Senin, 24 Mei 2010

Profil Jurusan Manajemen Dakwah IAIN-SU Medan

PROFIL JURUSAN MANAJEMEN DAKWAH

FAKULTAS DAKWAH IAIN SUMATERA UTARA

IzinPenyelenggaraan :
Nomor SK Pendirian PS : E / 4 / 1996
Tanggal SK : 08 – 01 – 1996

Pejabat Penandatangan SK : Dirjen Binbaga Islam Departemen Agama RI

Visi :
"Menjadikan Program Studi Manajemen Dakwah sebagai lembaga pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat yang terbaik di Sumatera".

Misi :
"Menyelenggarakan Tri Dharma Perguruan Tinggi dalam bidang pengelolaan organisasi Islam dalam rangka mengoptimalkan pengelolaan dakwah di tengah-tengah masyarakat".

Tujuan :

  1. Menghasilkan sarjana muslim yang ahli dan profesional dalam bidang Manajemen Dakwah.
  2. Menjadikan alumni yang ahli dalam bidang organisasi dan kelembagaan sehingga punya wawasan keilmuan Islam dan dakwah, menguasai manajemen dan keorganisasian baik formal dan non formal, terampil dalam mengelola organisasi serta mampu mengambil sikap dan benar dalam menangani problema keorganisasian dan kelembagaan Islam.


Pengelola Jurusan:
1. Jabatan-Jabatan:
KETUA
: Dra. Rosmani Ahmad, MA
SEKRETARIS : Ahmad Tamrin Sikumbang, MA
KEPALA LABORATORIUM : Hasnun Jauhari Ritonga, S.Ag., MA
STAF : Dra. Aisyah, M.Ag.

2. Pendidikan :

Dra. Rosmani Ahmad, MA

S.1 :IAIN Imam Bonjol Padang

S.2 : Program Pascasarjana IAIN-SU Medan

S.3 : Sedang Disertasi di Program Pascasarjana IAIN-SU Medan dengan Konserntrasi Agama dan Filsafat Islam (AFI)

Bidang Keahlian: Ilmu Tauhid

Ahmad Tamrin Sikumbang, MA

S.1 : Fakultas Dakwah IAIN-SU Medan

S.2 : Komunikasi Islam PPs IAIN-SU Medan

S.3 : Sedang Mendaftar pada Konsentrasi Komunikasi Islam PPs IAIN-SU Medan

Bidang Keahlian: Ilmu Komunikasi

Hasnun Jauhari Ritonga, S.Ag., MA

S.1 : Manajemen Dakwah pada Fakultas Dakwah IAIN-SU Medan

S.2 : Komunikasi Islam PPs IAIN-SU Medan

S.3 : berencana melanjutkan ke Konsentrasi Manajemen Informasi, Manajemen Komunikasi, atau Sistem Informasi Manajemen.

Bidang Keahlian: Manajemen Organisasi

Dra. Aisyah, M.Ag.

S.1 : Fakultas Ushuluddin IAIN-SU Medan

S.2 : PPs IAIN-SU Medan

S.3 : Sedang Disertasi pada Konsentrasi Agama dan Filsafat Islam (AFI)

Bidang Keahlian: Antropologi Agama dan Budaya

Berikut ini tulisan-tulisan dari Hasnun Jauhari Ritonga, S.Ag., MA:

TINJAUAN TERHADAP PERANAN
BUDAYA ORGANISASI

Oleh Hasnun Jauhari Ritonga[1]
Staf Pengajar Fakultas Dakwah IAIN Sumatera Utara dan Fakultas Komunikasi Universitas Dian Nusantara Medan


Kata kunci: budaya organisasi, kinerja, identitas
Budaya organisasi merupakan pemahaman terhadap norma, nilai, sikap, dan keyakinan yang dimiliki bersama oleh semua anggota organisasi. Dengan demikian, budaya organisasi akan menjadi kerangka kerja yang menjadi pedoman tingkah laku sehari-hari, pedoman dalam membuat keputusan, serta mengarahkan tindakan anggota organisasi untuk mencapai tujuan organisasi. Berdasarkan itu pula, maka budaya organisasi akan mengilhami setiap langkah dalam menentukan perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan, dan pengendalian organisasi. Tidak disangkal lagi bahwa budaya organisasi sangat besar peranannya dalam menggerakkan orang-orang yang berada di dalamnya. Ia menjadi asset atau aktiva yang tak bergerak tetapi ia malah menjadi penggerak berjalannya roda organisasi. Pada gilirannya kinerja organisasi akan semakin meningkat seiring dengan terinternalisasinya budaya organisasi pada anggota organisasi tersebut. Hal ini tentu akan bisa terjadi jika orang-orang yang berada di dalam organisasi memahami budaya organisasi sebagai sebuah kepribadian. Dan oleh karenanya, ia dijadikan sebagai suatu identitas.


PENDAHULUAN

Seringkali budaya di dalam suatu organisasi harus diubah karena harus mengikuti perkembangan zaman dan lingkungan yang terus berubah. Bagaimanapun, organisasi sebagai sebuah sistem terbuka menyiratkan arti bahwa kehidupan sebuah organisasi dipengaruhi oleh perubahan zaman dan lingkungannya.
Secara umum, lingkungan dapat dipahami bukan saja lingkungan eksternal, tetapi juga lingkungan internal. Keduanya sangat berpengaruh terhadap gerak langkah suatu organisasi. Lingkungan eksternal berarti sesuatu yang datang dari luar organisasi, baik yang secara sengaja dan simultan bersentuhan dengan organisasi maupun yang hanya bersifat insidentil. Sedangkan lingkungan internal berarti segala hal yang berada di lingkungan organisasi, baik yang terkait dengan benda atau orang (fisik), maupun yang hanya berupa pemikiran atau ide (non-fisik).
Selalu terjadi ketidakpastian lingkungan. Perubahan tersebut dipicu oleh berbagai faktor, misal: persaingan, lompatan teknologi, politik, pergerseran ciri-ciri demografi, dan peningkatan pendapatan serta harapan sosial. Dengan perkataan lain, organisasi menjadi bersifat multifaset dan kompleks, organisasi adalah subjek dari kekuatan eksternal untuk mengendalikan perubahan yang diperlukan. Oleh karena itu, agar organisasi tetap hidup, maka setiap organisasi harus mampu menemukan cara baru untuk terus berubah dan berkembang.
Perubahan cara pengelolaan organisasi tersebut tentu saja menuntut perubahan mendasar dalam pola pikir dari seluruh anggota organisasi. Termasuk didalamnya perubahan yang memfokuskan pada ketrampilan, pengetahuan, dan perilaku. Dalam rangka mengantisipasi perubahan yang terjadi secara konstan, organisasi juga harus melakukan perubahan organisasi agar tetap survive. Perubahan itu harus berlandaskan budaya untuk bisa atau mampu beradaptasi. Perubahan budaya organisasi juga harus diarahkan kepada perilaku individu yang searah dengan tujuan organisasi. Berangkat dari gambaran umum tersebut, maka tulisan ini akan mengeksplorasi peran budaya dalam organisasi terutama keterkaitannya dengan peningkatan etos kerja orang-orang yang terlibat di dalamnya.

