperoleh manfaat melainkan kerugian. Permasalahan ini jelas terlihat pada undang-undang pemilihan umum yang tidak mencantumkan secara jelas sistem pemerintahan, tanggung jawab para menteri dan kerancuan undang-undang. Karena itu kelemahan-kelemahan yang ada harus dieliminir, kata-kata yang tidak jelas harus diberi batasan, dan cara penerapannya juga harus diperbaiki. Inilah yang disebutkan oleh prinsip keadilan “menempatkan sesuatu pada posisinya yang benar” (al-Qaradhawi, 1999: 114).
Inilah dakwah diantara dakwah Ikhwan terhadap perbaikan konstitusi yang ada di Mesir ketika itu, dan bahkan sebagai alternatifnya mereka selamanya tidak setuju apabila tidak digantikan dengan sistem hukum Islam (al-Qaradhawi, 1999: 116). Dengan demikian, jelas sekali terlihat bahwa dakwah Ikhwan tidak lain adalah untuk mengaplikasikan ajaran Islam dalam semua sektor kehidupan, di dalam pemerintahan dan perundang-undangannnya, dan seterusnya.
3. Dakwah Ikhwan Menghadapi Partai-Partai Politik
Ikhwan berkeyakinan bahwa Hizbiyyah (sistem kepartaian) di Mesir yang ada saat itu sangat tidak kondusif. Sebagian besar hanya didorong oleh ambisi pribadi, bukan demi kemaslahatan umum. Jika demikian halnya, pasti akan merusak semua tatanan kehidupan, memberangus kemaslahatan, merusak akhlak, dan memporak-porandakan kesatuan umat (al-Banna, 1999: 260).
Sejalan dengan hal tersebut, al-Banna mengemukakan bahwa bagi Ikhwan, partai-partai politik yang ada hanyalah memecah-belah persatuan umat, memecah-belah bangsa dalam satu negara. Oleh karena itu, sikap Ikhwan tidak memihak kepada salah satu partai politik. Akan tetapi ada beberapa hal yang mereka sepakati, seperti andil tokoh-tokoh politik yang berjuang di Mesir. Dalam hal ini Ikhwan tidak mungkin menutup mata (al-Qaradhawi, 1999: 116).
Keyakinan Ikhwan tersebut terbukti ketika partai-partai politik itu tidak secara tegas memperlihatkan program dan manhajnya. Namun di sisi lain, Ikhwan juga berkeyakinan bahwa di antara manusia ada perbedaan prinsip antara kebebasan berpendapat, berfikir, bersuara, berekspresi, menafsirkan sesuatu, musyawarah dan nasehat–sebagaimana yang telah digariskan oleh ajaran Islam,--tapi bukan berarti fanatisme terhadap pendapat, keluar dari lingkungan jemaah, berusaha terus-menerus untuk memperluas jurang perpecahan di kalangan umat dan mengguncangkan kekuasaan yang resmi. Partai-partai politik yang ada hanya mengekses dampak negatif yang tersebut belakangan, dan itulah yang amat tidak disukai oleh Ikhwan (al-Banna, 1999: 261). Lebih jauh tanggapan dan solusi yang diberikan oleh al-Banna (1999: 262) adalah :
Saya ingin mengatakan kepada saudara-saudara kami dari tokoh-tokoh partai yang ada, ”Sesungguhnya hari di mana Ikhwan akan mempersembahkan geraknya kepada selain fikrah Islamiyah yang diyakininya itu tidak mungkin datang dan akan tidak terjadi. Ikhwan juga tidak akan mendiskreditkan partai tertentu, apapun alasannya. Akan tetapi Ikhwan punya keyakinan (dari kedalaman lubuk hati mereka) bahwa Mesir tidak mungkin akan bisa diislah dan diselamatkan kecuali jika partai yang ada dibudarkan dan menyatu dalam sebuah partai negara yang bergerak dan bekerja untuk mengendalikan umat menuju keberhasilannya sesuai petunjuk Al-Qur’an.
4. Dakwah Ikhwan dalam bidang Akidah.
Pada pembahasan tentang prinsip dakwah Ikhwan terdapat beberapa poin yang menyangkut tentang akidah, seperti menganggap kemunkaran terhadap penggunaan jimat, mantra, makam keramat, ramalan, perdukunan, dan sejenisnya; bila tidak bertentangan dengan akidah dan syari’ah pendapat para imam dan wakilnya boleh diikuti apabila bertentangan dengan akidah dan syari’ah, demikian pula terhadap setiap bid’ah dalam masalah agama yang hanya berdasarkan hawa nafsu harus diberantas.
Kesemua hal di atas ditanggapi oleh al-Banna (Ikhwan) secara serius. Tujuam Ikhwan adalah demi memulihkan kemurnian akidah dari kotoran syirik. Ikhwan menyerukan bahwa asas yang menjadi tumpuan kebangkitan adalah tauhid, yakni mengesakan Allah swt. sebagai satu-satunya yang harus disembah. Dalam permasalahan ini tidak sepantasnya berkiblat ke Barat, tidak seharusnya taqlid ke Barat (al-Banna, 1999: 180).