PENGERTIAN BUDAYA ORGANISASI
Organisasi sebagai tempat berkumpulnya orang-orang dalam rangka mencapai satu tujuan tertentu dengan berbagai program yang telah direncanakan sebelum suatu kegiatan dilaksanakan, pastilah memiliki keragaman pola dan sikap di antara anggotanya. Sebelum bergabung dengan satu organisasi, seseorang memiliki pola dan sikap yang membentuk budaya dalam kesehariannya. Ketika memasuki suatu organisasi, budaya yang dianutnya masih melekat pada dirinya. Tetapi oleh pimpinan dan masyarakat atau lingkungan organisasi akan mengarahkannya kepada budaya yang dianut oleh organisasi tersebut. Tercipatalah budaya yang terpadu di dalam suatu organisasi. Dengan demikian, kendati seseorang memiliki budaya tertentu sebelum memasuki organisasi, mau tidak mau, setelah masuk ke dalamnya harus menyesuaikan diri dengan budaya yang ada di dalam organisasi tersebut.
Apa sebenarnya budaya organisasi itu? Para pemerhati dan peminat budaya organisasi agaknya masih ragu-ragu memberikan defenisi yang defenitif. Alasannya, sangat sulit memberikan batasan yang seragam, karena masing-masing melihatnya dari sudut yang—mungkin saja—berbeda. Karena begitu sulit mendefinisikan budaya organisasi, banyak yang menyetujui bahwa budaya organisasi ada, akan tetapi hanya sedikit yang setuju dengan ‘apa yang dimaksud dengan budaya organisasi’. Berbagai sudut pandang – dari sudut antropologi, psikologi organisasi, serta teori manajemen – telah menghasilkan begitu banyak definisi budaya organisasi.
Edgar H. Schein misalnya, mengemukakan bahwa budaya yang ada dalam organisasi memiliki tiga elemen dasar, yaitu: artifak, nilai-nilai yang didukung (espoused values), serta asumsi yang mendasari (underlying assumtions).[2] Artifak merupakan hal-hal yang dilihat, didengar, dan dirasa kalau seseorang berhubungan dengan sebuah kelompok baru dengan budaya yang tidak dikenalnya. Yang termasuk dalam artifak antara lain: produk, jasa, bahkan tingkah laku anggota organisasi tersebut. Artifak ada di mana-mana, dan kita dapat belajar mengenai suatu budaya dengan memperhatikan artifak tersebut. Sedangkan yang dimaksud dengan nilai-nilai yang didukung adalah alasan yang diberikan oleh sebuah organisasi untuk mendukung cara organisasi tersebut dalam melakukan sesuatu. Selanjutnya, asumsi dasar merupakan sebuah keyakinan yang dianggap sudah ada oleh anggota suatu organisasi. Budaya menetapkan “cara yang tepat untuk melakukan sesuatu” di sebuah organisasi, sering kali lewat asumsi yang tidak diucapkan.
Umar Nimran mendefinisikan budaya organisasi sebagai suatu sistem makna yang dimiliki bersama oleh suatu organisasi yang membedakannya dengan organisasi lain.[3] Artinya, bahwa budaya organisasi merupakan suatu pengalaman, sejarah, keyakinan dan norma-norma bersama yang menjadi ciri perusahaan atau organisasi.
Dengan demikian, budaya organisasi merupakan pemahaman terhadap norma, nilai, sikap, dan keyakinan yang dimiliki bersama oleh semua anggota organisasi. Dapat juga dikemukakan bahwa budaya organisasi merupakan kerangka kerja yang menjadi pedoman tingkah laku sehari-hari, pedoman dalam membuat keputusan, serta mengarahkan tindakan anggota organisasi untuk mencapai tujuan organisasi. Budaya harus sejalan dengan tindakan-tindakan organisasi, seperti perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan, dan pengendalian. Apabila budaya tidak sejalan dengan tugas-tugas tersebut maka organisasi akan menghadapi masa-masa yang sulit. Oleh karena itu, budaya memiliki peran sentral dalam manajemen strategis. Hal ini berarti meruapakan indikasi bahwa organisasi yang efektif tidak akan bisa dilepaskan dari masalah budaya organisasi.
Bagi organisasi, budaya organisasi merupakan tekanan normatif pada setiap individu yang ada dalam organisasi untuk memiliki perilaku tertentu. Perilaku tersebut antara lain perilaku untuk setia/loyal pada organisasi. Outcome-nya, loyalitas tersebut selanjutnya akan menciptakan komitmen yang tinggi pada organisasi.[4] Individu yang memiliki komitmen yang tinggi pada organisasi biasanya rela berkorban, memiliki tekat yang kuat dan peduli pada kemajuan organisasi. Hal tersebut tercermin dari tindakan individu untuk bekerja sebaik mungkin bagi organisasi.

FUNGSI BUDAYA ORGANISASI
Stephen P. Robbins dalam bukunya Organizational Behavior yang diterbitkan di Upper Saddle River, New Jersey oleh penerbit Prentice-Hall International tahun 2001 mengemukakan fungsi Budaya Organisasi, sebagai berikut:
Pembeda antara satu organisasi dengan organisasi lainnya.
Membangun rasa identitas bagi anggota organisasi.
Mempermudah tumbuhnya komitmen.
Meningkatkan kemantapan sistem sosial, sebagai perekat sosial, menuju integrasi organisasi.
Menetapkan batasan/Menegaskan posisi organisasi secara berkesinambungan.
Mencetuskan atau menunjukkan identitas diri para anggota organisasi. Mewakili kepentingan orang banyak.
Mempermudah timbulnya komitmen yang lebih luas daripada kepentingn individual sesorang.
Meningkatkan stabilitas sosial.
Menyediakan mekanisme pengawasan yang dapat menuntun, membentuk tingkah laku anggota organisasi dan sekaligus menunjukkanhal-hal apa saja yang dilarang dan diperbolehkan untuk dilakukan dalam organisasi.
Di samping itu, ada juga yang menuliskan fungsi budaya organisasi sebagai berikut:
Memberi sense of identity kepada anggota organisasi untuk memahami visi, misi dan menjadi bagian integral dari organisasi.
Menghasilkan dan meningkatkan komitmen terhadap misi organisasi.
Memberikan arah dan memperkuat standar perilaku untuk mengendalikan pelaku organisasi agar melaksanakan tugas dan tanggung jawab mereka secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan dan sasaran organisasi yang telah disepakati bersama.
Membangun dalam mendesain kembali sistem pengendalian manajemen organisasi, yaitu sebagai alat untuk menciptakan komitmen agar para manajer dan karyawan mau melaksanakan perencanaan strategis programing, budgetting, controlling, monitoring, evaluasi dan lainnya.
Membantu manajemen dalam menyusun skema sistem kompensasi manajemen untuk eksekutif dan karyawan.
Sebagai sumber daya kompetitif organisasi apabila dikelola secara baik.
Terlepas dari berbagai fungsi yang telah disebutkan di atas, budaya organisasi merupakan penggerak bagi suatu organisasi. Ibarat motor, mesin menjadi daya dorong untuk bergeraknya seluruh komponen yang ada di dalamnya. Tanpa mesin dengan berbagai perangkatnya, maka motor akan bergerak dengan bantuan daya gerak secara manual, didorong atau digerakkan.
Demikian halnya dengan organisasi, tanpa budaya yang mempersatukan organisasi, maka kegiatan organisasi tidak akan bergerak secara lebih teratur sesuai dengan tujuan yang sesungguhnya. Bolehlah ia bergerak secara manual, tetapi tentu saja tidak secara sempurna sebagaimana ketika memiliki budaya organisasi yang menjadi daya dorongnya.
Ibarat kompas, ia akan mengarahkan haluan kepada tujuan yang diinginkan. Memang, akhirnya tetap saja kembali kepada orang-orang yang menggerakkannya, komponen yang ada di dalam organisasi tersebut.