Dijelaskan oleh Muhammad Abdul Halim Hamid bahwa beliau (al-Banna; Ikhwan) mendasari dakwahnya dengan akidah murni ini dan bahkan menjadikannya sebagai asas dakwah dn syarat bagi siapa saja yang ingin bergabung dengannya (1996: 102).
Bagi Ikhwan, masalah akidah dalam pemikiran dan dakwah adalah persoalan pokok, dasar bangunan dan ruh Islam. Islam merupakan akidah di mana syari’at berdiri tegak di atas landasannya, bercabang darinya akhlak dan perbuatan, bersumber darinya sebuah masyarakat, dan suatu negara diatur oleh hukumnya. Akidah yang dinyatakan dengan iman, sejak semula telah menjadi fokus perhatian al-Banna (Ikhwan). Hal itu demi mengikuti apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW selama 13 tahun pada periode awal (Makkah), menanamkan di dalamnya terutama sekali dasar-dasar iman, hakekat-hakekat tauhid, menyembah-Nya semata dan menjauhkan diri dari (penyembahan) thaghut (al-Qaradhawi, 1999: 278).
Al-Banna berpendapat dalam masalah iman, siapapun bisa dapat disebut muslim, kalau dia mengaku percaya kepada Allah dan kenabian Muhammad saw., berbuat sesuai kepercayaannnya itu, dan menunaikan kewajiban agama. Barulah kemudian disebut kafir bila ia terang-terangan menyatakannya murtad, mengingkari keyakinan dan praktek yang lazim dikenal sebagai bagian dari Islam, dan sengaja mendistorsi arti Al-Qur’an (Rahmena, 1996: 136).
Selain kempat aspek di atas, masih cukup banyak aspek lain yang menjadi sasaran dalam pelaksanaan dakwah Ikhwan, seperti bidang ekonomi, kebudayaan, pendidikan, dan seterusnya.
Adapun untuk menjaga agar dakwah Ikhwan tetap eksis, paling tidak Imam Syahid al-Banna mengemukakan dan menanamkan tiga hal, yaitu :
Pertama, menjaga orisinalitas “Rabbaniyatul Da’wah” (dakwah yang berorientasi kepada Rabbi). Muhammad Abdul Halim Mahmud mengutip tulisan al-Banna dalam Mawarif fi ad-Da’wah menceritakan bahwa suatu saat di kota Rasyid, Ikhwan membuat sebuah acara peringatan Isra’ Mi’raj. Datanglah pembicaranya, yang juga dikenal sebagai salah seorang penyeru dakwah Ikhwan yang paling semangat. Di tengah pembicaraannya penceramah itu mengatakan:
“Perumpamaan kita sekarang dengan yang terhormat tuan Mursyid (menunjuk kepada Imam Syahid al-Banna) adalah seumpama Rasulullah saw. dengan para sahabatnya”. Tidak sampai menunggu pembicaraan selesai, meloncatlah Imam Syahid ke depan. Dengan menghadap hadirin, beliau berkata: “Maaf, tuan pembicara barangkali salah ucap, ada apanya kita bila dibandingkan dengan murid-murid Rasulullah saw.?” Kemudian beliau turun dan kembali ke tempat duduknya semula. Akibat celaan Imam Syahid al-Banna tersebut, sang pembicara tidak dapat meneruskan ceramah-ceramahnya. Hari berikutnya sang pembicara tadi memutuskan hubungan dengan Ikhwan, dan terdengar bahwa ia telah mendirikan perkumpulan baru, yaitu “Jam’iyyah at-Taqwa wa al-Irsyad” .
Dari cerita itu terlihat bahwa Ikhwan tidak mengharapkan pengikutnya menjadikan dakwahnya demi kepentingan pribadi atau kelompok, bukan untuk menjadi penjilat atau semacamnya.
Kedua, membentuk jawwallah (gerakan pramuka; kepanduan). Tujuan pembentukan gerakan kepanduan ini adalah untuk memperkuat barisan. Tujuan lainnya adalah untuk memupuk ketaatan mereka, menguji mental mereka, dan menjaga kesehatan fisik mereka.
Ketiga, jihad. Al-Banna (Ikhwan) mendidik para generasi (anggota)-nya dengan didikan yang dinamis, konstruktif tanpa kenal diam. Ditanamkannya dalam dada mereka bahwa kehormatan hanyalah milik agama dan pengabdian total hanyalah kepada Allah, itu semua dilakukan untuk bangkit memikul beban dakwah Islamiyah dan berjuang di jalan-Nya agar mereka sanngup mengorbankan segala yang dimilikinya sebagaimana pernah dilakukan oleh orang yang telah mendahuluinya (Hamid, 1996: 199).
Ikhwan memandang jihad sebagai fardhu ‘ain dalam hal-hal berikut:
1. Menegakkan syari’at Allah, sebagaimana firman Allah:
Artinya: “Dan perangilah mereka supaya tidak ada fitnah dan supaya din ini semata-mata bagi Allah” (Q. S. al-Anfal, ayat 39).
2. Untuk mempertahankan Negara Islam atau untuk mengembalikan Negara Islam yang dirampas oleh musuh.
3. Dapat menjadi fardhu kifayah jika dalam rangka membebaskan daerah baru dari kejahiliyahan (Garishah, 1994: 106).
D. Hasil-Hasil Pencapaian Dakwah Ikhwanul Muslimin
Hasil-hasil yang dicapai Ikhwan dalam perjalanan dakwahnya terangkum dalam tiga kelompok besar, yaitu bidang keagamaan, social, dan keorganisasian.

1. Bidang Keagamaan
Di Barat, di antara yang menjadi faktor kebangkitan mereka adalah akibat penghancuran agama dan gereja, terlepasnya mereka dari kekuasaan Paus dan cengkeraman para pendeta serta rabi, pemberangusan terhadap segala fenomena kepemimpinan agama di masyarakat dan pemisahan secara total antara urusan agama dengan politik kenegaraan (al-Banna, 1999: 114). Bertolak belakang dengan keyakinan ‘sebagian besar’ umat Islam, demikian juga Ikhwan, memahami Islam seacara konperehensif. Islam tidak mengenal pemisahan antara aspek keagamaan dengan aspek kehidupan duniawiyah, baik secara pribadi, keluarga, maupun dalam bermasyarakat dan bernegara.
Sejak kelahirannya, Ikhwan telah mengkritik habis-habisan tentang ide sekularisme yang terjadi di Mesir dan negeri-negeri Muslim lainnya. Sekularisme yang dibonceng para imperialis merupakan penyakit kronis yang menjangkiti tubuh masyarakat Mesir ketika itu. Penolakan Ikhwan ini memperoleh sambutan baik dari kalangan religius maupun elit-sekuler yang mengenyam pendidikan ala-Barat tersebut mengagungkan produk-produk imperialis, namun kepercayaan yang pernah ada itu—terutama terhadap nasionalisme liberal—terguncang oleh kekalahan Arab di Palestina, terbentuknya negara Israel dukungan Inggris dan Amerika merupakan ketidakmampuan Mesir menggoyang pendudukan Inggris, problem ketenagakerjaan yang meluas, kemiskinan, dan korupsi. Ikhwan telah berhasil secara gemilang menaikkan kepercayaan orang Mesir dan kalangan nasionalis Arab ketika mereka mengambil peran penting dalam Perang Palestina tahun 1948, juga dalam krisis Suez pada tahun 1951 (Esposito, 1996: 134). Terhadap keberhasilan Ikhwan ini, al-Qaradhawi mengacungkan jempol kepada Ikhwan. Baginya, Ikhwan telah berhasil melawan serbuan budaya dengan gemilang, yakni budaya yang dating dari luar, sehingga kepercayaan luar terhadap Islam dapat dihidupkan kembali baik misi maupun peradabannya (1996: 183. Al-Qaradhawi juga mengakui, identitas Islam telah menjadi realitas konkret yang sebelumnya banyak mengundang polemik dan objek pengkambinghitaman di antara paham-paham yang menentangnya. Berafiliasi pada Islam sekarang telah menjadi kebanggaan dan harga diri yang sebelumnya kebanggaan bangsa Mesir diletakkan pada upaya-upaya ingin menisbahkan pada Laut Tengah—dan peradaban masa lalu sebelum Islam--, atau bernisbah pada Barat, atau mengaitkan nasab (keturunan)nya dengan jahiliyah klasik. Loyalitas terhadap Islam sudah kian menguak dan umat Islam telah berani mengatakan, “Kami Arab Muslim, Persi Muslim, India Muslim, Indonesia Muslim, Malaysia Muslim, bahkan banyak yang mengatakan: “Kami Muslim di atas segalanya” (al-Qaradhawi, 1996: 183. Demikian aspek keagamaan yang telah berhasil dicapai Ikhwan secara cemerlang dan menggetarkan musuh-musuh Islam, bukan saja di Mesir tetapi di negara-negara Muslim lain yang telah merajalela menjajah dalam berbagai aspek kehidupan; budaya, pemikiran, dan peradaban.

2. Bidang Sosial
Beberapa hal yang terkait dalam bidang sosial sebagai pencapaian Ikhwan, seperti aspek ekonomi, moral, hukum, semangat persaudaraan (ukhuwah), pendidikan, pelayanan kesehatan, penerangan masyarakat, dan menumbuhkan semangat jihad, beberapa di antaranya akan dijelaskan berikut ini.
a. Aspek ekonomi
Bidang ekonomi merupakan salah satu hasil yang dicapai oleh Ikhwan dalam kegiatan dakwahnya. Di antara prestasi yang dicapai oleh Ikhwan dalam aspek ekonomi adalah bahwa mereka berhasil meningkatkan taraf hidup masyarakat. Cara-cara yang mereka gunakan di antaranya adalah dengan memberikan makanan kepada para fakir miskin dan menyantuni anak-anak yatim. Mereka juga menyediakan kesempatan kerja, terutama di pabrik-pabrik yang mereka dirikan, seperti pabrik tenun pemintalan di Aleksandria. Secara konkret penulis tidak menemukan data tentang usaha-usaha yang diberikan Ikhwan untuk memperbaiki taraf hidup masyarakat. Penulis juga tidak menemukan daerah-daerah yang meningkat taraf penghidupannya. Jumlah keluarga dan kelompok masyarakat yang dibantu oleh Ikhwa, juga tidak penulis temukan datanya yang konkret. Namun secara umum, Ikhwan telah berhasil meningkatkan taraf hidup masyarakat Mesir dari kemiskinan yang melilit kepada penghidupan yang layak.