DAMPAK BUDAYA ORGANISASI
Dalam laporan penelitian yang disampaikan oleh Falih Suaedi, Dosen Jurusan Ilmu Administrasi Negara FISIP Universitas Airlangga, dengan judul ”Pengaruh Struktur Organisasi, Budaya Organisasi, Kepemimpinan, Aliansi Strategis Terhadap Inovasi Organisasi dan Kinerja Organisasi Hotel Bintang Tiga di Jawa Timur” disimpulkan bahwa budaya organisasi berpengaruh langsung positif signifikan terhadap inovasi organisasi. Berarti budaya organisasi hotel bintang tiga di Jawa Timur ‘adaptif’ sehingga mampu memberi kontribusi pada inovasi organisasi. Budaya yang dimaksud adalah yang mempunyai tingkat toleransi terhadap tindakan berisiko, mendukung system imbalan yang kompetitif, pola komunikasi yang ti dak hirarkhial, visi dan misi jelas, tingkat kontrol yang rendah. Dengan sistem pengertian dan nilai-nilai dominant yang diterima secara bersama itulah, budaya organisasi berpengaruh langsung positif signifikan terhadap inovasi organisasi.[5]
Di samping itu, Suedi juga menyimpulkan bahwa budaya organisasi berpengaruh langsung positif signifikan terhadap kinerja organisasi. Budaya organisasi pada organisasi hotel bintang tiga di Jawa Timur, lebih mencerminkan dan memberi ruang pada terjadinya perubahan dengan demikian lebih mudah beradaptasi terhadap dinamika lingkungan, budaya yang mendorong terjadinya proses pembelajaran sehingga mampu mendukung kinerja organisasi. Hal demikian didukung oleh studi Kotter dan Heskett bahwa budaya yang tepat secara kontekstual dan strategis tidak akan mempromosikan kinerja organisasi selama periode yang panjang kecuali kalau budaya tersebut mengandung norma dan nilai yang dapat membantu perusahaan menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berubah.
Berdasarkan hal tersebut, maka Suaedi menyarankan agar mengubah, mendorong dan mendayagunakan budaya organisasi yang lebih mempunyai nilai-nilai adaptif terhadap perubahan merupakan kebutuhan bagi organisasi hotel bintang tiga di Jawa Timur karena hanya dengan budaya organisasi yang adaptif terhadap perubahan, budaya tersebut akan mendorong anggota organisasi untuk selalu belajar dengan nilai -nilai baru, kreatif, partisipatif sehingga budaya organisasi akan mendukung perubahan dan implementasi strategi dan meningkatkan kinerja organisasi. Misalnya lebih toleran terhadap perbedaan pendapat, menyusun sistem yang kompetitif, mengurangi kontrol. Perubahan strategi yang tidak sesuai dan karenanya tidak didukung oleh budaya organisasi akan menimbulkan cultural shock dan pembangkangan.
Sejalan dengan penelitian di atas, maka budaya organisasi merupakan faktor kritis dalam organisasi. Budaya organisasi merupakan salah satu jenis aktiva tidak berwujud yang dapat meningkatkan kinerja organisasi. Menurut Gordon sebagaimana dikutip Ernawan, keberhasilan suatu organisasi sangat tergantung pada keberhasilan organisasi dalam menciptakan budaya organisasi yang khas sebagai bagian dari rencana strategis mereka. Rencana strategis yang efektif merupakan jawaban terhadap lingkungan eksternal organisasi yang bersifat dinamis.[6] Oleh karena itu, menjadi tugas seorang pemimpin untuk menciptakan harmoni antara misi dan strategi organisasi dengan budaya organisasi[7]. Keselarasan tersebut akan menghasilkan kesesuaian antara sikap dan perilaku karyawan, budaya organisasi, serta misi dan strategi organisasi. Akibatnya, akan tercipta transformasi organisasi yang akan meningkatkan kinerja individu dan organisasi.
Pada awalnya, riset untuk mendeteksi dampak budaya pada kinerja organisasi dimotivasi oleh budaya yang mampu mendorong suksesnya perusahaan Jepang di akhir tahun 1970-an, dan sebaliknya, penurunan kinerja organisasi bisnis di Amerika Utara dan Eropa. Di dalam buku Rahasia Bisnis Orang Jepang (Langkah Raksasa Sang Nippon Menguasai Dunia) yang ditulis oleh Ann Wan Seng[8] disebutkan bahwa dalam sistem pengelolaan organisasi bisa dibilang organisasi Jepang berbeda dengan sistem pengelolaan organisasi yang dianut oleh bangsa maju lainnya seperti Amerika. Perbedaan inilah yang membuat organisasi Jepang menjadi unik tapi banyak dicontoh oleh negara-negara berkembang di dunia. Dalam organisasi Jepang pengelola berawal dari posisi bawahan, oleh karena itu pengelola organisasi Jepang lebih akrab dan memahami bawahannya. Sikap terus terang mengurangi konflik antara pihak pengelola dan bawahan. Tim kerja merupakan pondasi dasar dalam organisasi Jepang untuk membentuk interaksi antara anggota tim dan bawahan. Fakta-fakta menarik yang yang dapat kita amati dari sistem pengelolaan organisasi Jepang antara lain bahwa mereka bangga jika dikaitkan dengan organisasi besar dan berprestasi, tempat mereka bekerja. Kemauan bangsa Jepang menjadi hamba organisasinya merupakan faktor kesuksesan negara itu menjadi penguasa besar dalam bidang ekonomi dan industri. Sikap ini ditunjukkan dengan cara mengorbankan pendapat pribadi, masa istirahat, gaji dan sebagainya untuk menjaga dan mempertahankan kelangsungan organisasinya. Sikap ini berbeda dengan bangsa barat yang memberikan ruang sebesar-besarnya kepada anggota organisasi untuk berpendapat dn mengemukakan pandangan. Dalam sistem pengelolaan Jepang ini individu tidak penting jika dibandingkan dengan perkumpulan dan organisasi.
Orang Jepang sanggup berkorban dengan bekerja lembur tanpa mengharap bayaran. Mereka merasa lebih dihargai jika diberikan tugas pekerjaan yang berat dan menantang. Bagi mereka, jika hasil produksi meningkat dan perusahaan mendapat keuntungan besar, secara otomatis mereka akan mendapatkan balasan yang setimpal. Dalam pikiran dan jiwa mereka, hanya ada keinginan untuk melakukan pekerjaan sebaik mungkin dan mencurahkan seluruh komitmen pada pekerjaan. Ukuran nilai dan status orang Jepang didasarkan pada disiplin kerja dan jumlah waktu yang dihabiskannya di tempat kerja. Keadaan ini tentu sangat berbeda dengan budaya kerja orang Indonesia yang biasanya selalu ingin pulang lebih cepat. Di Jepang, orang yang pulang kerja lebih cepat selalu diberi berbagai stigma negatif, dianggap sebagai pekerja yang tidak penting, malas dan tidak produktif. Bahkan istri-istri orang Jepang lebih bangga bila suami mereka ”gila kerja” bukan ”kerja gila”. Sebab hal itu juga menjadi pertanda suatu status sosial yang tinggi.
Sikap patriotisme bangsa Jepang juga menjadi salah satu faktor yang membantu keberhasilan ekonomi negaranya. Bangsa Jepang bangga dengan produk buatan negeri sendiri. Mereka juga menjadi pengguna utama produk lokal dan pada saat yang sama juga mencoba mempromosikan produk made in Japan ke seluruh dunia dari makanan, teknologi sampai tradisi dan budaya. Dimana saja mereka berada bangsa Jepang selalu mempertahankan identitas dan jati diri mereka.
Untuk melancarkan urusan pekerjaanya, orang Jepang memegang teguh prinsip tepat waktu dengan tertib dan disiplin, khususnya dalam sektor perindustrian dan perdagangan. Kedua elemen itu menjadi dasar kemakmuran ekonomi yang dicapai Jepang sampai saat ini. Seperti pahlawan dalam cerita rakyat Jepang, si samurai buta Zatoichi, Jepang harus memastikan segala-galanya, termasuk rakyatnya, senantiasa bergerak cepat menghadapi perubahan disekelilingnya. Jika semuanya berhenti bergerak, maka ekonomi Jepang akan runtuh seperti Zatoichi yang luka dan mati karena gagal mempertahankan diri dari serangan musuh. Karena ia tidak bergerak dan hanya dalam keadaan statis.[9]
Dalam suatu survey yang dilakukan oleh Majalah Fortune,[10] ternyata General Electric (GE) merupakan sebuah kelompok usaha yang paling dikagumi, menguntungkan dan kompetitif di muka bumi. Kebesaran GE tidak bisa dilepaskan dari sosok yang hampir menjadi sebuah legenda, John F. Welch (Jack Welch). Di awal tahun 2000, Jack Welch, yang pada waktu itu merupakan Chairman dan CEO GE, memperkenalkan kumpulan nilai-nilai GE yang baru yaitu "Values 2000," yang intinya adalah "komitmen pada pelanggan" (total customer commitment/focus), serta menekankan pentingnya tiga komponen dalam "cara kerja GE" yaitu "kegairahan, informalitas, dan merayakan keberhasilan.". Di samping itu, ternyata para pemimpin GE:
1. Senantiasa teguh memegang integritas.
2. Dengan penuh gairah memacu sukses pelanggan.
3. Menghayati dan menjalankan pedoman ‘6 Sigma Quality’… jadikan pelanggan sebagai orang pertama yang menikmati hasilnya… dan juga untuk memacu pertumbuhan
4. Mengejar keunggulan dan tidak mentolerir birokrasi
5. Bekerja ‘tanpa batas’ (‘boundaryless’)… selalu mencari dan menerapkan gagasan terbaik dari manapun sumbernya
6. Menghargai modal intelektual dari seluruh dunia dan orang-orang yang ada di belakangnya… membangun tim yang majemuk untuk memaksimalkan kinerja
7. Melihat perubahan sebagai peluang untuk tumbuh… misalnya ‘e-business’
8. Menetapkan visi yang jelas, sederhana, dan berfokus pada pelanggan… dan terus menerus memperbaharui pelaksanaannya
9. Menciptakan lingkungan yang mendorong rentangan jangkauan/sasaran atau ‘stretch’ (tidak ada yang tidak mungkin), penuh semangat, suasana informal, dan rasa saling percaya… menghargai usaha untuk menjadi lebih baik… dan merayakan keberhasilan
10. Menunjukkan… senantiasa dengan semangat ‘demi pelanggan’ …
Memang harus dipahami bahwa budaya organisasi dalam konteks manajemen bukan merupakan sesuatu yang terjadi begitu saja. Budaya organisasi berkaitan erat dengan strategi organisasi. Strategi tersebut dirumuskan oleh para pimpinan puncak dengan mengaitkan kedudukan organisasi dengan lingkungannya. Dengan membentuk budaya yang sesuai di antara orang-orang dalam organisasi, organisasi akan lebih mudah bersaing dan meraih keberhasilan. Jika lingkungan sangat kompleks, maka organisasi bisa membangun kultur adaptasi sehingga fleksibel dan responsif terhadap perubahan lingkungan. Sebaliknya, kalau lingkungan bersifat statis dan rutin, maka perlu dibangun budaya kepatuhan yang cenderung birokratis.[11]
Kaitannya dengan hal di atas, alternatif penerapan budaya organisasi terfokus pada empat tipe budaya organisasi :[12]

1. Budaya kekuasaan (power culture).
Budaya ini lebih mempokuskan sejumlah kecil pimpinan menggunakan kekuasaan yang lebih banyak dalam cara memerintah. Budaya kekuasaan juga dibutuhkan dengan syarat mengikuti esepsi dan keinginan anggota suatu organisasi. Seorang dosen, seorang guru dan seorang karyawan butuh adanya peraturan dan pemimpin yang tegas dan benar dalam menetapkan seluruh perintah dan kebijakannya. Kerena hal ini menyangkut kepercayaan dan sikap mental tegas untuk memajukan institusi organisasi. Kelajiman diinstitusi pendidikan yang masih meenganut manajemen keluarga, peranan pemilik institusi begitu dominan dalam pengendalian sebuah kebijakan institusi akademis, terkadang melupakan nilai profesionalisme yang justru hal inilah salah satu penyebab jatuh dan mundurnya sebuah perguruan tinggi.