Di bidang ini, banyak gagasan yang dilontarkan Ikhwan kepada pemerintah seperti memperbaiki undang-undang perpajakan, harus segera mengindustrialisasikan Mesir dengan memberikan perhatian khusus pada industri-industri yang mengolah bahan-bahan pokok dan memberikan jaminan sosial kepada kaum buruh (al-Qaradhawi, 1999: 276). Di sisi lain, Ikhwan juga berhasil menanamkan kepada masyarakat bahwa riba itu adalah haram. Bagi Ikhwan, Islam tidak mentolerir sistem ekonomi kapitalis dan sosialis, maka untuk itu Ikhwan mengagas agar didirikan bank-bank non-riba, bak-bank yang berparadigma Islam (al-Qaradhawi, 1999: 192).
Dengan demikian, aspek atau bidang ekonomi sebagai hasil konkret dari pelaksanaan dakwah Ikhwan cukup berperan bagi Mesir, sekalipun bagi Ikhwan sendiri perjuangan itu harus mereka tebus dengan berbagai kendala dan hambatan.
b. Aspek moralitas
Untuk kebangkitan sutau bangsa tidak bisa dilepaskan dari keluhuran budi pekerti. Ikhwan yakin andaikan orang Timur menyadari akan haknya, kemudian berusaha merubah diri sendiri, membangun kekuatan spritual yang dahsyat dan membina keluhuran budi pekerti, niscaya sarana-sarana fisik akan datang kepada mereka dari berbagai arah. Hal inilah yang paling penting untuk membangun masyarakat dibanding hanya bersifat fisik saja (al-Banna, 1999: 75).
Keberhasilan Ikhwan di bidang moral ini terlihat dari reinterpretasi al-Banna atas sejarah dan tradisi Islam yang menghasilkan inspirasi dan membimbing banyak gerakan reformasi sosial moral (sosio-moral) yang berorientasikan Islam. Pandangannya tidak hanya mendasari organisasinya, tetapi juga gerakan-gerakan Islam lainnya yang menyebar di seluruh penjuru dunia Islam lainnya pada dekade-dekade sesudahnya (Esposito, 1996: 136).
c. Aspek hukum dan perundang-undangan
Bagi Ikhwan yang terpenting adalah bahwa hukum negara tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Hukum yang ada harus jelas hingga semua orang terpuaskan. Ini jelas merupakan kaidah pertama dalam sistem Islam. Tanpa semua itu, persoalan tidak mungkin bisa jernih dan lurus (al-Banna, 1999: 308).
Di bidang hukum dan perundang-undangan ini Ikhwan berhasil menetapkan kelayakan perundang-undangan hukum Islam yang mengungguli hukum buatan manusia dan dapat diterapkan pada setiap masa dan tempat. Ia mendahului prinsip-prinsip dan teori-teori yang dikembangkan duni Barat. Bahkan para pakar hukum dan ekonomi konvensional banyak yang menjadikan pemikiran Islam sebagai pegangan mereka (al-Qaradhawi, 1999: 185).
d. Aspek ukhuwah (penumbuhan semangat persaudaraan atau persatuan)
Praktek-praktek persaudaraan yang diwujudkan kaum Muhajirin dan Anshar ketika peristiwa hijrahnya Rasulullah saw. dengan para sahabatnya menjadi rujukan utama persaudaraan yang dikembangkan oleh Ikhwan (al-Banna, 1999: 80.
Sesuai dengan namanya, Ikhwanul Muslimin yang artinya “Persaudaraan sesama Muslim”, mereka mampu mengisi perasaan masyarakat Islam di negeri-negeri Muslim baik di Barat maupun Timur, dengan membangkitkan semangat dan harapan baru dalam jiwa manusia Muslim untuk membela saudara sesama Muslim dan memperjuangkan masalah-masalah negeri-negeri Muslim. Ia mampu mengalihkan perasaan nasion yang sempit ke ufuk Islam yang luas, sehingga di manapun ia berada, bahasa manapun yang digunakan, apapun warna kulitnya, dari bangsa manapun ia datang, apabila ia menemukan seorang Muslim lainnya, maka mereka bersaudara. Dalam bait-bait puisinya, anggota Ikhwan mengatakan:
Hanya Islam hakikat negeriku
aku tidak mencari selain itu
putra putriku semua saudaraku,
Mesir, Syam, Nejed, dan seluruh penjuru
Juga Baghdad, mereka semua umatku
yang ada di India atau di Maghribi, kau saudaraku
aku bagian dari tubuhmu
dan akupun bagian dari tubuhku
jangan bertanya tentang rasku
atau keturunanku
sebab Islamlah ayah ibuku
(Sebagaimana dikutip al-Qaradhawi, 1999: 187).
Intisari dari puisi di atas terefleksikan oleh bangsa-bangsa Islam dalam sikapnya tentang masalah-masalah Palestina, Bosnia, Somalia, Iraq, dan sebagainya, dari Mauritania hingga Jakarta (Indonesia), tanpa melihat atribut yang melekat pada mereka. Dari rasa persaudaraan yang dikembangkan Ikhwan itulah, maka kemudian mereka memberi batasan pengertian tanah air dengan kesatuan akidah, bukan seperti yang dipahami dalam paham patriotis di mana tanah air suatu negara dibatasi oleh batas-batas wilayah geografis.
e. Aspek pendidikan
Dalam aspek sarana-sarana fisik, Ikhwan berhasil membangun berbagai fasilitas sosial. Perhatian Ikhwan paling besar tercurahkan pada pendidikan. Ikhwan berhasil menetapkan kurikulum agama sebagai materi pokok di setiap sekolah dan perguruan tingginya. Mereka juga berhasil meletakkan strategi pengajaran yang baku dalam rangka meningkatkan dan mendongkrak kualitas sistem pendidikan (al-Banna, 1999: 121). Adapun tujuan pendidikan bagi Ikhwan adalah pembentukan generasi Muslim yang memahami Islam dengan baik, secara konperehensif dan seimbang; mengimani secara baik di mana imannya terefleksikan dalam amal perbuatan, melakukan dakwah untuk ber-Islam dan memperjuangkannya dengan harta dan jiwa, selain itu agar supaya generasi ini bersatu secara pemikiran dengan kesatuan tujuan dan konsep serta prinsip-prinsip konperehensif; secara emosional dengan memperdalam makna persaudaraan dan mencintai karena Allah; secara ilmiah dengan melebur dalam satu pengirganisasian yang mentaati satu kepemimpinan yang terpercaya, menghormati syura, saling memberikan nasehat dalam hal kebenaran dan kesabaran serta tolong menolong dalam hal kebaikan dan ketakwaan (al-Banna, 1999: 188).
Bukti konkret keberhasilan pendidikan Ikhwan adalah perang yang dilancarkan Ikhwan atas inisiatif sendiri dan cobaan-cobaan yang dialami setelah itu, sebagai akibatnya. Al-Qaradhawi menjelaskan hal itu sebagai suatu kebenaran yang menggambarkan satu generasi rabbani, Muslim pikirannya, ruhaninya dan perilakunya.
f. Aspek pelayanan kesehatan
Ikhwan sangat memperhatikan urusan kesehatan secara umum dengan mengundang juru penerangan kesehatan untuk berbicara di berbagai pelosok, memperbanyak jumlah rumah sakit, puskesmas keliling, dan mempermudah prosedur pengobatan (al-Banna, 1999: 121). Karena itu, Ikhwan, di samping membangun sarana-sarana pendidikan, juga membangun klinik-klinik dan rumah sakit-rumah sakit dan sarana-sarana fisik lainnya (sebagaimana telah dikemukakan pada pembahasan-pembahasan terdahulu).
g. Aspek penerangan masyarakat
Untuk menyebarkan dakwah dan memasyarakatkan ajaran-ajaran Islam, selain melalui aktivitas nyata (konkret) dan sikap (perilaku), Ikhwan juga mempergunakan sarana-sarana media massa seperti surat kabar maupun majalah (al-Banna, 1999: 17). Pada bagian-bagian terdahulu telah dikemukakan bahwa Ikhwan juga menerbitkan karya-karya mereka pada penerbitan-penerbitan mereka, seperti surat kabar, majalah, dan sebagainya.
h. Menumbuhkan semangat jihad
Ikhwan menyadari bahwa dakwah mereka tidak akan memperoleh kemenangan kecuali dengan jihad, kesungguhan, dan pengobatan jiwa raga. Mereka berjihad dengan sebenar-benar jihad dan seruan Dzat Yang Maha Rahman kepada mereka (al-Banna, 1999: 148). Di antara semua ciri luar biasa yang dimiliki Ikhwan adalah penekanannya pada semangat berjihad.Bagi gerakan ini, amal ibadah seorang Muslim tidak akan berguna sama sekali bila ia tidak siap mempertaruhkan nyawa untuk membela keyakinan tanpa mengharapkan balasan di dunia kecuali karena cintanya kepada Allah swt dan hari akhirat. Untuk memperkuat diri dalam melaksanakan jihad, Ikhwan mendirikan perkumpulan-perkumpulan olah raga (hal ini juga telah dikemukakan pada bagian terdahulu) dan kepanduan serta latihan kemiliteran bagi para pemuda yang akhirnya membentuk pasukan tentara sendiri (Jamilah, 1993: 143).