2. Budaya peran (role culture).
Budaya ini ada kaitannya dengan prosedur birokratis, seperti peraturan organisasi dan peran/jabatan/posisi spesifik yang jelas karena diyakini bahwa hal ini akan mengastabilkan sistem. Keyakinan dan asumsi dasar tentang kejelasan status/posisi/peranan yang jelas inilah akan mendorong terbentuknya budaya positif yang jelas akan membantu mengstabilkan suatu organisasi. Bagi seorang dosen tetap jauh lebih cepat menerima seluruh kebijakan akademis daripada dosen terbang yang hanya sewaktu-waktu hadir sesuai dengan jadwal perkuliahan. Hampir semua orang menginginkan suatu peranan dan status yang jelas dalam organisasi. Bentuk budaya ini kalau diterapkan dalam budaya akademis dapat dilihat dari sejauhmana peran dosen dalam merancang, merencanakan dan memberikan masukan (input) terhadap pembentukan suatu nilai budaya kerja tanpa adanya birokarasi dari pihak pimpinan. Jelas masukan dari bawah lebih independen dan dapat diterima karena sudah menyangkut masalah personal dan bisa didukung oleh berbagai pihak melalui adanya perjanjian psikologis antara pimpinan dengan dosen yang dibawahnya. Budaya peran yang diberdayakan secara jelas juga akan membentuk terciptanya profesionalisme kerja seorang dosen dan rasa memiliki yang kuat terhadap peran sosialnya di kampus serta aktifitasnya diluar keegiatan akademis dan kegiatan penelitian.

3. Budaya pendukung (support culture).
Budaya di mana di dalamnya ada kelompok atau komunitas yang mendukung seseorang yang mengusahakan terjadinya integrasi dan seperangkat nilai bersama dalam organisasi tersebut. Selain budaya peran dalam menginternalisasikan suatu budaya perlu adanya budaya pendukung yang disesuaikan dengan kredo dan keyakinan anggota dibawah. Budaya pendukung telah ditentukan oleh pihak pimpinan ketika organisasi/institusi tersebut didirikan oleh pendirinya yang dituangkan dalam visi dan misi organisasi tersebut. Jelas didalamnya ada keselaran antara struktur, strategi dan budaya itu sendiri. Dan suatu waktu bisa terjadi adanya perubahan dengan menanamkan budaya untuk belajar terus menerus (longlife education).
4. Budaya prestasi (achievement culture).
Budaya yang didasarkan pada dorongan individu dalam organisasi dalam suasana yang mendorong eksepsi diri dan usaha keras untuk adanya independensi dan tekananya ada pada keberhasilan dan prestasi kerja. Budaya ini sudah berlaku dikalangan akademisi tentang independensi dalam pengajaran, penelitian dan pengabdian serta dengan pemberlakuan otonomi kampus yang lebih menekankan terciptanya tenaga akademisi yang profesional, mandiri dan berprestasi dalam melaksanakan tugasnya.
Begitu besar peranan budaya dalam organisasi, sehingga budaya sebenarnya menjadi asset atau aktiva yang tak bergerak tetapi ia malah menjadi penggerak berjalannya roda organisasi. Dengan demikian, kinerja organisasi akan semakin meningkat seiring dengan terinternalisasinya budaya organisasi pada anggota organisasi tersebut. Karyawan yang memahami budaya organisasi akan menjadikan nilai-nilai tersebut sebagai sebuah kepribadian.
Filosofi mendasar dari peran krusial budaya pada kinerja organisasi adanya dampak langsung dan terukur dari perilaku karyawan terhadap efektivitas organisasi. Dalam organisasi dengan budaya kuat, budaya adalah kerangka kerja yang menjadi landasan tingkah laku sehari-hari dan mengarahkan tindakan karyawan untuk mencapai tujuan organisasi.

PENUTUP
Menghadapi perubahan yang terjadi, baik yang datang dari dalam organisasi, terlebih dari luar organisasi, menuntut organisasi merubah haluan sehingga dapat menyesuaikan diri dengan perubahan tanpa harus mengorbankan identitasnya sebagai suatu organisasi yang di dalamnya ada kerjasama untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Di sinilah dibutuhkan adanya budaya organisasi yang adapif.
Budaya organisasi yang adaptif akan sangat berpengaruh terhadap peningkatan kinerja karyawan atau anggota suatu organisasi. Tanpa hal tersebut, organisasi malah tanpa tujuan yang jelas, sebab budaya merupakan daya dorong dan aturan yang menjadi rel untuk menuju kepada tujuan organisasi.
Setiap organisasi harus memiliki budayanya sendiri sebagai ciri khasnya, tetapi juga dapat mencontoh budaya organisasi tertentu yang sudah secara mapan membawanya kepada keberhasilan. Artinya, budaya orang lain dapat dijadikan panduan untuk menjadi rujukan dalam membangun budaya organisasinya.
DAFTAR BACAAN
Burke, W. Warner. Critical Elements of Organizational Culture Change. Chicago: Irwin, 1994.

Ernawan, Erni R. “Pengaruh Budaya Organisasi dan Orientasi Etika Terhadap Kinerja Perusahaan Manufaktur”, dalam Majalah Usahawan, No. 09, Th. XXXIII, September 2004.

http://www.reindo.co.id/reinfokus/edisi18/nilai_GE.htm

Kasali, Rhenald. Change. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005.

McKenna, Eugene & Beec, Nic. Manajemen Sumber Daya Manusia, (terj.) Toto Budi Santoso.Yogjakarta: Penerbit Andi, 2002.

Nimran, Umar. Kebijakan Perusahaan. Jakarta : Karunika UT, 1996.

Schein, Edgar H. Organizational Culture and Leadership. San Franscisco: Jossey-Bass, 1992.

Seng, Ann Wan. Rahasia Bisnis Orang Jepang (Langkah Raksasa Sang Nippon Menguasai Dunia). Jakarta: PT Mizan Publika, 2007.

Soetjipto, Budi W. “Menuiai Sukses dalam Kegiatan Usaha” dalam Majalah Usahawan No. 12, Th. XXXI, Desember 2002.

Suaedi, Falih. Laporan penelitian, ”Pengaruh Struktur Organisasi, Budaya Organisasi, Kepemimpinan, Aliansi Strategis Terhadap Inovasi Organisasi dan Kinerja Organisasi Hotel Bintang Tiga di Jawa Timur” dalam Majalah Usahawan No. 11 Tahun 1998.

[1] Penulis adalah alumni S1 Jurusan Manajemen Dakwah pada Fakultas Dakwah dan S2 Komunikasi Islam PPs IAIN Sumatera Utara.
[2] Edgar H. Schein, Organizational Culture and Leadership (San Franscisco: Jossey-Bass, 1992), h. 17.
[3] Umar Nimran, Kebijakan Perusahaan (Jakarta : Karunika UT, 1996), h. 11.
[4] Budi W. Soetjipto, “Menuiai Sukses dalam Kegiatan Usaha” dalam Majalah Usahawan No. 12, Th. XXXI, Desember 2002, h. 47-50.
[5] Laporan Penelitian yang disampaikan oleh Falih Suaedi, Dosen Jurusan Ilmu Administrasi Negara FISIP Universitas Airlangga, dengan judul ”Pengaruh Struktur Organisasi, Budaya Organisasi, Kepemimpinan, Aliansi Strategis Terhadap Inovasi Organisasi dan Kinerja Organisasi Hotel Bintang Tiga di Jawa Timur” yang ditulis pada Majalah Usahawan No. 11 Tahun 1998.
[6] Erni R. Ernawan, “Pengaruh Budaya Organisasi dan Orientasi Etika Terhadap Kinerja Perusahaan Manufaktur”, dalam Majalah Usahawan, No. 09, Th. XXXIII, September 2004, h.17
[7] W. Warner Burke, Critical Elements of Organizational Culture Change (Chicago: Irwin, 1994), h. 289.
[8] Ann Wan Seng, Rahasia Bisnis Orang Jepang (Langkah Raksasa Sang Nippon Menguasai Dunia) (Jakarta: PT Mizan Publika, 2007), h. 70
[9] Ibid, h. 292
[10] http://www.reindo.co.id/reinfokus/edisi18/nilai_GE.htm
[11] Rhenald Kasali, Change (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), h.25.
[12] Eugene McKenna & Nic Beec, Manajemen Sumber Daya Manusia, (terj.) Toto Budi Santoso (Yogjakarta: Penerbit Andi, 2002), h. 65

Korupsi, Budaya Indonesia?