Masih cukup banyak prestasi yang diraih oleh Ikhwan. Keberhasilan Ikhwan sudah dirasakan oleh generasi-generasi sesudahnya terutama organisasi-organisasi Islam yang memandang Ikhwan sebagai organisasi yang patut dicontoh. Dengan melihat hasil-hasil yang mereka peroleh itu dan dengan ketangguhan mereka dalam menghadapi setiap cobaan yang menimpanya, Ikhwan memang pantas untuk dicontoh.

3. Bidang Keorganisasian
Ikhwan melihat bahwa masa kehidupan yang paling rawan tidak lain adalah di masa peralihan. Oleh karena itu perlu kesadaran terhadap masa tersebut. Selanjutnya menyusun langkah-langkah ke depan, memperhatikan dan mengenali orientasi kehidupan, dan bagaimana cara menghadapinya (al-Banna, 1999: 93). Ke dalam hal ini Esposito berkomentar: “Aktivitas Islam kontemporer berutang budi kepada ideologi dan contoh orgnisatoris yang ditemukan dalam tubuh Ikhwan ..., yang telah memperlihatkan pengaruhnya dalam perkembangan organisasi modern dunia Islam” (1996: 93).
Dengan demikian, jelaslah terlihat urgensi kesatuan-kesatuan dalam jamaah-jamaah untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Itulah orgnanisasi-organisasi yang berada di bawah panji ke-Islam-an.
Dari ketiga bidang hasil yang dicapai oleh Ikhwan sebagaimana di atas, terlihat bahwa gerakan ini sangat sukses dan layak dijadikan referensi bagi organisasi-organisasi yang bergerak dalam bidang dakwah, tetapi tentu saja sedapat mungkin mengesampingkan sikap-sikap represif yang dilakoni Ikhwan. Ikhwan memang memahami Islam secara konperehensif, sehingga mereka berusaha melakoni semua ajaran Islam, tidak hanya satu aspek saja sementara yang lain ditinggalkan. Sebab jika hanya mengambil sebagian aspek saja akan terjadi ketimpangan dan pada gilirannya banyak permasalahan dan tuduhan yang menyudutkan Islam sebagai akibat tidak mengamalkan Islam secara ‘kaffah’. Ikhwan tidak menghendaki hal-hal yang demikian. Kendati demikian, Ikhwan tetap saja banyak mendapat hambatan dan tantangan, sehingga benturan fisikpun tidak jarang terjadi, bahkan mereka rela dipenjara dan bahkan dihukum mati.


BAB V
P E N U T U P

A. Kesimpulan
Ikhwanul Muslimin cukup diakui sebagai salah satu organisasi dakwah yang berperan di abad ke-20 yang lalu, bahkan sampai sekarang. Ia hadir sebagai reaksi atas adanya problema masyarakat terutama dalam bidang keagamaan, politik dan ekonomi di Mesir khususnya dan dunia Islam umumnya. Pengakuan ini dibuktikan dengan banyaknya orang yang bergabung dengannya, bukan saja di Mesir sebagai tempat kelahirannya bahkan di berbagai negara lainnya.
Sebagai organisasi dakwah Ikhwan merasa perlu memiliki landasan kerja yang jelas, yaitu prinsip yang harus diperpegangi oleh organisasi tersebut. Prinsip Ikhwan pada dasarnya adalah pemahaman terhadap Islam secara konperehenasif dan universal, sehingga aktivitas dakwah mereka berusaha menjangkau berbagai aspek yang dipahami itu.
Dalam rangka mendapat hasil yang baik dan maksimal, maka Ikhwan, sebelum melaksanakan kegiatan dakwah terlebih dahulu menetapkan perencanaan yang baik dan matang. Perencanaan yang dilakukan Ikhwan ternyata memberikan kontribusi besar bagi pencapaian-pencapaian dakwah di abad ini. Perencanaan itu dimulai dari fikrah (pemikiran) hingga penentuan langkah-langkah yang mereka tempuh dan pada kahirnya dakwah mereka disambut dengan baik oleh sebagian besar masyarakat Mesir bahkan umat Islam lainnya di berbagai penjuru dunia. Harus diakui bahwa resiko setiap kegiatan pasti ada, tinggal bagaimana menghadapi dan menyikapi resiko yang muncul. Bagi Ikhwan resiko itu bukan untuk dihindari sehingga lari dari tujuan organisasi, tetapi untuk dihadapi apapun yang akan terjadi, tidak terkecuali harus dipenjara bahkan dihukum mati. Perjuangan, sekecil apapun, pasti memilki dua sisi; pro dan kontra, tetapi jangan hanyut dengan yang pro dan jangan pula putus asa dengan yang kontra. Itulah sikap Ikhwan.
Bagaimanapun, Ikhwan telah berupaya keras menjadikan Islam melalui gerakannya hidup di tengah-tengah masyarakat dengan berbagai aktivitas dakwah yang melingkupi berbagai aspek kehidupan; sosial keagamaan, politik, pembangunan sarana fisik, kesehatan, pendidikan, penerangan, dan sebagainya, yang mereka yakini Islam mengajarkannya. Islam mengajarkan: “Masuklah ke dalam Islam secara ‘kaffah’/’syumul’, tidak setengah-setengah atau hanya memilih yang menguntungkan saja”. Untuk itulah aktivitas dakwah Ikhwan diarahkan untuk menjawab hal tersebut.