Pendahuluan
Diakui atau tidak korupsi sudah membudaya - atau dengan kata lain menjadi budaya - di tengah kehidupan bangsa Indonesia atau secara spesifik di dunia politik dan birokrasi di Indonesia dan yang berkaitan dengannya. Apabila ada sebagian pengamat, pakar, ilmuwan atau anggota masyarakat yang menyangkal hal tersebut, barangkali hanya berusaha berprasangka baik terhadap bangsanya sendiri, selebihnya - barangkali - menutup mata dan telinga terhadap kenyataan yang ada.
Dari cacatan Survei Transparancy InternasionalIndonesia (TTI) yang dilakukan terhadap 1.010 responden di kota-kota besar menempatkan korps kepolisian dengan skor 4,2 di tempat pertama sebagai institusi terkorup di Indonesia. Parlemen dan peradilan berada di tempat kedua dengan 4,1. Lantas disusul partai politik berdigit 4. Sebelumnya di tahun 2005--parlemen mendapatkan skor 4, sementara pada tahun 2006 menjadi 4,2.[1]
Cacatan buruk yang dilakukan Transparancy Internasional Indonesia (TTI) di atas, pada gilirannya menjadi gambaran awal bagi kita semua, bahwa tingkat korupsi yang melanda kalangan birokrat maupun pejabat pemerintahan sungguh sangat memilukan dan memalukan. Benarkah korupsi merupakan budaya Indonesia? Pertanyaan ini layak disampaikan melihat kondisi korupsi di Indonesia yang demikian parah dan hampir terjadi di segala sektor pelayanan masyarakat. Masalah akan dielaborasi pada bagian-bagian selanjutnya dari tulisan ini.
Pengertian Korupsi
Kata korupsi sudah sangat melekat di benak kita. Mendengar kata tersebut secara otomatis menimbulkan konotasi atau pemahaman yang negatif di pikiran kita. Korupsi berasal dari bahasa latin yaitu ‘corruptio’. Kata ini berasal dari kata kerja ‘corrumpere’ yang artinya busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok.
Transparency International Indonesia (TII) menerjemahkan korupsi sebagai bentuk perilaku atau tingkah laku dari pejabat publik, politikus atau politisi, pegawai negeri sipil yang dilakukan secara tidak wajar atau illegal dengan tujuan untuk memperkaya diri atau orang-orang yang dekat dengan mereka, dengan cara menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
Pengkajian makna korupsi secara sosiologis, jika kita memperhatikan uraian Syed Hussein Alatas dalam bukunya ”The Sosiology of Corruption” yang antara lain menyebutkan bahwa ”terjadinya korupsi adalah apabila seorang pegawai negeri menerima pemberian yang disodorkan oleh seseorang dengan maksud mempengaruhi agar memberikan perhatian istimewa pada kepentingan-kepentingan si pemberi, kadang-kadang juga berupa perbuatan menawarkan pemberian uang hadiah lain yang dapat menggoda pejabat”.
Menurut UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dijelaskan bahwa:
”Tindak pidana korupsi pada umumnya memuat aktivitas yang merupakan manifestasi dari perbuatan korupsi dalam arti yang luas mempergunakan kekuasaan atau pengaruh yang melekat pada seorang pegawai negeri atau kedudukan istimewa yang dipunyai seseorang di dalam jabatan umum yang secara tidak patut atau menguntungkan diri sendiri maupun orang yang menyuap sehingga dikwalifiseer sebagai tindak pidana korupsi dengan segala akibat hukumnya yang berhubungan dengan Hukum Pidananya dan Acaranya”.[2]
Dari uraian diatas disimpulkan bahwa ada 4 (empat) jenis perbuatan yang mencakup dalam istilah Korupsi, yakni Penyuapan, Pemerasan, Nepotisme, dan penggelapan. Dari empat jenis/tipe korupsi tersebut dalam prakteknya meliputi ciri-ciri sebagai berikut: -) Korupsi selalu melibatkan lebih dari satu orang ; -) Korupsi pada umumnya dilakukan penuh kerahasiaan ; -) Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik ; -) Korupsi dengan berbagai macam akal berlindung dibalik pembenaran hukum ; -) Mereka yang terlibat korupsi adalah yang menginginkan keputusan yang tegas dan mereka mampu mempengaruhi keputusan ; -) Tindakan korupsi mengandung penipuan baik pada badan publik atau masyarakat umum ; -) Setiap bentuk korupsi adalah suatu penghinaan kepercayaan ; -) Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dari mereka yang melakukan itu ; -) Suatu perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan pertanggungjawaban dalam tatanan masyarakat.
Kita tidak boleh serta merta melihat segi moral sebagai aspek tunggal dari praktek korupsi di Indonesia. Moralitas seseorang sangat ditentukan oleh lingkungan dan pergaulan sosialnya. Tinggi rendahnya moralitas yang terbangun dalam diri seseorang, tergantung seberapa besar dia menyerap nilai (pervade value) yang diproduksi oleh lingkungannya.
Selama 32 tahun Orde Baru berkuasa, moralitas masyarakat direduksi oleh kepentingan politik dominan ketika itu. Negara melalui pemerintah telah secara sengaja membangun stigma dan prilaku yang menyimpang (abuse of power), dengan melegalkan praktek korupsi dikalangan pejabat-pejabat pemerintahan. Hal tersebut dikarenakan oleh bentuk serta pola praktek kekuasaan yang cenderung menindas sehingga secara terang-terangan telah melegalkan praktek korupsi, meski di depan mata masyarakat kita sendiri. Zaman itu, mungkin saja semua orang tahu (bahkan tak jarang yang pura-pura tak tahu), bahwa telah terjadi penyimpangan dan penyelewengan penggunaan uang rakyat dalam bentuk korupsi yang dilakukan oleh penguasa Orde Baru dan kroni-kroninya. Akan tetapi, budaya politik bisu yang dihegemonisasi oleh pemerintah, membuat masyarakat terkesan diam dan acuh akibat ketakutan-ketakutan mereka yang oleh pemerintah sengaja diproduksi secara sistematis ketika itu. Bersuara berarti berhadapan dengan kekuasaan, yang tentu akan berujung tekanan dan represi bagi yang berani menyuaraknnya.

Pengertian Budaya
Pemahaman tentang budaya organisasi sesungguhnya tidak lepas dari konsep dasar tentang budaya itu sendiri, yang merupakan salah satu terminologi yang banyak digunakan dalam bidang antropologi. Dewasa ini, dalam pandangan antropologi sendiri, konsep budaya ternyata telah mengalami pergeseran makna. Sebagaimana dinyatakan oleh C.A. Van Peursen (1984) bahwa dulu orang berpendapat budaya meliputi segala manifestasi dari kehidupan manusia yang berbudi luhur dan yang bersifatrohani, seperti : agama, kesenian, filsafat, ilmu pengetahuan, tata negara dan sebagainya. Tetapi itu sudah disingkirkan. Budaya diartikan sebagai manifestasi kehidupan setiap orang dan setiap kelompok orang-orang. Kini budaya dipandang sebagai sesuatu yang lebih dinamis, bukan sesuatu yang kaku dan statis. Budaya tidak tidak diartikan sebagai sebuah kata benda, kini lebih dimaknai sebagai sebuah kata kerja yang dihubungkan dengan kegiatan manusia. Dari sini timbul pertanyaan, apa sesungguhnya budaya itu? Marvin Bower seperti disampaikain oleh Alan Cowling dan Philip James (1996), secara ringkas memberikan pengertian budaya sebagai “cara kita melakukan hal-hal di sini”.[3]
Sementara itu, Edgar H. Schein mengemukakan bahwa budaya adalah suatu pola asumsi dasar yang diciptakan, ditemukan atau dikembangkan oleh kelompok tertentu sebagai pembelajaran untuk mengatasi masalah adaptasi ekstrenal dan integrasi internal yang resmi dan terlaksana dengan baik dan oleh karena itu diajarkan/diwariskan kepada angota-anggota baru sebagai cara yang tepat memahami, memikirkan dan merasakan terkait dengan masalah-masalah tersebut.[4]
Beberapa pemikir dan penulis telah mengadopsi tiga sudut pandang berkaitan dengan budaya, sebagai mana dikemukakan Graves, 1986, sebagai berikut:
1. Budaya merupakan produk konteks pasar di tempat organisasi beroperasi, peraturan yang menekan, dan sebagainya.
2. Budaya merupakan produk struktur dan fungsi yang ada dalam organisasi, misalnya organisasi yang tersentralisasi berbeda dengan organisasi yang terdesentralisasi.
3. Budaya merupakan produk sikap orang orang dalam pekerjaan mereka, hal ini berarti produk perjanjian psikologis antara individu dengan organisasi.
Faktor Moralitas dan Sentralisme Kekuasaan
Korupsi merupakan sebuah masalah ekonomi yang berakar pada struktur sosial-politik masyarakat Indonesia. Korupsi bukanlah sebuah masalah moral semata, seperti yang dikatakan oleh sebagian besar orang yang meyakininya. Sekalipun tentu saja masalah moral memiliki peran penting dalam menyuburkan praktek korupsi di Negara kita, akan tetapi peran tersebut tidak tidak terlepas dari struktur politik kekuasaan yang memberikan ruang untuk munculnya masalah korupsi ini. Belakangan ini, begitu banyak terdengar upaya kampanye sederhana (soft campaigne), baik pemerintah, tokoh masyarakat, NGO/LSM, hingga tokoh-toko agama tentang seruan serta imbauan kepada masyarakat untuk terus memperbaiki akhlak dan nilai-nilai moral yang selama ini dianggap biang terjadinya korupsi di Indonesia. Media yang digunakan beragam, mulai dari iklan TV, Koran, Majalah, Tabloid hingga pamflet dan selebaran, yang intinya adalah menekankan kepada masyarakat bahwa, “jika ingin korupsi dibasmi, maka perbaikilah moral dan akhlak dasar kita, sebab moral yang bobrok merupakan akar penyebab korupsi di Indonesia”. Upaya tersebut bukan salah, namun keliru memandang persoalan secara objektif dan komprehensif. Bahkan kekhawatiran terbesar masyarakat adalah, “jangan sampai upaya kampanye anti korupsi yang terus menerus menyudutkan masalah moral sebagai biang keladi menjamurnya korupsi, hanya dijadikan sebagai upaya “cuci tangan” dan “pengalihan isu” dari para pejabat korup, sehingga dengan demikian, masyarakat kian lupa dengan faktor utama yang mendorong lahirnya praktek korupsi tersebut, yakni ; Bangunan kekuasan yang otoriter, menindas dan terpusat kepada segelintir orang saja”. Rendahnya moralitas seseorang, memang menjadi salah satu varian penyebab korupsi, namun masih ada hal yang lebih penting dari akar persoalan membudayanya praktek korupsi, yang tentu lebih substansial dari sekedar alasan moralitas.[5]
Salah satu di antara banyak faktor yang berperan menyuburkan korupsi adalah “sentralisme kekuasaan”, atau struktur pemerintahan yang memusatkan kekuasaan di tangan segelintir elit saja. Bayangkan, jika kekuasaan dijalankan dengan tangan besi, betapa mudahnya praktek korupsi ini dilakukan atas nama kepentingan bersama. Sama persis dengan praktek kekuasaan yang dijalankan oleh pemerintahan Orde Baru Soeharto, dimana pemerintah dengan begitu mudahnya menghisap pajak dan uang rakyat atas nama dan untuk pembangunan. Siapa yang menghalang-halangi, dicap sebagai anti pemerintah, membahayakan stabilitas Negara, hingga tuduhan komunis gaya baru dan lain sebagainya. Hakekatnya, kekuasaan Negara yang terpusat kepada segelintir orang saja, tentu akan mengakibatkan dominasi dan hegemoni yang kuat terhadap mayoritas rakyat Indonesia. Hal inilah yang menjadi factor penting mengapa korupsi begitu sangat mudahnya tumbuh subur dan berkembang di Indonesia.
Pada sisi lain, secara sosiologis dapat kita analisis bahwa kecenderungan korupsi yang menyebar dan menjamur dikalangan masyarakat umum, juga tidak lepas dari bangunan kekuasaan yang dipraktekkan oleh Orde Baru Soeharto. Pemikiran masyarakat telah secara otomatis terhegemoni dan tercekcoki oleh lingkungan social yang terbentuk dari bangunan kekuasaan yang sentralistik dan otoriter tersebut. Wajar kemudian ketika sebahagian besar pejabat-pejabat pemerintahan hingga tingkat daerah (Gubernur, Bupati, Walikota, Camat, Lurah hingga kepala dusun sekalipun), juga ikut bertindak sama dengan prilaku yang diterapkan oleh kekuasaan Orde Baru yang otoriter dan sewenang-wenang. Pejabat lokal pemerintahan inipun, tak segan untuk menggunakan otoritasnya demi memperkaya diri sendiri dengan menghisap serta menindas masyarakat. Toh pada akhirnya, masyarakat terkesan diam dan tak berani bertanya apalagi melakukan protes akibat dominannya kekuasaan yang terjadi. Akibatnya, budaya politik yang terbangun ditengah masyarakat cenderung prematur dan prakmatis. Semisal, banyaknya masyarakat yang berlomba-lomba untuk menjadi Bupati atau Camat meski harus menghabiskan biaya yag tak sedikit dalam pemilihannya dengan satu pemikiran, “Bukankah biaya yang saya keluarkan ini tak seberapa jika dibandingkan dana yang akan saya dapatkan di pemerintahan jika berkuasa nanti? Bahkan bisa berlipat-lipat jumlahnya”. Sungguh situasi yang sangat menyedihkan ditengah kondisi dan kehidupan masyarakat yang semakin terpuruk.

Korupsi Sebagai Warisan Masa Lalu?
Dalam konteks perjalanan bangsa Indonesia, persoalan korupsi memang telah mengakar dan membudaya. Bahkan dikalangan mayoritas pejabat publik, tak jarang yang menganggap korupsi sebagi sesuatu yang “lumrah dan Wajar”. Ibarat candu, korupsi telah menjadi barang bergengsi, yang jika tidak dilakukan, maka akan membuat “stress” para penikmatnya. Korupsi berawal dari proses pembiasan, akhirnya menjadi kebiasaan dan berujung kepada sesuatu yang sudah terbiasa untuk dikerjakan oleh pejabat-pejabat Negara. Tak urung kemudian, banyak masyarakat yang begitu pesimis dan putus asa terhadap upaya penegakan hukum untuk menumpas koruptor di Negara kita. Jika dikatakan telah membudaya dalam kehidupan, lantas darimana awal praktek korupsi ini muncul dan berkembang?. Tulisan ini akan sedikit memberikan pemaparan mengenai asal-asul budaya korupsi di Indonesia yang pada hakekatnya telah ada sejak dulu ketika daerah-daerah di Nusantara masih mengenal system pemerintah feodal (Oligarkhi Absolut), atau sederhanya dapat dikatakan, pemerintahan disaat daerah-daerah yang ada di Nusantara masih terdiri dari kerajaan-kerajaan yang dipimpin oleh kaum bangsawan (Raja, Sultan dan lain-lain).[6]
Secara garis besar, budaya korupsi di Indonesia tumbuh dan berkembang melalu 3 (tiga) fase sejarah, yakni ; zaman kerajaan, zaman penjajahan hingga zaman modern seperti sekarang ini. Mari kita coba bedah satu-persatu pada setiap fase tersebut.
Pertama, Fase Zaman Kerajaan. Budaya korupsi di Indonesia pada prinsipnya, dilatar belakangi oleh adanya kepentingan atau motif kekuasaan dan kekayaan. Literatur sejarah masyarakat Indonesia, terutama pada zaman kerajaan-kerajaan kuno, seperti kerajaan Mataram, Majapahit, Singosari, Demak, Banten dan lain-lain, mengajarkan kepada kita bahwa konflik kekuasan yang disertai dengan motif untuk memperkaya diri (sebagian kecil karena wanita), telah menjadi faktor utama kehancuran kerajaan-kerajaan tersebut. Coba saja kita lihat bagaimana Kerajaan Singosari yang memelihara perang antar saudara bahkan hingga tujuh turunan saling membalas dendam berebut kekuasaan, mulai dari Prabu Anusopati, Prabu Ranggawuni, hingga Prabu Mahesa Wongateleng dan seterusnya. Hal yang sama juga terjadi di Kerajaan Majapahit yang menyebabkan terjadinya beberapa kali konflik yang berujung kepada pemberontakan Kuti, Nambi, Suro dan lain-lain. Bahkan kita ketahui, kerajaan Majapahit hancur akibat perang saudara yang kita kenal dengan “Perang Paregreg” yang terjadi sepeninggal Maha Patih Gajah Mada. Lalu, kerajaan Demak yang memperlihatkan persaingan antara Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang, ada juga Kerajaan Banten yang memicu Sultan Haji merebut tahta dan kekuasaan dengan ayahnya sendiri, yaitu Sultan Ageng Tirtoyoso (Amien Rahayu SS, Jejak Sejarah Korupsi Indonesia-Analis Informasi LIPI). Hal menarik lainnya pada fase zaman kerajaan ini adalah, mulai terbangunnya watak opurtunisme bangsa Indonesia. Salah satu contohnya adalah posisi orang suruhan dalam kerajaan, atau yang lebih dikenal dengan “abdi dalem”. Abdi dalem dalam sisi kekuasaan zaman ini, cenderung selalu bersikap manis untuk menarik simpati raja atau sultan. Hal tersebut pula yang menjadi embrio lahirnya kalangan opurtunis yang pada akhirnya juga memiliki potensi jiwa yang korup yang begitu besar dalam tatanan pemerintahan kita dikmudian hari.
Kedua, Fase Zaman Penjajahan. Pada zaman penjajahan, praktek korupsi telah mulai masuk dan meluas ke dalam sistem budaya sosial-politik bangsa kita. Budaya korupsi telah dibangun oleh para penjajah colonial (terutama oleh Belanda) selama 350 tahun. Budaya korupsi ini berkembang dikalangan tokoh-tokoh lokal yang sengaja dijadikan badut politik oleh penjajah, untuk menjalankan daerah adiministratif tertentu, semisal demang (lurah), tumenggung (setingkat kabupaten atau provinsi), dan pejabat-pejabat lainnya yang notabene merupakan orang-orang suruhan penjajah Belanda untuk menjaga dan mengawasi daerah territorial tertentu. Mereka yang diangkat dan dipekerjakan oleh Belanda untuk memanen upeti atau pajak dari rakyat, digunakan oleh penjajah Belanda untuk memperkaya diri dengan menghisap hak dan kehidupan rakyat Indonesia. Sepintas, cerita-cerita film semisal Si Pitung, Jaka Sembung, Samson & Delila, dan lain-lain, sangat cocok untuk menggambarkan situasi masyarakat Indonesia ketika itu. Para cukong-cukong suruhan penjajah Belanda (atau lebih akrab degan sebutan “Kompeni”) tersebut, dengan tanpa mengenal saudara serumpun sendiri, telah menghisap dan menindas bangsa sendiri hanya untuk memuaskan kepentingan si penjajah. Ibarat anjing piaraan, suruhan panjajah Belanda ini telah rela diperbudak oleh bangsa asing hanya untuk mencari perhatian dengan harapan mendapatkan posisi dan kedudukan yang layak dalam pemerintahan yang dibangun oleh para penjajah. Secara eksplisit, sesungguhnya budaya penjajah yang mempraktekkan hegemoni dan dominasi ini, menjadikankan orang Indonesia juga tak segan menindas bangsanya sendiri lewat perilaku dan praktek korupsi-nya. Tak ubahnya seperti drakula penghisap darah yang terkadang memangsa kaumnya sendiri demi bertahan hidup (Survival).
Ketiga, Fase Zaman Modern. Fase perkembangan praktek korupsi di zaman modern seperti sekarang ini sebenarnya dimulai saat lepasnya bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan. Akan tetapi budaya yang ditinggalkan oleh penjajah kolonial, tidak serta merta lenyap begitu saja. salah satu warisan yang tertinggal adalah budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Hal tersebut tercermin dari prilaku pejabat-pejabat pemerintahan yang bahkan telah dimulai di era Orde lama Soekarno, yang akhirnya semakin berkembang dan tumbuh subur di pemerintahan Orde Baru Soeharto hingga saat ini. Sekali lagi, pola kepemimpinan yang cenderung otoriter, anti-demokrasi dan anti-kritik, membuat jalan bagi terjadi praktek korupsi dimana-mana semakin terbuka. Indonesia tak ayal pernah menduduki peringkat 5 (besar) Negara yang pejabatnya paling korup, bahkan hingga saat ini.