Keberhasilan Ikhwan dapat disaksikan dari segi fisik dan non-fisik, sebagaimana aktivitas dakwahnya, bahkan juga dapat dilihat dari segi organisasinya yang cukup rapi dan dikelola secara modern. Di dalamnya diajarkan sistem kaderisasi, sistem perencanaan, pengorganisasian, persaudaraan, kesehatan dan kebugaran fisik, kemandirian, dan seterusnya. Keberhasilan ini menjadikan mereka cukup disegani—baik kawan maupun lawan. Tetapi semuanya mereka yakini sesuai dengan tuntunan Alquran dan Sunnah Nabi saw. dan mereka berjalan meniti jalannya “Salafiyah”.

B. Saran-Saran
Dengan memperhatikan ketertinggalan umat Islam dibanding orang-orang Barat, Ikhwan merasa tersentuh dan ingin melampaui mereka dengan tanpa harus berpaling dari sumber ajaran Islam Alquran dan Sunnah. Ikhwan kemudian mendirikan organisasi yang dikelola secara modern dengan mempergunakan prinsip-prinsip manajemen modern, salah satunya planning (perencanaan). Selayaknya organisasi-organisasi dakwah/Islam mempelajari prinsip, perencanaan dan pelaksanaan dakwah Ikhwan. Selayaknya melihat faktor-faktor penentu keberhasilan mereka. Selayaknya memperhatikan manhaj dakwah dan visioner mereka.
Praktisi-praktisi dakwah hendaknya selau meningkatkan profesionalisme, sebagaimana Ikhwan menerapkannya. Mereka terus-menerus belajar dan meningkatkan kualitas diri dengan tanpa harus dipuja oleh manusia, tetapi hanya mengharap pujaan (kemuliaan) dari Allah swt. Profesionalisme yang paling tinggi tidak lain adalah keikhlasan. Dengan keikhlasan, maka pamrih-pamrih duniawiyah akan turur serta mengiringinya, tetapi jika pamrih-pamrih duniawiyah yang dikejar—mungkin saja dapat—tetapi kemuliaaan di sisi Allah tidak akan diperoleh.
Bergabung dalam satu gerakan atau organisasi dakwah jauh lebih baik ketimbang bekerja secara sendiri-sendiri, sebab akan lebih banyak yang bisa dikerjakan dengan berkelompok ketimbang mengerjakan sesuatu dengan seorang diri. Kalaupun ‘tidak mungkin’ (dalam tanda kutip) mendirikan satu wadah yang orang Muslim mau bergabung semuanya ke dalamnya, tetapi tetaplah menjadi bagian dari satu organisasi tertentu yang konsern terhadap Dakwah Islamiyah. Semoga Sukses, Insya Allah !!!


DAFTAR PUSTAKA

Atmosudirdjo, S. Prajudi. Administrasi dan Management Umum. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1987.
Al-Banna, Hasan. Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin (terj.) Anis Matta, dkk. Solo: Era Intermedia, 1999.
Esposito, John L. Ancaman Islam: Mitos atau Realitas. (terj.) Alwiyah Abdurrahman dan MISSI. Bandung: Mizan, 1996.
Garishah, Muhammad Ali. Lima Dasar Gerakan al-Ikhwan. (terj.) Salim Basyarahil. Jakarta: Gema Insani Press, 1994.
Hamid, Muhammad Abdul Halim. Ibnu Taimiyah, Hasan al-Banna dan Ikhwanul Muslimin. (terj.) Wahid Ahmadi. Solo: Citra Islami Press, 1996.
Hatta, Mohammad. Citra Dakwah di Abad Informasi. Medan: Widyasarana, 1995.
Hoeve, Ichtiar Baru Van (Tim). Ensiklopedi Islam 2. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994.
Jamilah. Maryam. Para Mujahid Agung. (terj.) Hamid Luthfi A. B. Bandung: Mizan, 1993.
Khaliq, Syaikh Abdurrahman Abdul. Metode dan Strategi Da’wah Islam. (terj.) Marsuni Sasaky & Mustahab Hasbullah. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1996).
Munawwir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawwir: Arab-Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1984.
Poerwadarminta, W. J. S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1984.
Al-Qaradhawi, Yusuf. Sistem Kaderisasi Ikhwanul Muslimin. (terj.) Tim Pustaka Mantiq. Jakarta: Penerbit Pustaka Mantiq, 1979.
_________________. Menuju Kesatuan Fikrah Aktivis Islam. (terj.) A. Najiyullah. Jakarta: Robbani Press, 1993.
_________________. 70 Tahun al-Ikhwan al-Muslimun: Kilas Balik Dakwah, Tarbiyah, dan Jihad (terj.) Mustolah Maufur, & Abdurrahman Husain. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1999.
Rahmena, Ali. (ed.) Para Perintis Zaman Baru Islam (terj.) Tim Penerbit Mizan. Bandung : Mizan, 1995.
Sadzali, Muniawir. Islam dan Tata Negara : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: UI Press, 1991.