Dampak Korupsi Terhadap Rakyat
Secara hakiki, korupsi merupakan bentuk kekerasan struktural yang dilakukan oleh Negara dan pejabat pemerintahan terhadap masyarakat. Betapa tidak, korupsi yang kian subur akan semakin membuat beban devisit anggaran Negara semakin bertambah. Hal ini kemudian akan mengakibatkan sistem ekonomi menjadi “colaps” dan berujung kepada semakin tingginya inflasi yang membuat harga-harga kebutuhan masyarakt kian melambung tinggi. Eknomi biaya tinggi ini berakibat terjadinya ketidakseimbangan antara daya beli masyarakat dengan tingkat harga komoditas terutama komoditas bahan pokok. Masyarakat cenderung dipaksa untuk menerima keadaan ini, meski ambruknya sistem ekonomi kita ini, adalah akibat dari ulah para pejabat yang mengkorupsi uang Negara demi kepentingan pribadi, kelompok dan golongan masing-masing. Intinya, masyarakat dipakda untuk menanggung beban yang tidak dilakukannya. Kita tentu masih ingat dengan “krisis moneter” yang terjadi antara tahun 1997/1998 lalu!!!. Penyebab utama dari terjadinya krisis yang melanda Indonesia ketika itu adalah beban keuangan Negara yang semakin menipis akibat ulah pemerintahan Orde Baru Soeharto yang sangat korup.
Korupsi dikatakan sebaga bentuk kekerasan struktural, sebab korupsi yang dilakukan oleh para pejabat merupakan bentuk penyelewengan terhadap kekuasaan Negara, dimana korupsi lahir dari penggunaan otoritas kekuasaan untuk menindas, merampok dan menghisap uang rakyat demi kepentingan pribadi. Akibatnya, fungsi Negara untuk melayani kepentingan rakyatnya, berubah menjadi mesin penghisap bagi rakyatnya sendiri. Relasi politik yang terbangun antara masyarakat dan Negara melalui pemerintah sungguh tidak seimbang. Hal ini berakibat kepada munculnya aristokrasi baru dalam bangunan pemerintahan kita. Negara dituding telah dengan sengaja menciptakan ketimpangan sosial dalam kehidupan masyarakat. Kemiskinan yang semakin meluas, antrian panjang barisan pengangguran, tidak memadainya gaji dan upah buruh, anggaran social yang semakin kecil akibat pencabutan subsidi (Pendidikan, kesehatan, listril, BBM, telepon dan lain-lain), adalah deretan panjang persoalan yang menghimpit masyarakat sehingga membuat beban hidup masyarakat semakin sulit. Bukankah ini akibat dari praktek kongkalikong (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah kita yang korup?. Salah satu fakta penitng yang bisa kita saksikan adalah bagaimana pemerintah dengan lapang dada telah suka rela melunasi hutang-hutang Negara yang telah dikorup oleh pemerintah Orde Baru dulu. Di dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), pemerintah mengalokasi anggaran kurang lebih 40 (empat puluh) persen untuk mebayar utang-utang luar negeri melalui IMF, Bank Dunia, Paris Club, CGI, serta lembaga donor lainnya. Belum lagi dana penggunaan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang harus ditanggung oleh Negara. Alokasi pemabayaran utang-utang Negara akibat korupsi ini, akan menuai konsekuensi, yakni ; membebankan pembayaran utang tersebut kepada rakyat indoensia yang sama sekali tidak pernah menikmati utang-utang tersebut. Membebankan dengan memilih mencabut anggaran dan subsidi social bagi masyarakat. Membebankan dengan semakin terpuruknya nasib dan kehidupan masyarakat. Sungguh tidak adil, “Koruptor yang menikmati, rakyat yang dikorbankan”!!!. Dari pemaparan tersebut, maka sangatlah wajar jika dikatakan bahwa praktek korupsi merupakan sebuah bentuk tindakan kekerasan secara sistemik, yang telah sengaja dibangun dan diciptakan oleh struktur kekuasaan negara terhadap masyarakat sendiri.
Mengembalikan Kepercayaan Masyarakat
Sejak periode kepemimpinan Susilo Bambang Yudoyono dan Jusuf Kalla, program pemberantasan korupsi menjadi prioritas utama dalam program kerja pemerintahannya. Upaya ini harus kita apresiasi dengan memberikan bentuk penghargaan yang tinggi atas upaya yang dilakukan tersebut. Namun patut kita catat bahwa, meskipun pemerintahan SBY-JK telah berhasil mengungkap kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat-pejabat Negara (semisal kasus KPU, kasus Bulog, kasus Abdullah Puteh di Aceh, serta kasus-kasus yang melibatkan pejabat pemerintah di beberapa daerah), namun upaya pemberantasan korupsi ini belum mampu menyentuh para koruptor-koruptor kakap (dari era Soeharto sampai sekarang) yang hingga saat ini masih bebas berkeliaran tanpa pernah sedikitpun tersentuh oleh hukum. Jika pemerintah mampu memberikan bukti nyata dari komitmen pemberantasan korupsi, maka kpercayaan masyarakatpun akan kembali pulih, bahkan lebih partisipatif dalam setiap masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh bangsa dan Negara. Namun sebaliknya, jika pemerintah lamban dan gagal dalam menunaikan kewajiban dan tanggung jawabnya untuk menuntaskan kasus-kasus korupsi yang ada, maka rakyat akan jauh semakin jauh meninggalkannya. Apa jadinya sebuah pemerintahan tanpa dukungan dari masyarakatnya?
Upaya yang harus dilakukan untuk memberantas dan membasmi korupsi ini bukan hanya sekedar menggiatkan pemeriksaan, penyelidikan, dan penangkapan koruptor. Upaya pemberantasan korupsi juga bukan hanya sekedar dengan menggiatkan kampanye peningkatan nilai-nilai moral seseorang. Namun upaya korupsi harus secara mendalam menutup akar penyebabnya melalui lima hal,[7] yaitu: Pertama, Negara melalui pemerintah harus melakukan perbaikan kondisi hidup masyarakat secara menyeluruh, terutama dalam konteks perbaikan ekonomi. Negara dalam hal ini bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup masyarakat, baik secara bathin maupun lahiriah, primer maupun sekunder, fisik dan non-fisik secara seimbang. Jika kehidupan masyarakat terus menerus didera dengan kemiskinan, maka keinginan untuk mencari jalan pintas demi memperkaya diri, akan terus muncul dan berkembang dalam pikiran masyarakat kita. Sebab masalah korupsi bukan hanya masalah penegakan dan kepastian hukum saja, namun masalah korupsi juga integral dengan masalah sosial, ekonomi dan politik.
Kedua, Membangun sistem kekuasaan yang demokratis. Seperti yang telah ditegaskan pada bagian awal tulisan ini, bahwa prilaku korup juga turut ditopang oleh sistem yang mendorongnya. Jika kekuasaan berwujud sentralistik, otoriter dan menindas, maka bukan tidak mungkin korupsi akan terus menerus terjadi. Kita memerlukan sebuah sistem pemerintahan yang demokratis, transparan, tidak anti kritik, serta memiliki wujud penghormatan yang tinggi terhadap masyarakat sipil (civil society).
Ketiga, Membangun akses kontrol dan pengawasan masyarakat terhadap pemerintah. Penanganan masalah korupsi ini tidak bisa dilakukan dengan cara memusatkan kendali pada satu badan atau menyerahkan penanganannya pada pemerintah saja. Sebab hal tersebut cenderung berjalan linear dan non-sturktural. Dalam arti, apakah mungkin pemerintah akan efektif memeriksa pejabatnya sendiri. Masalah klasik yang kemudian muncul adalah, “siapa yang akan bertanggung jawab untuk mengawasi pengawas?”. Persoalan ini hanya akan terakomodasi dalam konteks kekuasan otoritarian. Dalam sebuah struktur kekuasaan Negara yang egaliter, masyarakat diberikan akses kontrol terhadap kekuasaan, sehingga fungsi pengawasan secara horizontal antarstruktur yang sejajar, maupun pengawasan akan berjalan seimbang dengan kontrol yang tajam terhadap penyelewengan.
Keempat, Penguatan institusi-institusi aparatur penegak hukum. Kejujuran penegak hukum (fair trial), harus mulai dibangun secara kuat. Hal ini dimaksudkan agar proses penanganan korupsi dapat berjalan secara efisien. Kredibilitas aparatur hukum kita dituntut untuk lebih berlaku adil, objektif dan tidak berpihak dalam memandang serta memilih-milih kasus. Kasus seorang koruptor harus diproses dan dapat diselesaikan secara cepat, layaknya penyelesaiaan kasus seorang pencuri ayam yang relatif tidak membutuhkan waktu yang lama. Disinilah dituntut keprofesionalan para penegak hukum kita, jika pemerintah menginginkan penyelesaiaan kasus korupsi secara efektif.
Kelima, Perbaikan sistem dan mutu pendidikan. Hal ini memungkinkan untuk menanamkan prilaku yang bersih, jujur dan bertanggung jawab bagi siswa-siswa sekolah sedari dini. Prilaku pengajar para (dosen, guru, dan lain-lain) juga harus ikut diperbaiki. Selama ini, tak jarang dari para pengajar tersebut memberikan contoh yang buruk kepada anak didiknya yang bisa jadi kelak akan diadopsinya dalam kehidupan sehari-hari. Semisal jual ijazah dan nilai, bisnis buku/modul pelajaran, pungutan liar hingga cara mengajar yang kaku, otoriter dan cenderung menekan anak-anak didiknya. Jika hal tersebut di atas tidak mampu kita praktekkan secara serius, maka tidak ada jaminan bahwa prilaku korup masyarakat Indonesia akan hilang dengan sendirinya. Bisa jadi justru akan semakin subur tanpa dapat kita hentikan bersama-sama.

Penutup
Untuk menyimpulkan bahwa korupsi merupakan budaya Indonesia tidaklah semudah menyebutnya sebagai sebuah penyakit yang sudah sangat akut dan kritis, karena sekalipun ia sudah sangat tua bahkan lebih tua dari usia Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, tetapi ia tidak diajarkan oleh foundings father bangsa ini, melainkan ia tetaplah sebagai penyimpangan yang jelas-jelas dilarang oleh agama, konstitusi, bahkan budaya Indonesia sendiri. Jadi hanyalah penyimpangan yang karena dibiarkan maka menjadi berlarut-larut, sehingga terkesan sebagai sebuah ”budaya”.


DAFTAR BACAAN

Agus Muhammad, dengan judul ”Meretas Budaya Korupsi” pada Harian Bisnis Indonesia, tanggal 25 Maret 2003.

C. A. van Peursen. Strategi Kebudayaan (terj. Dick Hartoko). Jakarta : Yayasan Kanisius, 1984


Edgar H Schein,. “Organizational Culture & Leadership” dalam (http://www.tnellen.com/ ted/tc/schein.html) MIT Sloan Management Review.

Harian Analisa, edisi hari Sabtu tanggal 17 Januari 2009.

(http://www.prp-indonesia.org/index.php?option =com_content&view= article & id=250 :membongkar-jejak-sejarah-budaya-korupsi-di-indonesia&catid=44:kajian)

Media Indonesia, edisi tanggal 10 Desember 2007.

Penjelasan Atas Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada bagian Penjelasan Pasal Demi Pasal khusunya Pasal 1.
[1] Lihat Media Indonesia, Edisi tanggal 10 Desember 2007.
[2] Penjelasan Atas Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada bagian Penjelasan Pasal Demi Pasal khusunya Pasal 1.
[3] C. A. van Peursen, Strategi Kebudayaan (terj. Dick Hartoko), (Jakarta : Yayasan Kanisius, 1984), h. 10.
[4] Edgar H Schein,. “Organizational Culture & Leadership” dalam (http://www.tnellen.com/ ted/tc/schein.html) MIT Sloan Management Review.
[5] Lihat Harian Analisa, edisi hari Sabtu tanggal 17 Januari 2009.
[6] Lebih mendalam ulasan tentang upaya melihat korupsi sebagai budaya dan cara meretasnya dapat dilihat dari tulisan Agus Muhammad, dengan judul ”Meretas Budaya Korupsi” pada Harian Bisnis Indonesia, tanggal 25 Maret 2003.
[7] (http://www.prp-indonesia.org/index.php?option =com_content&view= article & id=250 :membongkar-jejak-sejarah-budaya-korupsi-di-indonesia&catid=44:kajian)

1 komentar:

  1. Assalamu 'alaikum..

    Kami harap kepada seluruh Mahasiswa/i Manajemen Dakwah Se-Indonesia agar dapat meluangkan waktunya untuk berkunjung ke blog Manajemen Dakwah UIN Suska Riau di http://mduinsuska.blogspot.com untuk mempererat tali silaturahim via internet..

    Terima kasih atas perhatiannya.

    BalasHapus