Shaleh, Abd. Rosyad. Manajemen Dakwah. Jakarta : Bulan Bintang, 1993.
Syukir, Asmuni. Dasar-Dasar Strtegi Dakwah Islam. Surabaya: Al Ikhlas, t.t.
Tim Penulis IAIN Syahid (ketua: Harun Nasution). Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta : Djambatan, 1992.


DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Hasnun Jauhari Ritonga dilahirkan di Desa Batang Garut, Kec. Dolok, Kab. Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, tanggal 7 Agustus 1974 dari pasangan Juli Ritonga dengan Siti Aman Rambe. Saya anak pertama dari 8 orang bersaudara. SD saya selesaikan tahun 1988 dari SDN 142884 Batang Garut. Selagi duduk di kelas V dan VI SD saya sempatkan nyantri di sore hari. Sehabis sekolah pagi (SD) saya sebelum kemudian nyantri sore harinya. Hasilnya saya belikan buku-buku yang dibutuhkan pada sekolah ngaji itu. Dari situlah saya kenal nahwu, sharf, ushfuriyyah, dan sebagainya. Pendidikan di Madrasah saya lanjutkan ke MTs Negeri Medan Filial Rantau Prapat dan selesai tahun 1991. Setelah selesai dari MTs saya berkeinginan melanjutkan ke pesantren. Mula-mula (tahun 1991) saya mendaftar di Pesantren Irsyadul Islamiyah Desa Tanjung Medan, Kecamatan Kampung Rakyat, Kabupaten Labuhan Batu, tetapi saya di sana hanya bertahan tidak lebih dari sebulan, kemudian saya coba lagi ke Pesantren Modern Darul Muhsinin, Desa Janji Manahan Kawat, Kec. Bilah Hulu, Kab. Labuhan Batu di sana juga tidak sempat mengikuti ujian semesteran. Akhirnya di tahun 1991 itu saya harus menghabiskannya dengan tidak melanjutkan sekolah formal. Barulah di tahun 1992 saya bersekolah di MAN 1 Medan Lokasi Patumbak dan selesai tahun 1995. Prestasi di kelas Alhamdulillah begitu memuaskan, hingga di akhir semester saya ditawarkan masuk jalur PMP USU dan PMDK IKIP Negeri Medan tetapi semuanya saya tolak. Toh, akhirnya bersama beberapa teman se-alumni saya malah ikut bimbingan intensive di BT Dakwah USU dan ikut UMPTN dan bersamaan dengan itu pula saya juga mengikuti Ujian Masuk IAIN-SU. Jalur UMPTN tidak lulus, tetapi di IAIN-SU lulus pada Fakultas Dakwah Jurusan Manajemen Dakwah. Perkuliahan berlangsung selama lebih kurang 5 tahun hinga selesai di bulan Mei tahun 2000.
Lima bulan berikutnya saya menikah, sementara waktu saya hanya mengajar di SMP Nurul Hasanah Padang Bulan Medan, sekaligus di sore harinya mengajar di MDA pada Yayasan yang sama. Berselang 4 bulan setelah menikah (Februari 2001) saya ditawarkan untuk bekerja sebagai salah satu redaktur di Harian Media Riau di Pekanbaru, saya seorang diri berangkat ke sana, dan barulah di bulan Mei isteri saya Sri Umiati menyusul yang kebetulan perkuliahannya di STIE Tampan Medan tinggal hanya menyusun tesis. Pada bulan 26 Mei 2002 isteri saya melahirkan putra kami di Pekanbaru yang diberi nama Humaidi Hilman Hajri, sekitar 1 bulan setelah wisudanya berlalu. Tepat 1 tahun usia putra kami, kami kembali ke Medan. Di Medan, selain aktif mengisi ceramah-ceramah agama kesehariannya ikut serta menjadi pengurus (Sekretaris) pada Yayasan Nurul Hasanah Padang Bulan Medan. Pada tahun 2004 tepatnya 24 Oktober kami kedatangan tamu istimewa, seorang anak gadis yang kemudian diberi nama Siti Ramadhina Hajri.
Pada saat kuliah saya ikut aktif di organisasi kemahasiswaan dan mengikuti berbagai seminar dan pelatihan, di antaranya LKD HIMMAH (1996), PKD SMF FD (1998), Trend 2000 Pemuda Keadilan USU, Bimbingan Jurnalistik LPWI Ummul Quro Grobogan Jateng (1998). Di samping itu aktif menulis pada berbagai harian dan majalah, seperti Harian WASPADA, MIMBAR UMUM (Medan). Harian PELITA (Jakarta), Majalah SATYA BHAKTI Dispen POLDASU (sejak tahun 1999). Tahun 2005 saya Kuliah di Program Pascasarjana (PPs) IAIN-SU pada Program Studi Komunikasi Islam (S2). Pada tahun 2006 diterima sebagai Calon Dosen pada Fakultas Dakwah IAIN-SU.
Saat ini selain sedang menyelesaikan tesis yang berjudul: “Analisis Landasan Komunikasi Islam” juga aktif memberikan kuliah dan ceramah-ceramah agama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar